(Menyatukan Kekuatan Dunia Islam)
Bisa disebut inilah saat paling parah menimpa Dunia Islam. Negeri-negeri Islam mengalami kemandulan luar biasa dalam kancah politik luar negeri (polugri)-nya. Bisa dilihat secara nyata, saat tentara-tentera Zionis Israel membombardir kamp pengungsi Palestina serta membunuh rakyat sipil yang mayoritas anak-anak dan wanita, negeri-negeri Islam diam tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Padahal, jumlah penduduk negeri-negeri Arab yang mengelilingi Israel saja jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Pasukan militer negeri-negeri Arab juga jauh lebih banyak daripada Israel. Pada saat yang sama, pembantaian itu mereka saksikan secara langsung. Yang justru bereaksi adalah rakyat mereka dengan aksi-aksi protes mereka. Ironisnya, tentara-tentara yang seharusnya membebaskan Palestina dari penjajahan malah digunakan untuk membunuh dan menindas rakyatnya sendiri yang memprotes pembunuhan—tepatnya pembantaian massal—kaum Muslim di Palestina.
Lebih menyedihkan lagi, para penguasa Arab menerima dengan lapang dada utusan AS dan menyambutnya dengan sukacita. Padahal, AS-lah pendukung utama negara zionis Israel. Setelah pertemuan itu, para penguasa Arab kemudian membuat pernyataan yang sama: tindakan “bom bunuh diri” harus dihentikan demi perdamaian. Mereka sedikit sekali menyinggung Israel, apalagi mencela AS. Krisis Palestina jelas merupakan bukti nyata kemandulan polugri negeri-negeri Islam.
Contoh nyata lain adalah dalam kampanye antiterorisme yang dilancarkan AS. Saat Presiden AS Goerge W. Bush mengancam dunia dengan dua pilihan: berpihak kepada AS atau kepada teroris. Penguasa negeri-negeri Islam sertamerta ketakutan. Mereka ternyata lebih memilih tetap menjadi budak AS. Mereka pun dengan segera memuaskan tuan mereka, AS, dengan mengambil aksi langsung untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar setia pada AS. Para penguasa Muslim itu bertindak seakan-akan hal tersebut merupakan masalah hidup dan mati mereka.
Lebih dari itu, masalah Bosnia, Kasmir, Albania, Filipina Selatan, Chechnya, Ambon, Poso dan lain-lain yang berlarut-larut melengkapi bukti kemandulan para penguasa negeri Islam ini.
Kekalahan dalam Perang Propaganda
Apa yang menimpa kaum Muslim sekarang ini tidak lepas dari keberhasilan propaganda Barat dalam membentuk opini internasioanal. Pembentukan opini umum ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri suatu negara yang sangat penting. Opini umum sering dianggap sebagai kehendak atau aspirasi masyarakat internasional. Kemampuan sebuah negara untuk membentuk opini umum internasional akan mempengaruhi dukungan negara lain terhadap kebijakan negaranya. Sebaliknya, opini umum masyarakat internasional bisa dijadikan alat penekan terhadap negara lawan. Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton, ada beberapa tujuan dari propaganda: (1) memperoleh atau memperkuat dukungan rakyat dan negara sahabat; (2) mempertajam atau mengubah sikap serta cara pandang (persepsi) terhadap ide dan kejadian tertentu; (3) memperlemah atau meruntuhkan pemerintah asing dan kebijaksanaan serta program nasional mereka yang tidak bersahabat; (4) menetralisasi atau menghancurkan propaganda tidak bersahabat dari negara atau kelompok lain (The International Relation Dictionary, terj. hlm. 67)
AS adalah negara yang selama ini paling berhasil membangun opini internasional. Seruannya untuk memerangi terorisme internasional disambut dan mendapat dukungan di mana-mana. Pada gilirannya, setiap tindakannya terhadap negara lain yang mengatas namakan war againts terrorisme (perang melawan terorisme) kemudian dianggap legal dan wajar. Jadi, berkat keberhasilan propagandanya dalam membangun opini internasional, tindakan AS membantai ribuan kaum Muslim di Afganistan, mengintervensi banyak negara, melakukan diskrimanasi terhadap orang-orang Islam, serta menangkapi orang atau kelompok yang dituduh teroris dianggap sebagai sebuah tindakan yang wajar dan bermoral. Sama halnya yang dilakukan oleh Israel; opini internasional yang direkayasa oleh media massa pendukung zionisme membuat tindakan Israel membunuh, membombardir, dan menghancurkan rumah-rumah rakyat Palestina menjadi legal dan dimaklumi. Dalihnya adalah memberantas terorisme dan demi keamanan nasional. Sebaliknya, tindakan pejuang Islam dianggap sebagai tindakan teroris.
Propaganda Barat menyerang Islam sebenarnya bukanlah saat ini saja. Upaya sistematis Barat untuk menyudutkan, menyerang, dan memutarbalikkan Islam yang hakiki sudah sejak lama dilakukan. Berbagai propaganda negatif pun—seperti terorisme, militan, tak berprikemanusiaan, maniak seks, memelihara perbudakan, fundamentalis, tidak beradab, tidak bermoral, primitif, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya—sering dikaitkan dengan Islam. Dalam kampanye War Againts Terorisme-nya, AS dan sekutu-sekutunya jelas telah menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai obyek serangan mereka. Salah satu propaganda yang ingin mereka bangun adalah bahwa kembali pada syariat Islam dan Khilafah Islamiyah merupakan kemunduran bagi umat Islam dan dunia.
Beberapa perkara yang terus-menerus dilontarkan untuk menyerang Islam antara lain: (1) sistem pemerintahan Islam adalah diktator; (2) Islam merendahkan wanita; (3) Negara Islam adalah adalah police state, dengan rakyat yang hidup ketakutakan dan dipaksa untuk tunduk pada hukum Islam; (4) Islam memundurkan peradaban; (5) Islam akan menindas non-Muslim.
James Rubin (mantan asisten menlu AS di masa Clinton) pernah menulis, “Kita harus mengirimkan pesan yang jelas dan sederhana ke Dunia Islam. Jika visi Osama bin Laden berhasil maka seluruh Dunia Islam akan melihat kenyataan seperti di Afganistan di bawah Taliban. Benarkah Anda ingin hidup di tanahnya Bin Laden, Khilafah Islam di zaman batu, tanpa hak-hak, tanpa ekonomi, dan tanpa masa depan?” (The Independent, 14/10/2001).
Hal yang sama dilontarkan oleh PM Italia Berlusconi, “Kita harus sadar atas superioritas (keunggulan) peradaban kita, sebuah sistem yang—bertolak belakang dengan negeri-negeri Islam—menjamin penghargaan terhadap hak-hak agama dan politik.”
Saat ini, sangat jelas terlihat, betapa Dunia Islam kalah dalam melakukan propaganda untuk membentuk opini internasional. Faktor penyebab utamanya adalah karena peran tersebut tidak dilakukan oleh negara. Sebab, propaganda yang dilakukan oleh suatu negara hanya bisa diimbangi oleh propaganda negara juga. Di samping itu, hampir seluruh media massa internasional terkemuka dikuasai oleh negara-negara besar seperti AS dan Eropa. Sebaliknya, negara-negara di Dunia Islam tidak memiliki perhatian terhadap media massanya, apalagi untuk bisa melakukan propaganda internasional. Media-media massa di Dunia Islam justru menjadi konsumen dari kantor berita internasional yang dikuasai oleh negara-negara kapitalis.
Penyebab Kemunduran Peran Politik Internasional
Peran politik internasional sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuataan negara tersebut. Negara yang lemah pasti tidak memiliki peran yang penting dalam kontelasi internasional. Negara itu hanya menjadi pengekor atau bahkan ditindas oleh negara yang kuat. Faktor utama yang membuat sebuah negara kuat adalah kekuatan ideologi (mabda’)-nya. Tanpa ideologi atau menjadi pengekor ideologi asing, sebuah negara akan menjadi lemah. Lihat saja, semua negara adidaya atau yang pernah menjadi negara adidaya pastilah merupakan negara yang dibangun di atas satu ideologi tertentu. Contohnya adalah Uni Sovyet—sebelum runtuh—dengan ideologi sosialisme-komunisnya, AS dengan ideologi kapitalisme-sekularnya, dan Khilafah Islamiyah pada masa lalu dengan ideologi Islamnya.
Dengan demikian, ideologi adalah faktor dominan yang membuat sebuah negara menjadi kuat sehingga mampu berperan secara dominan pula dalam percaturan politik internasional. Sayang, saat ini, di Dunia Islam tidak ada satupun negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya sekaligus menerapkannya dalam seluruh kehidupannya. Negara-negara Muslim sebagian besar adalah negara pengekor ideologi kapitalisme-sekular. Sebaliknya, ideologi Islam—yang memang hanya mungkin akan diterapkan oleh Negara Khilafah Islamiyah—saaat ini tidak eksis di Dunia Islam.
Ketidakadaan Khilafah Islamiyah membuat kewajiban Muslim untuk berjihad membebaskan negeri-negeri Islam tertindas dan berdakwah menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia menjadi tidak bisa dilaksanakan. Yang terjadi malah sebaliknya, negara-negara sekular di Dunia Islam menghalangi rakyat mereka masing-masing untuk jihad. Bagaimana tentara-tentara Mesir dan Yordania, misalnya, menjaga ketat perbatasan menuju Israel untuk menghalangi kaum Muslim berjihad ke Palestina. Yang lebih ironis lagi, para penguasa pengkhianat itu menangkapi rakyatnya yang ingin berjihad, sementara pada saat yang sama mereka merangkul Israel untuk berdamai.
Praktis, sejak perang terakhir melawan Israel tahun 70-an, pasukan militer di negeri-negeri Islam tidak pernah berperang melawan kekuatan penjajah, kecuali Irak dan Afganistan saat menghadapi serbuan AS. Sebagian besar pasukan militer di Dunia Islam justru sering digunakan oleh penguasa untuk menindas rakyatnya sendiri—bukan untuk melawan penjajah—atau ikut menjadi pasukan perdamaian PBB yang justru untuk memerangi negeri Islam sendiri.
Padahal, sejumlah kelompok Islam dengan persenjataan yang sederhana dan dana yang minim saja mampu menggetarkan musuh-musuh Islam. Contohnya adalah Hizbullah. Kelompok ini pernah membuat Israel ketakutan dan lari dari perbatasan Lebanon. Kelompok Mujahidin juga mampu mengusir negara adidaya Rusia dari bumi Afganistan. Pejuang Chechnya banyak membuat kerugian bagi Rusia. Pejuang Moro sulit dikalahkan hingga saat ini. Kelompok pejuang Islam di Somalia juga mampu mengusir AS dari negeri itu.
Karena itu, dapat dibayangkan jika mobilisasi pasukan militer ini dilakukan oleh sebuah negara, apalagi negara yang bersifat internasional seperti Daulah Khilafah Islamiyah. Pasukan Daulah Khilafah Islamiyah akan menghimpun kekuatan kaum Muslim seluruh dunia—dari berbagai suku, bangsa, maupun ras—sekaligus menyatukan mereka di bawah bendera Islam. Inilah yang dulu pernah dilakukan oleh kaum Muslim di bawah perintah seorang khalifah. Mereka mampu berjihad membebaskan Palestina, menaklukkan Konstatinopel, dan menyeberang sampai ke Eropa untuk menyebarluaskan Islam. Pasukan Islam saat itu dikenal sangat kuat dan terdiri dari berbagai suku bangsa.
Potensi Kekuatan Kaum Muslim Saat Ini
Untuk kembali berperan dalam kontelasi internasional, mau tidak mau, umat Islam harus kembali menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan Islam sebagai ideologi sekaligus asas negaranya. Negara semacam inilah yang akan menerapkan hukum Islam, mengemban ideologi Islam ke seluruh dunia, dan sekaligus menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia.
Memang, tidak bisa dipungkiri, Islam sebagai ideologi secara nyata bertentangan dengan ideologi kapitalisme yang diusung oleh AS. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh ideologis AS adalah Islam. Islam ideologis inilah yang oleh Barat sering disebut dengan fundamentalis, radikal, dan militan; dengan ciri-ciri utamanya adalah menolak sistem kapitalisme dan ingin menegakkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah negara.
Henry Kesingger, dalam bukunya Diplomacy, menulis, “Kita harus mencegah Islam fundamentalis berubah menjadi sebuah ideologi yang menentang Dunia Barat dan kita.”
Hal senada pernah diungkap oleh Willi Claes, mantan sekjen NATO, “Muslim Fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini….Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”
Bahkan, Samuel Huntington tidak menyebut sebagai ancaman adalah Fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri. Dalam bukunya, The Clash of Civilitation and the Remaking of World Order, ia menulis, “Problem mendasar bagi Barat bukanlah Fundamentalisme Islam, tetapi adalah Islam sebagai sebuah peradaban yang penduduknya menyakini ketinggian kebudayaan mereka dan dihantui oleh rendahnya kekuataan mereka.”
Bush sendiri, saat mengomentari Serangan 11 September, menyatakan bahwa perang yang dilakukannya adalah Perang Salib.
Kekuatan ideolgi Islam ini secara jujur diakui oleh banyak pihak. Carleton S, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” (Ceramahnya tanggal 26 September 2001, dengan judul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next”).
Tidak hanya ideologi Islam, umat Islam juga memiliki sumber-sumber kekuataan yang mendukung. Di samping ideologi sebagai faktor penting yang menentukan kekuatan sebuah negara, beberapa faktor lain yang menjadi faktor pendukung bagi Daulah Khilafah Islamiyah dapat menjadi negara adidaya di dunia ini antara lain: Pertama, faktor geografis. Faktor ini cukup berperan menambah kekuatan sebuah negara. Misalnya, wilayah benua Amerika yang dipisahkan dari benua lain oleh wilayah air seluas 3000 mil ke Timur dan ke Barat lebih dari 6000 mil merupakan faktor yang menentukan posisi AS di dunia. Kalaulah seluruh wilayah kaum Muslim bersatu di dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkan sebagai negara adidaya.
Kaum Muslim secara geografis menempati posisi yang strategis jalur laut dunia. Mereka mengendalikan Selat Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat Balb al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanelles dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat Hormus di Teluk. Selat Malaka merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan masyarakat internasional akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi mengingat mereka harus melewati jalur laut strategis tersebut. Di samping itu, mereka akan sulit menaklukkan negeri-negeri Islam, karena pintu-pintu strategis laut dikuasai oleh kaum Muslim.
Kedua, faktor sumberdaya alam (SDA). Negeri-negeri Islam dianugerahi Allah Swt. sebagai negeri-negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alamnya. Contohnya adalah kekayaan akan sumber pangan. Negara yang memiliki sumber pangan yang besar jelas akan memperkuat posisi negara tersebut, karena akan terhindar dari ketergantungan pada negara lain. Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah yang subur untuk bercocok tanam pangan. Apalagi, Daulah Khilafah Islamiyah nanti sangat memperhatikan swasembada pangan ini. Negara yang kelangkaan pangannya permanen menjadi sumber permanen pula dalam politik internasional (Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, terj. hlm.175).
Sumberdaya alam kedua yang penting adalah bahan mentah. Dunia Islam mengendalikan cadangan minyak dunia (60%), boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%), strontium (27%), dan tin ( 22%). Di antara bahan mentah tersebut, minyak memiliki posisi yang sangat strategis. Sejak Perang Dunia I, minyak merupakan sumber energi yang sangat penting untuk industri dan perang; seperti kata Clemenceau pada waktu Perang Dunia I, “Setetes minyak sama nilainya dengan setetes darah prajurit kita.”
Munculnya minyak sebagai bahan mentah yang mutlak diperlukan telah menimbulkan pergeseran dalam kekuatan relatif negara-negara yang secara politis terkemuka. Uni Soviet (masa komunis) menjadi demikian kuat sejak negeri itu berswasembada minyak. Sebaliknya, Jepang semakin melemah saat itu karena tidak mengandung endapan minyak (Hans J. Morgenthau, ibidem, terj. hlm. 178). Kekuatan minyak ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo tersebut mampu menimbulkan keguncangan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa saat itu.
Ketiga, jumlah penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah satu-satunya faktor pendukung kekuatan sebuah negara. Hanya saja, seperti yang ditulis oleh HJ Morgenthau, tidak ada negara yang dapat tetap atau menjadi kekuatan tingkat pertama jika negara tersebut tidak tergolong sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak di dunia. Tanpa penduduk yang banyak tidak mungkin suatu negara mendirikan dan terus menjalankan pabrik industri yang diperlukan untuk melaksankan perang modern dengan berhasil (Politik Antarbangsa, hlm. 192). Penduduk AS yang berjumlah 278.058.881 jiwa (CIA The World Factbook) jelas menjadi salah satu faktor kekuatan negara tersebut. Kalaulah umat Islam bersatu di seluruh dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, jumlah penduduknya tentu sangat luar biasa. Saat Dunia Islam masih “tidur” saja jumlah penduduknya lebih kurang 1 miliar atau 20% dari populasi di dunia. Jelas hal ini akan memberikan kekuatan tersendiri bagi Daulah Khilafah Islamiyah dalam kancah politik internasionalnya.
Keempat, kekuatan militer. Harus diakui bahwa saat ini industri militer Dunia Islam dalam keadaan mundur. Akan tetapi, secara kuantitas jumlah pasukan militer di Dunia Islam sangat besar. Seandainya, dari satu miliar penduduk Dunia Islam direkrut 1 %-nya saja akan didapat 10 juta tentara. Berdasarkan data CIA the World Fact Book, potensi kekuatan militer (military manpower availability) dan dinas militer (fit for military service) yang dimiliki oleh beberapa negeri Islam cukup fantastis. Mesir memiliki 18.562.994 dengan 12.020.059 (dinas militer); Irak memiliki 5.938.093; Iran 18.319.328 dengan 10.872.407 (dinas militer); Pakistan memiliki 35.770.928 dengan 21.897.336 (dinas militer); Turki memiliki kemampuan 18.882.272 dengan 11.432.428 (dinas militer). Belum lagi Indonesia yang memiliki 64.046.149 dengan 37.418.755 (dinas militer). Jadi, dengan gabungan tentara Mesir, Irak, Iran, Pakistan, Turki, dan Indonesia saja potensi jumlah pasukan kaum Muslim yang tersedia adalah sekitar 162 juta. Bandingkan dengan AS dengan potensi militer yang hanya 79 juta, apalagi Israel hanya memiliki sekitar 1, 5 juta pasukan pria dan 1,4 juta pasukan wanita. Jelas potensi kuantitas ini sangat menentukan kekuatan militer di dunia nantinya—jika saja kaum Muslim bersatu. Insya Allah.
Tentu saja, harus diperhatikan kemampuan SDM dan kekuatan industri. Kedua faktor di atas juga menentukan kekuatan sebuah negara. Sebenarnya, dengan melihat banyaknya ilmuwan Muslim di Dunia Islam atau yang bekerja di Barat, membangun kekuatan industri militer ini bukanlah perkara yang sulit. Pakistan saja mampu membangun kekuatan nuklirnya. Masalahnya, tinggal menyatukan para intelekutal tersebut dan mengajak mereka berjuang bersama. Di samping itu, Daulah Khilafah Islamiyah tentu saja akan membuat terobosan baru untuk meningkatkan kualitas SDM ini dengan berbagai cara. Dunia Islam telah membuktikan sebelumnya, saat bersatu di bawah negara ideologis Dulah Khilafah Islamiyah, perkembangan sains dan teknologi Dunia Islam berada di atas negara-negara lain. Fakta ini tidak bisa dibantah.
Dengan potensi ideologis dan faktor-faktor penunjang tersebut, Daulah Khilafah Islamiyah jelas akan menjadi sebuah negara adidaya yang sangat kuat. Di sinilah letak pentingnya kaum Muslim menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah tersebut di tengah-tengah mereka. Ketidakadaan Daulah Khilafah Islamiyah yang berdasarkan ideologi Islam membuat kaum Muslim mundur dalam peran internasionalnya, bahkan tidak mampu menghadapi penjajahan Barat. Bagaimanapun, Barat dengan kekuatan negaranya yang dibangun atas dasar ideologi kapitalisme yang mengglobal, juga harus dilawan dengan kekuatan negara yang dibangun di atas ideologi yang juga mengglobal. Negara tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Khilafah Islamiyah akan menghimpun potensi kaum Muslim dan menyatukan Dunia Islam untuk kemudian berjihad melawan penindasan negara-negara Barat kapitalis. Jihad berperang melawan negara-negara Barat kapitalis—termasuk perang propaganda—tentu saja akan dapat dilakukan secara seimbang jika kaum Muslim bersatu di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. [Farid Wadjdi]
*
Bisa disebut inilah saat paling parah menimpa Dunia Islam. Negeri-negeri Islam mengalami kemandulan luar biasa dalam kancah politik luar negeri (polugri)-nya. Bisa dilihat secara nyata, saat tentara-tentera Zionis Israel membombardir kamp pengungsi Palestina serta membunuh rakyat sipil yang mayoritas anak-anak dan wanita, negeri-negeri Islam diam tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Padahal, jumlah penduduk negeri-negeri Arab yang mengelilingi Israel saja jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Pasukan militer negeri-negeri Arab juga jauh lebih banyak daripada Israel. Pada saat yang sama, pembantaian itu mereka saksikan secara langsung. Yang justru bereaksi adalah rakyat mereka dengan aksi-aksi protes mereka. Ironisnya, tentara-tentara yang seharusnya membebaskan Palestina dari penjajahan malah digunakan untuk membunuh dan menindas rakyatnya sendiri yang memprotes pembunuhan—tepatnya pembantaian massal—kaum Muslim di Palestina.
Lebih menyedihkan lagi, para penguasa Arab menerima dengan lapang dada utusan AS dan menyambutnya dengan sukacita. Padahal, AS-lah pendukung utama negara zionis Israel. Setelah pertemuan itu, para penguasa Arab kemudian membuat pernyataan yang sama: tindakan “bom bunuh diri” harus dihentikan demi perdamaian. Mereka sedikit sekali menyinggung Israel, apalagi mencela AS. Krisis Palestina jelas merupakan bukti nyata kemandulan polugri negeri-negeri Islam.
Contoh nyata lain adalah dalam kampanye antiterorisme yang dilancarkan AS. Saat Presiden AS Goerge W. Bush mengancam dunia dengan dua pilihan: berpihak kepada AS atau kepada teroris. Penguasa negeri-negeri Islam sertamerta ketakutan. Mereka ternyata lebih memilih tetap menjadi budak AS. Mereka pun dengan segera memuaskan tuan mereka, AS, dengan mengambil aksi langsung untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar setia pada AS. Para penguasa Muslim itu bertindak seakan-akan hal tersebut merupakan masalah hidup dan mati mereka.
Lebih dari itu, masalah Bosnia, Kasmir, Albania, Filipina Selatan, Chechnya, Ambon, Poso dan lain-lain yang berlarut-larut melengkapi bukti kemandulan para penguasa negeri Islam ini.
Kekalahan dalam Perang Propaganda
Apa yang menimpa kaum Muslim sekarang ini tidak lepas dari keberhasilan propaganda Barat dalam membentuk opini internasioanal. Pembentukan opini umum ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri suatu negara yang sangat penting. Opini umum sering dianggap sebagai kehendak atau aspirasi masyarakat internasional. Kemampuan sebuah negara untuk membentuk opini umum internasional akan mempengaruhi dukungan negara lain terhadap kebijakan negaranya. Sebaliknya, opini umum masyarakat internasional bisa dijadikan alat penekan terhadap negara lawan. Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton, ada beberapa tujuan dari propaganda: (1) memperoleh atau memperkuat dukungan rakyat dan negara sahabat; (2) mempertajam atau mengubah sikap serta cara pandang (persepsi) terhadap ide dan kejadian tertentu; (3) memperlemah atau meruntuhkan pemerintah asing dan kebijaksanaan serta program nasional mereka yang tidak bersahabat; (4) menetralisasi atau menghancurkan propaganda tidak bersahabat dari negara atau kelompok lain (The International Relation Dictionary, terj. hlm. 67)
AS adalah negara yang selama ini paling berhasil membangun opini internasional. Seruannya untuk memerangi terorisme internasional disambut dan mendapat dukungan di mana-mana. Pada gilirannya, setiap tindakannya terhadap negara lain yang mengatas namakan war againts terrorisme (perang melawan terorisme) kemudian dianggap legal dan wajar. Jadi, berkat keberhasilan propagandanya dalam membangun opini internasional, tindakan AS membantai ribuan kaum Muslim di Afganistan, mengintervensi banyak negara, melakukan diskrimanasi terhadap orang-orang Islam, serta menangkapi orang atau kelompok yang dituduh teroris dianggap sebagai sebuah tindakan yang wajar dan bermoral. Sama halnya yang dilakukan oleh Israel; opini internasional yang direkayasa oleh media massa pendukung zionisme membuat tindakan Israel membunuh, membombardir, dan menghancurkan rumah-rumah rakyat Palestina menjadi legal dan dimaklumi. Dalihnya adalah memberantas terorisme dan demi keamanan nasional. Sebaliknya, tindakan pejuang Islam dianggap sebagai tindakan teroris.
Propaganda Barat menyerang Islam sebenarnya bukanlah saat ini saja. Upaya sistematis Barat untuk menyudutkan, menyerang, dan memutarbalikkan Islam yang hakiki sudah sejak lama dilakukan. Berbagai propaganda negatif pun—seperti terorisme, militan, tak berprikemanusiaan, maniak seks, memelihara perbudakan, fundamentalis, tidak beradab, tidak bermoral, primitif, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya—sering dikaitkan dengan Islam. Dalam kampanye War Againts Terorisme-nya, AS dan sekutu-sekutunya jelas telah menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai obyek serangan mereka. Salah satu propaganda yang ingin mereka bangun adalah bahwa kembali pada syariat Islam dan Khilafah Islamiyah merupakan kemunduran bagi umat Islam dan dunia.
Beberapa perkara yang terus-menerus dilontarkan untuk menyerang Islam antara lain: (1) sistem pemerintahan Islam adalah diktator; (2) Islam merendahkan wanita; (3) Negara Islam adalah adalah police state, dengan rakyat yang hidup ketakutakan dan dipaksa untuk tunduk pada hukum Islam; (4) Islam memundurkan peradaban; (5) Islam akan menindas non-Muslim.
James Rubin (mantan asisten menlu AS di masa Clinton) pernah menulis, “Kita harus mengirimkan pesan yang jelas dan sederhana ke Dunia Islam. Jika visi Osama bin Laden berhasil maka seluruh Dunia Islam akan melihat kenyataan seperti di Afganistan di bawah Taliban. Benarkah Anda ingin hidup di tanahnya Bin Laden, Khilafah Islam di zaman batu, tanpa hak-hak, tanpa ekonomi, dan tanpa masa depan?” (The Independent, 14/10/2001).
Hal yang sama dilontarkan oleh PM Italia Berlusconi, “Kita harus sadar atas superioritas (keunggulan) peradaban kita, sebuah sistem yang—bertolak belakang dengan negeri-negeri Islam—menjamin penghargaan terhadap hak-hak agama dan politik.”
Saat ini, sangat jelas terlihat, betapa Dunia Islam kalah dalam melakukan propaganda untuk membentuk opini internasional. Faktor penyebab utamanya adalah karena peran tersebut tidak dilakukan oleh negara. Sebab, propaganda yang dilakukan oleh suatu negara hanya bisa diimbangi oleh propaganda negara juga. Di samping itu, hampir seluruh media massa internasional terkemuka dikuasai oleh negara-negara besar seperti AS dan Eropa. Sebaliknya, negara-negara di Dunia Islam tidak memiliki perhatian terhadap media massanya, apalagi untuk bisa melakukan propaganda internasional. Media-media massa di Dunia Islam justru menjadi konsumen dari kantor berita internasional yang dikuasai oleh negara-negara kapitalis.
Penyebab Kemunduran Peran Politik Internasional
Peran politik internasional sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuataan negara tersebut. Negara yang lemah pasti tidak memiliki peran yang penting dalam kontelasi internasional. Negara itu hanya menjadi pengekor atau bahkan ditindas oleh negara yang kuat. Faktor utama yang membuat sebuah negara kuat adalah kekuatan ideologi (mabda’)-nya. Tanpa ideologi atau menjadi pengekor ideologi asing, sebuah negara akan menjadi lemah. Lihat saja, semua negara adidaya atau yang pernah menjadi negara adidaya pastilah merupakan negara yang dibangun di atas satu ideologi tertentu. Contohnya adalah Uni Sovyet—sebelum runtuh—dengan ideologi sosialisme-komunisnya, AS dengan ideologi kapitalisme-sekularnya, dan Khilafah Islamiyah pada masa lalu dengan ideologi Islamnya.
Dengan demikian, ideologi adalah faktor dominan yang membuat sebuah negara menjadi kuat sehingga mampu berperan secara dominan pula dalam percaturan politik internasional. Sayang, saat ini, di Dunia Islam tidak ada satupun negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya sekaligus menerapkannya dalam seluruh kehidupannya. Negara-negara Muslim sebagian besar adalah negara pengekor ideologi kapitalisme-sekular. Sebaliknya, ideologi Islam—yang memang hanya mungkin akan diterapkan oleh Negara Khilafah Islamiyah—saaat ini tidak eksis di Dunia Islam.
Ketidakadaan Khilafah Islamiyah membuat kewajiban Muslim untuk berjihad membebaskan negeri-negeri Islam tertindas dan berdakwah menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia menjadi tidak bisa dilaksanakan. Yang terjadi malah sebaliknya, negara-negara sekular di Dunia Islam menghalangi rakyat mereka masing-masing untuk jihad. Bagaimana tentara-tentara Mesir dan Yordania, misalnya, menjaga ketat perbatasan menuju Israel untuk menghalangi kaum Muslim berjihad ke Palestina. Yang lebih ironis lagi, para penguasa pengkhianat itu menangkapi rakyatnya yang ingin berjihad, sementara pada saat yang sama mereka merangkul Israel untuk berdamai.
Praktis, sejak perang terakhir melawan Israel tahun 70-an, pasukan militer di negeri-negeri Islam tidak pernah berperang melawan kekuatan penjajah, kecuali Irak dan Afganistan saat menghadapi serbuan AS. Sebagian besar pasukan militer di Dunia Islam justru sering digunakan oleh penguasa untuk menindas rakyatnya sendiri—bukan untuk melawan penjajah—atau ikut menjadi pasukan perdamaian PBB yang justru untuk memerangi negeri Islam sendiri.
Padahal, sejumlah kelompok Islam dengan persenjataan yang sederhana dan dana yang minim saja mampu menggetarkan musuh-musuh Islam. Contohnya adalah Hizbullah. Kelompok ini pernah membuat Israel ketakutan dan lari dari perbatasan Lebanon. Kelompok Mujahidin juga mampu mengusir negara adidaya Rusia dari bumi Afganistan. Pejuang Chechnya banyak membuat kerugian bagi Rusia. Pejuang Moro sulit dikalahkan hingga saat ini. Kelompok pejuang Islam di Somalia juga mampu mengusir AS dari negeri itu.
Karena itu, dapat dibayangkan jika mobilisasi pasukan militer ini dilakukan oleh sebuah negara, apalagi negara yang bersifat internasional seperti Daulah Khilafah Islamiyah. Pasukan Daulah Khilafah Islamiyah akan menghimpun kekuatan kaum Muslim seluruh dunia—dari berbagai suku, bangsa, maupun ras—sekaligus menyatukan mereka di bawah bendera Islam. Inilah yang dulu pernah dilakukan oleh kaum Muslim di bawah perintah seorang khalifah. Mereka mampu berjihad membebaskan Palestina, menaklukkan Konstatinopel, dan menyeberang sampai ke Eropa untuk menyebarluaskan Islam. Pasukan Islam saat itu dikenal sangat kuat dan terdiri dari berbagai suku bangsa.
Potensi Kekuatan Kaum Muslim Saat Ini
Untuk kembali berperan dalam kontelasi internasional, mau tidak mau, umat Islam harus kembali menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan Islam sebagai ideologi sekaligus asas negaranya. Negara semacam inilah yang akan menerapkan hukum Islam, mengemban ideologi Islam ke seluruh dunia, dan sekaligus menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia.
Memang, tidak bisa dipungkiri, Islam sebagai ideologi secara nyata bertentangan dengan ideologi kapitalisme yang diusung oleh AS. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh ideologis AS adalah Islam. Islam ideologis inilah yang oleh Barat sering disebut dengan fundamentalis, radikal, dan militan; dengan ciri-ciri utamanya adalah menolak sistem kapitalisme dan ingin menegakkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah negara.
Henry Kesingger, dalam bukunya Diplomacy, menulis, “Kita harus mencegah Islam fundamentalis berubah menjadi sebuah ideologi yang menentang Dunia Barat dan kita.”
Hal senada pernah diungkap oleh Willi Claes, mantan sekjen NATO, “Muslim Fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini….Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”
Bahkan, Samuel Huntington tidak menyebut sebagai ancaman adalah Fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri. Dalam bukunya, The Clash of Civilitation and the Remaking of World Order, ia menulis, “Problem mendasar bagi Barat bukanlah Fundamentalisme Islam, tetapi adalah Islam sebagai sebuah peradaban yang penduduknya menyakini ketinggian kebudayaan mereka dan dihantui oleh rendahnya kekuataan mereka.”
Bush sendiri, saat mengomentari Serangan 11 September, menyatakan bahwa perang yang dilakukannya adalah Perang Salib.
Kekuatan ideolgi Islam ini secara jujur diakui oleh banyak pihak. Carleton S, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” (Ceramahnya tanggal 26 September 2001, dengan judul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next”).
Tidak hanya ideologi Islam, umat Islam juga memiliki sumber-sumber kekuataan yang mendukung. Di samping ideologi sebagai faktor penting yang menentukan kekuatan sebuah negara, beberapa faktor lain yang menjadi faktor pendukung bagi Daulah Khilafah Islamiyah dapat menjadi negara adidaya di dunia ini antara lain: Pertama, faktor geografis. Faktor ini cukup berperan menambah kekuatan sebuah negara. Misalnya, wilayah benua Amerika yang dipisahkan dari benua lain oleh wilayah air seluas 3000 mil ke Timur dan ke Barat lebih dari 6000 mil merupakan faktor yang menentukan posisi AS di dunia. Kalaulah seluruh wilayah kaum Muslim bersatu di dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkan sebagai negara adidaya.
Kaum Muslim secara geografis menempati posisi yang strategis jalur laut dunia. Mereka mengendalikan Selat Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat Balb al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanelles dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat Hormus di Teluk. Selat Malaka merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan masyarakat internasional akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi mengingat mereka harus melewati jalur laut strategis tersebut. Di samping itu, mereka akan sulit menaklukkan negeri-negeri Islam, karena pintu-pintu strategis laut dikuasai oleh kaum Muslim.
Kedua, faktor sumberdaya alam (SDA). Negeri-negeri Islam dianugerahi Allah Swt. sebagai negeri-negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alamnya. Contohnya adalah kekayaan akan sumber pangan. Negara yang memiliki sumber pangan yang besar jelas akan memperkuat posisi negara tersebut, karena akan terhindar dari ketergantungan pada negara lain. Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah yang subur untuk bercocok tanam pangan. Apalagi, Daulah Khilafah Islamiyah nanti sangat memperhatikan swasembada pangan ini. Negara yang kelangkaan pangannya permanen menjadi sumber permanen pula dalam politik internasional (Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, terj. hlm.175).
Sumberdaya alam kedua yang penting adalah bahan mentah. Dunia Islam mengendalikan cadangan minyak dunia (60%), boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%), strontium (27%), dan tin ( 22%). Di antara bahan mentah tersebut, minyak memiliki posisi yang sangat strategis. Sejak Perang Dunia I, minyak merupakan sumber energi yang sangat penting untuk industri dan perang; seperti kata Clemenceau pada waktu Perang Dunia I, “Setetes minyak sama nilainya dengan setetes darah prajurit kita.”
Munculnya minyak sebagai bahan mentah yang mutlak diperlukan telah menimbulkan pergeseran dalam kekuatan relatif negara-negara yang secara politis terkemuka. Uni Soviet (masa komunis) menjadi demikian kuat sejak negeri itu berswasembada minyak. Sebaliknya, Jepang semakin melemah saat itu karena tidak mengandung endapan minyak (Hans J. Morgenthau, ibidem, terj. hlm. 178). Kekuatan minyak ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo tersebut mampu menimbulkan keguncangan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa saat itu.
Ketiga, jumlah penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah satu-satunya faktor pendukung kekuatan sebuah negara. Hanya saja, seperti yang ditulis oleh HJ Morgenthau, tidak ada negara yang dapat tetap atau menjadi kekuatan tingkat pertama jika negara tersebut tidak tergolong sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak di dunia. Tanpa penduduk yang banyak tidak mungkin suatu negara mendirikan dan terus menjalankan pabrik industri yang diperlukan untuk melaksankan perang modern dengan berhasil (Politik Antarbangsa, hlm. 192). Penduduk AS yang berjumlah 278.058.881 jiwa (CIA The World Factbook) jelas menjadi salah satu faktor kekuatan negara tersebut. Kalaulah umat Islam bersatu di seluruh dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, jumlah penduduknya tentu sangat luar biasa. Saat Dunia Islam masih “tidur” saja jumlah penduduknya lebih kurang 1 miliar atau 20% dari populasi di dunia. Jelas hal ini akan memberikan kekuatan tersendiri bagi Daulah Khilafah Islamiyah dalam kancah politik internasionalnya.
Keempat, kekuatan militer. Harus diakui bahwa saat ini industri militer Dunia Islam dalam keadaan mundur. Akan tetapi, secara kuantitas jumlah pasukan militer di Dunia Islam sangat besar. Seandainya, dari satu miliar penduduk Dunia Islam direkrut 1 %-nya saja akan didapat 10 juta tentara. Berdasarkan data CIA the World Fact Book, potensi kekuatan militer (military manpower availability) dan dinas militer (fit for military service) yang dimiliki oleh beberapa negeri Islam cukup fantastis. Mesir memiliki 18.562.994 dengan 12.020.059 (dinas militer); Irak memiliki 5.938.093; Iran 18.319.328 dengan 10.872.407 (dinas militer); Pakistan memiliki 35.770.928 dengan 21.897.336 (dinas militer); Turki memiliki kemampuan 18.882.272 dengan 11.432.428 (dinas militer). Belum lagi Indonesia yang memiliki 64.046.149 dengan 37.418.755 (dinas militer). Jadi, dengan gabungan tentara Mesir, Irak, Iran, Pakistan, Turki, dan Indonesia saja potensi jumlah pasukan kaum Muslim yang tersedia adalah sekitar 162 juta. Bandingkan dengan AS dengan potensi militer yang hanya 79 juta, apalagi Israel hanya memiliki sekitar 1, 5 juta pasukan pria dan 1,4 juta pasukan wanita. Jelas potensi kuantitas ini sangat menentukan kekuatan militer di dunia nantinya—jika saja kaum Muslim bersatu. Insya Allah.
Tentu saja, harus diperhatikan kemampuan SDM dan kekuatan industri. Kedua faktor di atas juga menentukan kekuatan sebuah negara. Sebenarnya, dengan melihat banyaknya ilmuwan Muslim di Dunia Islam atau yang bekerja di Barat, membangun kekuatan industri militer ini bukanlah perkara yang sulit. Pakistan saja mampu membangun kekuatan nuklirnya. Masalahnya, tinggal menyatukan para intelekutal tersebut dan mengajak mereka berjuang bersama. Di samping itu, Daulah Khilafah Islamiyah tentu saja akan membuat terobosan baru untuk meningkatkan kualitas SDM ini dengan berbagai cara. Dunia Islam telah membuktikan sebelumnya, saat bersatu di bawah negara ideologis Dulah Khilafah Islamiyah, perkembangan sains dan teknologi Dunia Islam berada di atas negara-negara lain. Fakta ini tidak bisa dibantah.
Dengan potensi ideologis dan faktor-faktor penunjang tersebut, Daulah Khilafah Islamiyah jelas akan menjadi sebuah negara adidaya yang sangat kuat. Di sinilah letak pentingnya kaum Muslim menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah tersebut di tengah-tengah mereka. Ketidakadaan Daulah Khilafah Islamiyah yang berdasarkan ideologi Islam membuat kaum Muslim mundur dalam peran internasionalnya, bahkan tidak mampu menghadapi penjajahan Barat. Bagaimanapun, Barat dengan kekuatan negaranya yang dibangun atas dasar ideologi kapitalisme yang mengglobal, juga harus dilawan dengan kekuatan negara yang dibangun di atas ideologi yang juga mengglobal. Negara tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Khilafah Islamiyah akan menghimpun potensi kaum Muslim dan menyatukan Dunia Islam untuk kemudian berjihad melawan penindasan negara-negara Barat kapitalis. Jihad berperang melawan negara-negara Barat kapitalis—termasuk perang propaganda—tentu saja akan dapat dilakukan secara seimbang jika kaum Muslim bersatu di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. [Farid Wadjdi]
0 comments: