Tulisan ini sengaja kami muat untuk menjawab tuduhan dari kelompok yg tak mau disebut sebagai kelompok yg mengatakan bahwa " Aqidah HT adalah nyleneh ".
Berikut jawabannya :
HIZBUT TAHRIR bukanlah peletak dasar yang mengeluarkan pendapat bahwa Hadits Ahad tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah aqidah. Ketika HT lahir (1953), kedua pendapat itu sudah ada. HT hanya memilih diantara dua pendapat yang berbeda tersebut kemudian dijadikan / ditabani sebagai pendapat HT. Jadi Claim yang menyebutkan bahwa pendapat tersebut adalah hanyalah pendapat Nyleneh HIZBUT TAHRIR Insya Allah akan terbantah dengan sendirinya. Berikut pendapat ulama yang menyatakan bahwa Hadits Ahad tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah aqidah tetapi bisa digunakan dalam masalah hukum syariat.
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”
Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”
Perlu diketahui, bahwa ulama-ulama di atas sepengetahuan kami bukan anggota HIZBUT TAHRIR. Jadi pendapat bahwa hadits Ahad tidak bisa digunakan untuk masalah Aqidah, tetapi hanya bisa digunakan untuk masalah syariat adalah pendapat para ulama2 di atas.
Catatan kaki :
Sayyid Qutub --> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
Imam Syaukani --> Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
Prof Mahmud Syaltut --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
Al-Ghazali --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Asnawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Bazdawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Al-Kasaaiy --> Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy --> Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
Al-Qadliy --> Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib
Dr. Rifat Fauziy, --> Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
------------------------------------------------------
sumber : http://fauzime.multiply.com/journal/item/16
selengkapnya : http://khabar-ahad.blogspot.com/
download artikel :
Aqidah dan Hadis Ahad
Hadis Ahad
Studi Kritis tentang Istilah Aqidah
support : http://free-islamic-ebook.blogspot.com/
---------------------------------------------------
*
Berikut jawabannya :
HIZBUT TAHRIR bukanlah peletak dasar yang mengeluarkan pendapat bahwa Hadits Ahad tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah aqidah. Ketika HT lahir (1953), kedua pendapat itu sudah ada. HT hanya memilih diantara dua pendapat yang berbeda tersebut kemudian dijadikan / ditabani sebagai pendapat HT. Jadi Claim yang menyebutkan bahwa pendapat tersebut adalah hanyalah pendapat Nyleneh HIZBUT TAHRIR Insya Allah akan terbantah dengan sendirinya. Berikut pendapat ulama yang menyatakan bahwa Hadits Ahad tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah aqidah tetapi bisa digunakan dalam masalah hukum syariat.
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”
Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”
Perlu diketahui, bahwa ulama-ulama di atas sepengetahuan kami bukan anggota HIZBUT TAHRIR. Jadi pendapat bahwa hadits Ahad tidak bisa digunakan untuk masalah Aqidah, tetapi hanya bisa digunakan untuk masalah syariat adalah pendapat para ulama2 di atas.
Catatan kaki :
Sayyid Qutub --> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
Imam Syaukani --> Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
Prof Mahmud Syaltut --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
Al-Ghazali --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Asnawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Bazdawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Al-Kasaaiy --> Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy --> Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
Al-Qadliy --> Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib
Dr. Rifat Fauziy, --> Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
------------------------------------------------------
sumber : http://fauzime.multiply.com/journal/item/16
selengkapnya : http://khabar-ahad.blogspot.com/
download artikel :
Aqidah dan Hadis Ahad
Hadis Ahad
Studi Kritis tentang Istilah Aqidah
support : http://free-islamic-ebook.blogspot.com/
---------------------------------------------------
9 comments:
Asy-Syaukani berkata: ”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya..." [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
1. Asy-Syaukani beriman thd hadits turunnya Nabi Isa dan munculnya Dajjal:
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Yang tepat adalah bahwa Allah mengangkat nabi Isa ke langit tanpa diwafatkan terlebih dahulu. Pendapat ini didukung oleh mufassir-mufassir dan dipilih oleh Ibnu Jarir at Thabari. Alasannya ialah hadits shahih dari Nabi saw yang mengabarkan turunnya nabi Isa dan akan membunuh Dajjal.” (Tafsir Fathul Qadir 1/344)
Asy-Syaukani dalam risalahnya “At-Taudhih fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih”. Dalam buku ini, beliau memaparkan sebanyak dua puluh sembilan hadits, kemudian beliau memaparkan dan menyimpulkan: “Seluruh hadits yang saya paparkan di atas mencapai derajat mutawatir sebagaimana tidak samar lagi bagi para peneliti (ilmu hadits).”
2. As-Syaukani beriman thd hadits adzab kubur:
Asy-Syaukani menjelaskan bahwa makna Al-Ghaib adalah setiap perkara yang dinformasikan oleh Rasulullah di luar kapasitas akal manusia seperti tanda-tanda dekatnya hari kiamat, siksa kubur, kebangkitan dari kubur, perkumpulan manusia di alam mahsyar, jembatan timbangan, surga dan neraka. (Tafsir Fathul Qadir 1/36)
1. Imam Ahmad beriman thd hadits turunnya Nabi Isa dan munculnya Dajjal:
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Prinsip-prinsip Ahlis Sunnah menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipegangi oleh para sahabat Rasulullah saw, mengikuti dan meneladani mereka, dan meninggalkan bid'ah-bid'ah karena setiap bid'ah itu adalah sesat.” Kemudian beliau menyebutkan sejumlah aqidah Ahlis Sunnah, lalu berkata, “Dan mengimani bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan muncul ke dunia dan di antara kedua matanya terdapat tulisan 'kafir', mempercayai hadits-hadits yang membicarakannya, serta mengimani bahwa yang demikian itu akan terjadi dan bahwa Isa akan turun untuk membunuhnya di pintu Lodd.” (Thobaqat Al-Hanabilah 1: 241-243 oleh Al-Qadhi Al-Hasan Muhammad bin Abi Ya'la, terbitan Darul Ma'rifah wan-Nasyr, Beirut)
2. Imam Ahmad beriman dengan hadits siksa kubur:
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Adzab kubur itu haq, tidaklah diingkari kecuali oleh orang yang sesat dan menyesatkan.” (Thabaqat Al-Hanabilah 1/62)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Beriman dengan adanya adzab kubur. Sesungguhnya umat ini akan diuji dan ditanya dalam kuburnya tentang Iman, Islam, siapa Rabbnya dan siapa Nabinya. Munkar dan Nakir akan mendatanginya sebagaimana yang Dia kehendaki dan inginkan. Kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kita beriman dengan semua ini (termasuk siksa kubur dan pertanyaan Munkar Nakir). Barangsiapa yang mengingkari salah satu darinya, maka dia Jahmy.” (Al-Masail Ibnu Hani: 1873)
3. Imam Ahmad beriman dengan hadits dikeluarkannya orang mukmin yg berdosa dr neraka dgn syafaat:
Imam Ahmad mengatakan: “Beriman dengan syafaat Nabi dan beriman dengan adanya suatu kaum yang telah masuk neraka dan telah terbakar serta menjadi arang, kemudian mereka diperintah menuju sebuah sungai yang berada di pintu surga –seperti disebutkan dalam riwayat tentang hal ini– dan (kita imani) bagaimana dan kapan terjadinya. Terhadap yang demikian kita hanya beriman dan mempercayai.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal. 32)
Asy-Syafi'i berkata: “Tidaklah aku menghafal dari fuqahaa kaum muslimin bahwa mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i, hal. 154; Maktabah Sahab]
Kalo menurut pendapat para ulama dlm tulisan diatas, Hadis ahad tidak bisa dijadikan landasan akidah (Akidah yg kokoh).
Adapun menurut ulama yg dikomentar maka akan menimbulkan pertanyaan. Apakah hadis siksa kubur, datangnya dajjal adalah hadis ahad??
Mhn dijelaskan oleh komentator!
Pendapat Imam Syaukani dalam artikel bertolak belakang dengan pendapat Imam Syaukani dalam komentar di atas.
Begitu pun dengan klaim jumhur ulama yang menyatakan bahwa Hadits Ahad itu sudah pasti Dzhanniy sehingga tidak bisa jadi landasan dalam aqidah.
Apakah bila hadits ahad telah terbukti shahih masih bersifat dzhanniy atau qath'iy?
Lalu, bagaimana dengan hadits "innamal a'maalu bin niyat"? Bukankah hadits tersebut ahad gharib? Berarti tidak bisa dijadikan landasan keyakinan? Apakah artinya amal tidak bergantung pada niat?
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”
Hadis ahad tidak bisa menjadi sandaran akidah, tp bisa menjadi hujjah dlm hal amal atau syariah..
Perkara Akidah adalah perkara paten yg tidak bisa diperdebatkan ke hujjahanya maka dari itu harus dibangun dng dalil yg mutawatir/100% (qur'an&sunanah) sehingga menjadi landasan keyakinan yg kokoh.
perlu diketahui perkara akidah berbeda dg perkara syariah..
hadis ahad bisa diamalkan dlm perkara syariah/amalan sehari2.. sprti pendapat jumhur ulama..
Ada seseorang yang bertanya...
akhi... bagaimana antum menjelaskan kalimat ini "Hal-hal yang ditabanni Hizb Selalu dianggap benar, sekalipun masih ada kemungkinan mengandung kesalahan"
Jawaban saya sederhana, sesederhana kalimat yang ditanyakan tersebut, yakni, apa yang diemban oleh Hizbut Tahrir adalah Islam, yakni berupa kumpulan fikrah dan thariqah dalam berdakwah.
Perkara yang ditabani oleh hizbut tahrir adalah hasil ijtihad dari pendiri Hizbut Tahrir yakni al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dan atau penerus beliau dimana pendapat tersebut kemudian dijadikan pendapat mutabanat oleh Hizbut Tahrir.
Sedangkan sudah difahami bersama bahwa perkara yang diijtihadkan maka hasilnya cuma ada dua kemungkinan, bisa benar dan bisa salah.
Begitupula dengan pendapat yang ditabani oleh Hizbut Tahrir, bisa benar dan bisa juga salah.
Seperti kata Imam Syafii, Hizbut Tahrir juga berpendapat, “Ra’yuna shawab yahtamilu al-khatha’ wa ra’yu ghayrina khatha’ yahtamilu ash-shawab.” (Pendapat kami benar tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat selain kami salah tetapi ada kemungkinan benar).
Karena pendapat Hizbut Tahrir ada kemungkinan salah dan pendapat gerakan lain ada kemungkinan benar itulah maka Hizbut Tahrir selalu membuka pintu dialog. Hizbut Tahrir tidak pernah menutup diri.
terima kasih atas artikel ini... pencerahan dari fitnah oleh mereka yg suka menyesatkan org lain...
shahih dengan ahad dan mutawatir itu berbeda. shahih itu berdasarkan kualitas hadits sedangkan ahad ato mutawatir itu berdasarkan kuantitas pembawanya. jadi tak bisa dikatakan hadits ahad yang sudah terbukti shahih maka pasti qath'i. utk menilai qath'i dan dhanni sudah ada ketentuannya tersendiri, menentukkannya adalah dilihat dari tsubut dan dilalahnya. bila tidak memenuhi ciri qath'i, maka sudah pasti dhanni
Wallahu'alam
Hadits Ahad, Dalil Akidah?
Kerangka dalam memahami tema ini:
1. Batasan disebut Akidah
Bahwa Akidah merupakan perkara-perkara tertentu dalam Agama Islam yang harus dibenarkan secara pasti. misal: keberadaan Allah, sifatNya mahamendengar/melihat/mengetaui, Kebenaran Al-Qur'an dan kitab-kitab samawi sebelumnya sebagai wahyu Allah, keberadaan Malaikat, Jin, Surga, dan Neraka.
2. Kekuatan Hadits Ahad
Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,
Pendapat Pertama: Hadits Ahad berfaidah 'Ilm (keyakinan) secara mutlak, yaitu bahwa Hadits Ahad yang shahih (secara zhahir sanadnya) kebenarannya bersifat pasti. Yang berpendapat demikian: Madzhab Azh Zhahiri, dan sebagian kecil ulama
Pendapat Kedua: Hadits Ahad berfaidah Zhann (dugaan) secara mutlak, yaitu bahwa Hadits Ahad yang shahih (secara zhahir sanadnya) kebenarannya bersifat dugaan (diduga kuat benar) secara mutlak. Yang berpendapat demikian: Jumhur 'Ulama
Pendapat Ketiga: Hadits Ahad asalnya berfaidah Zhann (dugaan), namun bisa berfaidah 'Ilm (keyakinan) jika didukung oleh qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kebenarannya bersifat pasti, yaitu yaitu bahwa Hadits Ahad yang shahih (secara zhahir sanadnya) kebenarannya bersifat dugaan (diduga kuat benar), namun bisa bersifat pasti jika didukung oleh faktor penguat tertentu. di antara faktor-faktor penguat tersebut adalah: talaqqathul ummah bil-qabul (disepakati oleh umat untuk diterima), bersifat masyhur (Hadits Masyhur), diriwayatkan oleh para Imam Huffazh (contoh: riwayat Ahmad, dari Syafi'i, dari Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar ra.). Yang berpendapat demikian: Jumhur Hanabilah dan sebagian ulama ushul. Selanjutnya mereka berbeda pendapat terkait indikasi yang mana dari tiga di atas yang bisa mengantarkan Hadits Ahad ke derajat pasti.
3. Kaitan Kekuatan Hadits Ahad dengan Batasan Akidah
Jika perkara akidah mengharuskan pembenaran pasti, maka kebenaran dalilnyapun harus bersifat pasti. Karena mustahil dalil yang bersifat zhanni mampu mengantarkan kepada keyakinan yang bersifat pasti. Sehingga dengan demikian:
Jika mengikuti pendapat pertama (pendapat azh-zhahiri): Hadits Ahad yang shahih secara zhahir sanadnya secara mutlak bisa menjadi dalil dalam perkara Akidah.
Jika mengikuti pendapat kedua (pendapat jumhur ulama): Hadits Ahad meskipun shahih secara zhahir sanadnya secara mutlak tidak bisa menjadi dalil dalam perkara Akidah.
Jika mengikuti pendapat ketiga (pendapat jumhur hanabilah dan sebagian ulama ushul): Hadits Ahad yang shahih secara zhahir sanadnya, jika didukung oleh qarinah penguat yang dianggap dapat mengantarkan pada kepastian maka bisa menjadi dalil dalam perkara Akidah, namun jika tidak maka tidak bisa menjadi dalil dalam perkara Akidah.
4. Tidak mengambil Hadits Ahad sebagai Dalil Akidah bukan berarti mengingkarinya
Dalam prespektif jumhur, meski tidak dibenarkan secara pasti sebagai suatu Akidah, Hadits Ahad (yang shahih secara zhahir sanadnya) tidak boleh diingkari begitu saja melainkan wajib dibenarkan secara zhanni (dugaan kuat). Tentunya selama tidak bertentangan dengan nash-nash qath'i. Hal ini disebabkan karena potensi kebenarannya lebih besar daripada potensi kesalahannya, membenarkannya lebih menentramkan hati daripada mengingkarinya. Perkara-perkara dengan dalil semacam ini termasuk bagian dari cabang Akidah, tapi bukan Akidah (keyakinan) itu sendiri baik secara bahasa maupun istilah.
untuk bahasan lebih mendalam dan lengkap dengan data-data yang valid bisa dipelajari dari file ppt buatan kami terkait tema ini. Silahkan unduh << https://drive.google.com/file/d/0B5HqmpyrolM2R0dBMlN4a1Z4THM/view?pref=2&pli=1 >>.