Mochamad Ramza Rapier Gussa
Salah satu argumentasi yang sering dilontarkan beberapa kelompok untuk membenarkan berdakwah dengan cara bergabung dalam sistem yang jelas-jelas kufur adalah bahwa Sayidina Yusuf as. pernah terlibat dalam sistem kufur. Berikut ini pembahasan rinci tentang hal tersebut.
Bukti Kesalahan Beberapa Argumen Partisipasi dan Integrasi Politik
Argumentasi bahwa Sayidina Yusuf a.s. Terlibat dalam Pemerintahan Kufur
Al-Quran al-Karim menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. diperbolehkan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Raja Mesir yang tidak Islami itu. Berdasarkan hal ini, sebagian pihak mengklaim bahwa kaum Muslim saat ini pun berarti boleh melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan ayat berikut sebagai dalil:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Ayat ini digunakan untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. telah memperdaya raja agar mengizinkan beliau untuk menghakimi saudaranya berdasarkan syariat Yakub a.s.–untuk memperbudak seorang pencuri–dan tidak menggunakan hukum raja. Oleh karena itu, diklaim bahwa pemahaman (konotasi) terbalik (mafhum mukhalafah) ayat tersebut secara implisit menyebutkan, bahwa selain dalam kasus dengan saudaranya, Yusuf a.s. menjalankan hukum raja.
Menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. terlibat dalam pemerintahan yang non-Islami, dan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan selain syariat Allah Swt. adalah suatu penghinaan terhadap kemaksuman seorang nabi. Dengan demikian, argumen tersebut jelas keliru. Sebelum membahas kekeliruan argumen tersebut, pertama-tama kita perlu menunjukkan bukti bahwa Nabi Yusuf a.s. sebenarnya tidak pernah berpartisipasi dalam sistem kufur.
Mari kita cermati ayat pertama tadi, yang digunakan untuk mendiskreditkan Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Hanya ada dua kemungkinan penjelasan yang benar tentang ayat ini. Pertama, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Nabi Yusuf a.s. hanya bertanggung jawab terhadap masalah mengumpulkan dan menyimpan hasil panen rakyat Mesir saat itu, termasuk bertanggung jawab mengamankan gudang penyimpanannya. Artinya, ini adalah jabatan administratif, bukan jabatan kekuasaan atau pemerintahan. Ibnu Katsir mengemukakan pendapat ini dalam tafsir beliau atas ayat ini. Syu’aibah bin Nu’ama juga memiliki pendapat yang sama. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Nabi Yusuf a.s.: “…bertanggung jawab atas gudang penyimpanan hasil panen, yang dikumpulkan untuk persiapan menghadapi musim paceklik yang diperkirakan akan datang. Ia ingin menjadi penjaga lumbung itu sehingga dapat mendistribusikan hasil panen itu dengan cara yang paling bijaksana, baik, dan menguntungkan.”[1]
Pendapat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan hukum kufur atau malah terlibat dalam sistem pemerintahan. Nabi Yusuf a.s. sekadar berpartisipasi dalam posisi sebagai tenaga administratif, dan hal itu tidaklah haram, bahkan hingga sekarang. Jadi, aktivitas ini berbeda dengan aktivitas pemerintahan dan berpartisipasi dalam sistem kufur seperti yang terjadi saat ini, ketika seseorang diambil sumpahnya dan Islam harus tunduk pada pelaksaanan hukum parsial dan kehendak hawa nafsu manusia.
Kemungkinan pendapat yang kedua, bahwa Nabi Yusuf a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan wilayah, disimbolkan oleh kewenangan atas komoditas ekonomi paling penting di kawasan itu. Pendapat ini diajukan oleh Imam an-Nasafi yang mengatakan bahwa dalam masalah tersebut raja berada di bawah Yusuf a.s. dan tidak dapat mengeluarkan keputusan tanpa otorisasi Yusuf a.s. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Yusuf a.s. diberi kewenangan, ‘untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya’.[2] Pendapat ini didukung oleh pandangan sebagian ulama bahwa raja tersebut sebetulnya masuk Islam; Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Mujahid juga berpendapat seperti ini.
Kembali, tidak ada analogi yang bisa diambil oleh mereka yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dalam sistem kufur. Imam an-Nasafi menyatakan bahwa ayat ini sekadar menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan meminta seorang penguasa tiran untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang dianggap adil. Hal ini berarti tidak ada peluang munculnya penerapan aturan secara parsial karena kewenangan diberikan secara penuh.
Adalah mustahil dan tidak masuk akal apabila ayat ini dapat diartikan bahwa berpartisipasi dalam suatu sistem kufur, atau bahwa implementasi Islam secara parsial, diperbolehkan. Menginterpretasikan ayat tersebut dengan cara seperti itu akan membuatnya bertentangan dengan banyak ayat lain yang bersifat qath’iy yang nyata-nyata melarang hal itu. Para ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan hal itu dianggap sebagai kafir, fasik, atau dzalim[3]. Tentu saja mustahil kita mengasosiasikan sifat-sifat tersebut terhadap Nabi Yusuf a.s. karena beliau adalah seorang yang maksum.
Interpretasi bahwa Nabi Yusuf as berpartisipasi dalam sistem kufur dan berhukum dengan hukum raja bertentangan dengan pernyataan Nabi Yusuf a.s. sendiri yang dikatakannya kepada dua sahabatnya di penjara sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini jelas terbukti bahwa Yusuf a.s. meyakini bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan syariat Allah Swt. berarti orang tersebut telah membuat agama versinya sendiri. Ini dilukiskan oleh perkataan beliau: “itulah agama yang lurus”. Jelas, menurut Yusuf a.s., berhukum berdasarkan syariat Allah Swt. adalah masalah akidah (keyakinan), tauhid (keyakinan terhadap keesaan Allah), dan memenuhi ketentuan Allah Swt. Beginilah tafsiran Ibnu Katsir terhadap ucapan Yusuf a.s., yang menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengikuti agama yang lurus adalah orang yang musyrik. Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “Itulah agama yang lurus” berarti tauhidullah, serta mengarahkan setiap perbuatan sebagai bentuk penyembahan terhadap-Nya saja … adalah agama yang benar dan lurus. Yaitu, agama yang telah Allah tetapkan, dan yang untuk itu telah Dia turunkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata. ‘…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu’ adalah alasan yang menyebabkan kebanyakan dari manusia menjadi musyrik”[4].
Ketika menceritakan bahwa Yusuf a.s. tidak menghukumi saudaranya dengan hukum raja, al-Quran menggunakan kata ‘diin’ dengan mengacu pada hukum sang raja. Dengan kata lain, raja itu memiliki diin, dan Yusuf a.s. memiliki diin lain yang berbeda.
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Jadi, wahai saudaraku kaum Muslim, bagaimana mungkin Nabi Yusuf a.s. berkata kepada sahabatnya di penjara bahwa berhukum dengan syariat Allah Swt. adalah diin yang lurus, sementara itu dalam kesempatan lain beliau justru mengadopsi diin sang raja? Kita berlindung kepada Allah Swt. dari fitnah semacam ini.
Imam Nasafi, Ibnu Katsir, dan Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya dengan syariat Yakub a.s. Ayat ini digunakan oleh sebagian orang untuk mengklaim bahwa mafhum mukhalafah ayat tersebut menunjukkan secara implisit bahwa ketika berurusan dengan orang lain Yusuf a.s. menggunakan hukum sang raja. Mafhum mukhalafah bisa dianggap sah berdasarkan bilangan (‘adad) dan deskripsi sifat yang bisa dipahami (wasfu al-mufhim), selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada. Dalam kasus ini, mafhum mukhalafah tersebut berarti batal. Mafhum semacam ini dikenal dengan istilah mafhum al-laqab, yaitu pengertian (konotasi) terbalik yang diambil dari suatu kata benda atau suatu nama, misalnya saudara Nabi Yusuf a.s. Akan tetapi, seperti yang nanti ditunjukkan, penggunaan mafhum yang lemah semacam ini dan dalam kasus ini–yang diterima oleh Abu Bakr ad-Daqaq dan Ibnu Faruq–tidaklah absah.
Kita bisa menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan kesalahan logika tersebut. Jika pernyataan “Aku melihat Zaid” dipahami dengan menggunakan mafhum al-laqab, maka maknanya adalah “Aku tidak melihat orang lain selain Zaid”. Dalam contoh ini, firman Allah Swt. bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya berdasarkan syariat Yakub, diartikan bahwa dalam kesempatan lain beliau menggunakan hukum selain hukum sang raja. Sungguh ini adalah salah satu jenis mafhum mukhalafah yang paling lemah. Bahkan, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan logika semacam ini tidak memiliki landasan, baik itu secara linguistik, hukum, maupun rasional. Imam asy-Syaukani lantas melanjutkan dengan mengatakan, “Diketahui dari lidah orang Arab bahwa siapa pun yang berkata “Aku melihat Zaid”, tidak akan diartikan bahwa ia tidak melihat orang lain selain Zaid, tapi jika ada indikasi di dalam nash bahwa memang itulah makna yang dikehendaki maka bukti atau dalil atas hal itu ditunjukkan oleh indikasi tersebut”[5].
Seandainya mafhum itu dianggap sah, tetap saja tidak dapat digunakan dalam contoh kita tadi. Hal itu karena para pengusung mafhum al-laqab sendiri menetapkan bahwa mafhum tersebut tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan kondisi-kondisi lain, misalnya dengan nash-nash yang eksplisit (qath’iy). Oleh karena itu, penggunaan mafhum tersebut dalam menafsirkan ayat itu akan bertentangan dengan banyak ayat al-Quran yang secara qath’iy jelas-jelas melarang berhukum dengan hukum kufur, termasuk ucapan Nabi Yusuf a.s. sendiri mengenai keharusan berhukum dengan syariat Allah Swt.[6] Pengertian seperti itu akan menimbulkan fitnah dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi Allah yang mulia. Bahkan, ad-Daqaq dan Ibnu Faruq akan menolak penggunaan mafhum al-laqab di dalam menafsirkan ayat ini, karena dapat mengakibatkan makna yang absurd. Jadi, dalam hal ini kita harus menolaknya mentah-mentah.
Akar Kesalahan: Syariat Sebelum Kita
Penjelasan di atas semata-mata untuk melindungi Nabi Yusuf a.s. dari fitnah. Adapun yang kesalahan sebenarnya dari argumen itu adalah bahwa mereka mengatakan beliau a.s. berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, dan konsekuensinya, kita pun boleh berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, yang kini ada di hadapan kita. Klaim ini dibangun di atas anggapan bahwa syariat Yusuf a.s. sah untuk kita ikuti. Ini adalah prinsip yang lemah. Jadi, seandainya saja Nabi Yusuf a.s. berpartisipasi dalam pemerintahan berdasarkan syariat sang raja (sesuatu yang tidak masuk akal), hal ini tetap tidak menjadi sesuatu yang bisa diikuti oleh kaum Muslim. Hal ini karena kaum Muslim terikat dengan syariat yang datang melalui nabi terakhir, Muhammad saw.
Memang ada sebagian ulama yang menerima prinsip ini. Namun, tetap saja para ulama itu menetapkan syarat pemberlakuannya, yaitu syariat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw[7]. Inilah pandangan yang ada terhadap masalah ini; tidak ada alim ulama mana pun yang memiliki pandangan selain dua pandangan tersebut. Tentu saja konyol bila kita katakan bahwa aturan nabi sebelum Muhammad saw. dapat mengalahkan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal yang sama juga berlaku bagi prinsip lain yang juga lemah, meskipun absah, yang mereka coba gunakan untuk menjustifikasi perbuatan mereka, yaitu prinsip maqasid asy-syariah (tujuan-tujuan syariat), substansi dalil, mashalih al-mursalah (kemaslahatan umum), atau memilih yang lebih sedikit madharatnya (ahwan adh-dharain). Tidak ada satu pun dari prinsip-prinsip tersebut yang bisa digunakan karena akan bertentangan dengan nash-nash syara’. Imam al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu Hajib meriwayatkan suatu Ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada dalil umum yang dapat digunakan untuk masalah khusus tanpa pertama-tama melihat dalil yang juga khusus. Oleh karena itu, sebelum merujuk pada sumber hukum sekunder, seperti prinsip yang absah tapi lemah ‘syariat sebelum kita’ itu, pertama-tama kita harus merujuk pada dalil khusus dari Rasulullah saw.
Dalam kasus yang sekarang kita hadapi, pendapat mana pun yang diadopsi, kuat atau lemah, tidak ada analogi lain yang bisa ditarik dari dua fakta itu: perbuatan Yusuf a.s. dan berpartisipasi dalam pemerintahan sistem kufur sekarang ini. Perbuatan semacam itu akan bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw., dalam banyak ayat al-Quran, misalnya ayat berikut:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ ﴿٤٩﴾
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maa-idah [5]: 49)
Sebagai kesimpulan atas kisah Nabi Yusuf a.s., itu bukanlah pendapat yang masuk akal, baik itu dilihat dari pernyatakan bahwa beliau a.s. berpartisipasi di dalam sistem sebagai administrator dan bukan sebagai penguasa; atau bahwa beliau a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan sistem; atau bahwa syariat yang beliau bawa tidak lagi sah pada saat ini; atau bahwa syariat itu sah kecuali apabila bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Sungguh, tidak ada satu pun dari pendapat-pendapat itu yang bisa digunakan untuk membenarkan keikutsertaan dalam sistem kufur yang saat ini berlaku di mana-mana. Perbuatan tersebut adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap aturan Allah Swt., karena hal itu berarti membiarkan pelakunya berhukum dengan hukum-hukum kufur. Jika diyakini, hal itu membuat sang pelaku kafir, dan jika tidak diyakini, minimal membuat dirinya dzalim atau fasik.
*
Salah satu argumentasi yang sering dilontarkan beberapa kelompok untuk membenarkan berdakwah dengan cara bergabung dalam sistem yang jelas-jelas kufur adalah bahwa Sayidina Yusuf as. pernah terlibat dalam sistem kufur. Berikut ini pembahasan rinci tentang hal tersebut.
Bukti Kesalahan Beberapa Argumen Partisipasi dan Integrasi Politik
Argumentasi bahwa Sayidina Yusuf a.s. Terlibat dalam Pemerintahan Kufur
Al-Quran al-Karim menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. diperbolehkan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Raja Mesir yang tidak Islami itu. Berdasarkan hal ini, sebagian pihak mengklaim bahwa kaum Muslim saat ini pun berarti boleh melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan ayat berikut sebagai dalil:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Ayat ini digunakan untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. telah memperdaya raja agar mengizinkan beliau untuk menghakimi saudaranya berdasarkan syariat Yakub a.s.–untuk memperbudak seorang pencuri–dan tidak menggunakan hukum raja. Oleh karena itu, diklaim bahwa pemahaman (konotasi) terbalik (mafhum mukhalafah) ayat tersebut secara implisit menyebutkan, bahwa selain dalam kasus dengan saudaranya, Yusuf a.s. menjalankan hukum raja.
Menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. terlibat dalam pemerintahan yang non-Islami, dan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan selain syariat Allah Swt. adalah suatu penghinaan terhadap kemaksuman seorang nabi. Dengan demikian, argumen tersebut jelas keliru. Sebelum membahas kekeliruan argumen tersebut, pertama-tama kita perlu menunjukkan bukti bahwa Nabi Yusuf a.s. sebenarnya tidak pernah berpartisipasi dalam sistem kufur.
Mari kita cermati ayat pertama tadi, yang digunakan untuk mendiskreditkan Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Hanya ada dua kemungkinan penjelasan yang benar tentang ayat ini. Pertama, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Nabi Yusuf a.s. hanya bertanggung jawab terhadap masalah mengumpulkan dan menyimpan hasil panen rakyat Mesir saat itu, termasuk bertanggung jawab mengamankan gudang penyimpanannya. Artinya, ini adalah jabatan administratif, bukan jabatan kekuasaan atau pemerintahan. Ibnu Katsir mengemukakan pendapat ini dalam tafsir beliau atas ayat ini. Syu’aibah bin Nu’ama juga memiliki pendapat yang sama. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Nabi Yusuf a.s.: “…bertanggung jawab atas gudang penyimpanan hasil panen, yang dikumpulkan untuk persiapan menghadapi musim paceklik yang diperkirakan akan datang. Ia ingin menjadi penjaga lumbung itu sehingga dapat mendistribusikan hasil panen itu dengan cara yang paling bijaksana, baik, dan menguntungkan.”[1]
Pendapat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan hukum kufur atau malah terlibat dalam sistem pemerintahan. Nabi Yusuf a.s. sekadar berpartisipasi dalam posisi sebagai tenaga administratif, dan hal itu tidaklah haram, bahkan hingga sekarang. Jadi, aktivitas ini berbeda dengan aktivitas pemerintahan dan berpartisipasi dalam sistem kufur seperti yang terjadi saat ini, ketika seseorang diambil sumpahnya dan Islam harus tunduk pada pelaksaanan hukum parsial dan kehendak hawa nafsu manusia.
Kemungkinan pendapat yang kedua, bahwa Nabi Yusuf a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan wilayah, disimbolkan oleh kewenangan atas komoditas ekonomi paling penting di kawasan itu. Pendapat ini diajukan oleh Imam an-Nasafi yang mengatakan bahwa dalam masalah tersebut raja berada di bawah Yusuf a.s. dan tidak dapat mengeluarkan keputusan tanpa otorisasi Yusuf a.s. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Yusuf a.s. diberi kewenangan, ‘untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya’.[2] Pendapat ini didukung oleh pandangan sebagian ulama bahwa raja tersebut sebetulnya masuk Islam; Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Mujahid juga berpendapat seperti ini.
Kembali, tidak ada analogi yang bisa diambil oleh mereka yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dalam sistem kufur. Imam an-Nasafi menyatakan bahwa ayat ini sekadar menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan meminta seorang penguasa tiran untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang dianggap adil. Hal ini berarti tidak ada peluang munculnya penerapan aturan secara parsial karena kewenangan diberikan secara penuh.
Adalah mustahil dan tidak masuk akal apabila ayat ini dapat diartikan bahwa berpartisipasi dalam suatu sistem kufur, atau bahwa implementasi Islam secara parsial, diperbolehkan. Menginterpretasikan ayat tersebut dengan cara seperti itu akan membuatnya bertentangan dengan banyak ayat lain yang bersifat qath’iy yang nyata-nyata melarang hal itu. Para ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan hal itu dianggap sebagai kafir, fasik, atau dzalim[3]. Tentu saja mustahil kita mengasosiasikan sifat-sifat tersebut terhadap Nabi Yusuf a.s. karena beliau adalah seorang yang maksum.
Interpretasi bahwa Nabi Yusuf as berpartisipasi dalam sistem kufur dan berhukum dengan hukum raja bertentangan dengan pernyataan Nabi Yusuf a.s. sendiri yang dikatakannya kepada dua sahabatnya di penjara sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini jelas terbukti bahwa Yusuf a.s. meyakini bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan syariat Allah Swt. berarti orang tersebut telah membuat agama versinya sendiri. Ini dilukiskan oleh perkataan beliau: “itulah agama yang lurus”. Jelas, menurut Yusuf a.s., berhukum berdasarkan syariat Allah Swt. adalah masalah akidah (keyakinan), tauhid (keyakinan terhadap keesaan Allah), dan memenuhi ketentuan Allah Swt. Beginilah tafsiran Ibnu Katsir terhadap ucapan Yusuf a.s., yang menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengikuti agama yang lurus adalah orang yang musyrik. Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “Itulah agama yang lurus” berarti tauhidullah, serta mengarahkan setiap perbuatan sebagai bentuk penyembahan terhadap-Nya saja … adalah agama yang benar dan lurus. Yaitu, agama yang telah Allah tetapkan, dan yang untuk itu telah Dia turunkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata. ‘…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu’ adalah alasan yang menyebabkan kebanyakan dari manusia menjadi musyrik”[4].
Ketika menceritakan bahwa Yusuf a.s. tidak menghukumi saudaranya dengan hukum raja, al-Quran menggunakan kata ‘diin’ dengan mengacu pada hukum sang raja. Dengan kata lain, raja itu memiliki diin, dan Yusuf a.s. memiliki diin lain yang berbeda.
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Jadi, wahai saudaraku kaum Muslim, bagaimana mungkin Nabi Yusuf a.s. berkata kepada sahabatnya di penjara bahwa berhukum dengan syariat Allah Swt. adalah diin yang lurus, sementara itu dalam kesempatan lain beliau justru mengadopsi diin sang raja? Kita berlindung kepada Allah Swt. dari fitnah semacam ini.
Imam Nasafi, Ibnu Katsir, dan Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya dengan syariat Yakub a.s. Ayat ini digunakan oleh sebagian orang untuk mengklaim bahwa mafhum mukhalafah ayat tersebut menunjukkan secara implisit bahwa ketika berurusan dengan orang lain Yusuf a.s. menggunakan hukum sang raja. Mafhum mukhalafah bisa dianggap sah berdasarkan bilangan (‘adad) dan deskripsi sifat yang bisa dipahami (wasfu al-mufhim), selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada. Dalam kasus ini, mafhum mukhalafah tersebut berarti batal. Mafhum semacam ini dikenal dengan istilah mafhum al-laqab, yaitu pengertian (konotasi) terbalik yang diambil dari suatu kata benda atau suatu nama, misalnya saudara Nabi Yusuf a.s. Akan tetapi, seperti yang nanti ditunjukkan, penggunaan mafhum yang lemah semacam ini dan dalam kasus ini–yang diterima oleh Abu Bakr ad-Daqaq dan Ibnu Faruq–tidaklah absah.
Kita bisa menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan kesalahan logika tersebut. Jika pernyataan “Aku melihat Zaid” dipahami dengan menggunakan mafhum al-laqab, maka maknanya adalah “Aku tidak melihat orang lain selain Zaid”. Dalam contoh ini, firman Allah Swt. bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya berdasarkan syariat Yakub, diartikan bahwa dalam kesempatan lain beliau menggunakan hukum selain hukum sang raja. Sungguh ini adalah salah satu jenis mafhum mukhalafah yang paling lemah. Bahkan, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan logika semacam ini tidak memiliki landasan, baik itu secara linguistik, hukum, maupun rasional. Imam asy-Syaukani lantas melanjutkan dengan mengatakan, “Diketahui dari lidah orang Arab bahwa siapa pun yang berkata “Aku melihat Zaid”, tidak akan diartikan bahwa ia tidak melihat orang lain selain Zaid, tapi jika ada indikasi di dalam nash bahwa memang itulah makna yang dikehendaki maka bukti atau dalil atas hal itu ditunjukkan oleh indikasi tersebut”[5].
Seandainya mafhum itu dianggap sah, tetap saja tidak dapat digunakan dalam contoh kita tadi. Hal itu karena para pengusung mafhum al-laqab sendiri menetapkan bahwa mafhum tersebut tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan kondisi-kondisi lain, misalnya dengan nash-nash yang eksplisit (qath’iy). Oleh karena itu, penggunaan mafhum tersebut dalam menafsirkan ayat itu akan bertentangan dengan banyak ayat al-Quran yang secara qath’iy jelas-jelas melarang berhukum dengan hukum kufur, termasuk ucapan Nabi Yusuf a.s. sendiri mengenai keharusan berhukum dengan syariat Allah Swt.[6] Pengertian seperti itu akan menimbulkan fitnah dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi Allah yang mulia. Bahkan, ad-Daqaq dan Ibnu Faruq akan menolak penggunaan mafhum al-laqab di dalam menafsirkan ayat ini, karena dapat mengakibatkan makna yang absurd. Jadi, dalam hal ini kita harus menolaknya mentah-mentah.
Akar Kesalahan: Syariat Sebelum Kita
Penjelasan di atas semata-mata untuk melindungi Nabi Yusuf a.s. dari fitnah. Adapun yang kesalahan sebenarnya dari argumen itu adalah bahwa mereka mengatakan beliau a.s. berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, dan konsekuensinya, kita pun boleh berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, yang kini ada di hadapan kita. Klaim ini dibangun di atas anggapan bahwa syariat Yusuf a.s. sah untuk kita ikuti. Ini adalah prinsip yang lemah. Jadi, seandainya saja Nabi Yusuf a.s. berpartisipasi dalam pemerintahan berdasarkan syariat sang raja (sesuatu yang tidak masuk akal), hal ini tetap tidak menjadi sesuatu yang bisa diikuti oleh kaum Muslim. Hal ini karena kaum Muslim terikat dengan syariat yang datang melalui nabi terakhir, Muhammad saw.
Memang ada sebagian ulama yang menerima prinsip ini. Namun, tetap saja para ulama itu menetapkan syarat pemberlakuannya, yaitu syariat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw[7]. Inilah pandangan yang ada terhadap masalah ini; tidak ada alim ulama mana pun yang memiliki pandangan selain dua pandangan tersebut. Tentu saja konyol bila kita katakan bahwa aturan nabi sebelum Muhammad saw. dapat mengalahkan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal yang sama juga berlaku bagi prinsip lain yang juga lemah, meskipun absah, yang mereka coba gunakan untuk menjustifikasi perbuatan mereka, yaitu prinsip maqasid asy-syariah (tujuan-tujuan syariat), substansi dalil, mashalih al-mursalah (kemaslahatan umum), atau memilih yang lebih sedikit madharatnya (ahwan adh-dharain). Tidak ada satu pun dari prinsip-prinsip tersebut yang bisa digunakan karena akan bertentangan dengan nash-nash syara’. Imam al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu Hajib meriwayatkan suatu Ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada dalil umum yang dapat digunakan untuk masalah khusus tanpa pertama-tama melihat dalil yang juga khusus. Oleh karena itu, sebelum merujuk pada sumber hukum sekunder, seperti prinsip yang absah tapi lemah ‘syariat sebelum kita’ itu, pertama-tama kita harus merujuk pada dalil khusus dari Rasulullah saw.
Dalam kasus yang sekarang kita hadapi, pendapat mana pun yang diadopsi, kuat atau lemah, tidak ada analogi lain yang bisa ditarik dari dua fakta itu: perbuatan Yusuf a.s. dan berpartisipasi dalam pemerintahan sistem kufur sekarang ini. Perbuatan semacam itu akan bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw., dalam banyak ayat al-Quran, misalnya ayat berikut:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ ﴿٤٩﴾
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maa-idah [5]: 49)
Sebagai kesimpulan atas kisah Nabi Yusuf a.s., itu bukanlah pendapat yang masuk akal, baik itu dilihat dari pernyatakan bahwa beliau a.s. berpartisipasi di dalam sistem sebagai administrator dan bukan sebagai penguasa; atau bahwa beliau a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan sistem; atau bahwa syariat yang beliau bawa tidak lagi sah pada saat ini; atau bahwa syariat itu sah kecuali apabila bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Sungguh, tidak ada satu pun dari pendapat-pendapat itu yang bisa digunakan untuk membenarkan keikutsertaan dalam sistem kufur yang saat ini berlaku di mana-mana. Perbuatan tersebut adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap aturan Allah Swt., karena hal itu berarti membiarkan pelakunya berhukum dengan hukum-hukum kufur. Jika diyakini, hal itu membuat sang pelaku kafir, dan jika tidak diyakini, minimal membuat dirinya dzalim atau fasik.
1 comments:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu