Oleh: Syamsuddin Ramadhan an-Nawi
Pengokohan Dominasi Kaum Neolibertarian
Ditengah kondisi perekonomian nasional yang masih carut marut. Pemerintah tetap ngotot memberlakukan China - ASEAN Free Trade Area (CAFTA) sejak tanggal 1 Januari 2010 lalu. Seperti halnya kebijakan-kebijakan sebelumnya – semacam kebijakan penghapusan subsidi, pengetatan fiskal, reformasi perpajakan, dan privatisasi BUMN—kebijakan pasar bebas tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian orang, terutama kaum neolibertarian, percaya sepenuhnya bahwa pasar bebas berhubungan langsung dengan penciptaan kesejahteraan rakyat.
Perdagangan Bebas dalam Pandangan Islam
Menurut Syeikh Abdul Qaddim Zallum, liberalisasi perdagangan adalah alat negara – negara maju untuk membuka pasar untuk produk-produk manufaktur dan investasi negara-negara maju di negara-negara berkembang. Kebijakan ini tidak hanya memperlemah perekonomian dalam negeri, akibat tidak bisa bersaingnya dengan produk-produk dalam negeri dengan produk-produk impor, tetapi juga akan melarikan kekayaan negara-negara berkembang ke negara-negara maju (efek dependensia). Negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang semakin sulit untuk membangun fondasi ekonomi yang tangguh akibat ketergantungan besar terhadap negara-negara industri. Dengan demikian negara berkembang tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Atas dasar itu, seorang muslim haram menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika, China, dan negara-negara industri barat. Pasalnya, kebijakan pasar bebas membuka jalan selebar-lebarnya pada negara-negara kufur untuk menguasai dan mengontrol perekonomian negeri-negeri muslim. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin (QS. An Nisa: 141).
Perdagangan Luar Negeri di Negara Islam
Dalam pandangan ekonomi politik islam, perdagangan luar negeri dikontrol sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam negeri. Kontrol Negara dalam perdagangan luar negeri mutlak diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diaturdalam perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan antara dua negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari komoditas tersebut. Pandangan ekonomi politik seperti ini didasarkan pada sebuah anggapanbahwa perdagangan luar negeri harus mengikuti hukum Islam yang mengatur interaksi Negara Islam dengan negara-negara lain (kafir). Atas dasar itu, perusahaan atau warga Negara Islam tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa sepengetahuan dan izin dari Negara Islam tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, seluruh negara yang berada di luar Negara Islam adalah negara kafir yang wajib diperangi (kafir harbi). Negara kafir harbi dibagi menjadi 2 macam yaitu, pertama kafir harbi fi’l[an] dan kafir harbi hukm[an]. Negara kafir harbi hukm[an] adakalanya membuat perjanjian dengan Negara Islam (kafir mu’ahid) dan adakalanya meminta perlindungan kepada Negara Islam (kafir musta’min). Klasifikasi seperti ini mutlak dilakukan untuk menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri dengan mereka.
Adapun ketentuan perdagangan luar negeri Negara Islam dapat dipilah menjadi 2, yakni yang behubungan dengan: ekspor komoditas ke luar negeri dan impor komoditas dari dalam negeri.
Berhubungan dengan ekspor komoditas keluar negeri, ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Warga negara Muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Negara Islam) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara negara kufur jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Negara Islam. Adapun barang-barang yang tidak strategis semacam makanan, pakaian, perabotan, souvenir, dsb maka seorang Muslim atau kafir dzimmi dibolehkan menjualnya ke negara kafir. Namun jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut amat sedikit di dalam negeri dan akan membahayakan ketahanan ekonomi Negara Islam maka negara melarang warga negaranya, baik Muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke negara kafir.
2. Perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an],yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan Negara Islam, adalah haram. Terhadap negara seperti ini, negara tidak akan mengizinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam Negara Islam untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an], apapun komoditasnya. Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara harbi fi’l[an] termasuk dalam ta’awun yang dilarang.
Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri dapat dirinci sebagai berikut:
1. Negara mengizinkan kaum Muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Negara Islam, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari Negara Islam, maupun komoditas yang mereka ekspor ke Negara Islam. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Negara Islam. Namun, orang kafir yang mmbuat perjanjian dengan Negara Islam (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannyan ke dalam Negara Islam.
2. Terhadap negara kafir harbi fi’l[an], tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada adalah hubungan perang. Atas dasar itu, kaum Muslim diperbolehkan merampas harta mereka atau memerangi mereka di manapun mereka dijumpai.
3. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Negara Islam, kecuali ada izin masuk dari negara. Jika mereka masuk tanpa izin, mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’l[an], yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapat perlindungan.
Dari uraian diatas dapat disimpulakn bahwa perdagangan luar negeri Negara Islam dikontrol sepenuhnya oleh negara. Warga Negara Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa sepengetahuan dan seizin Negara Islam. Atas dasar itu, diperbatasan wilayah-wiayah Negara Islam dengan negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari Negara Islam.
Proteksionisme
Pada dasarnya proteksionisme adalah politik perdagangan luar negeri yang dianut ekonom kapitalis. Teori ini mengharuskan keterlibatan negara unruk mewujudkan apa yang disebut keseimbangan neraca perdagangan luar negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi neraca perdagangan (balance of trade) dan memecahkan masalah kelemahan ekonomi nasional.
Dalam konteks tertentu, Negara Islam juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja, proteksi yang dilakukan oleh Negara Islam tidak sama dengan yang dilakuan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan Negara Islam tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas meyebarkan risalah Islam keseluruh dunia.
Disisi lain, kebijakan proteksi yang dianut Negara Islam selalu sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-negara kafir. Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20% atas komoditas-komoditas kaum Muslim yang masuk ke negara merek, maka Negara Islam juga akan mengenakan tarif yang sama terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke Negara Islam.
Adapun mengenai cukai (tarif) yang dikenankan atas komoditas perdagangan yang keluar masuk di wilayah Negara Islam tentu berbeda dengan cukai yang dipraktikkan pada perdagangan luar negeri sekarang. Cukai diperkenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga Negara Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, maka sama sekali tidak boleh ada cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun mereka impor ke negara kafir. Penetapan tarif cukai atas orang-orang kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan seperti diatas.
Strategi Negara Islam untuk Memperkuat Produsen Dalam Negeri
Strategi Negara Islam untuk memperkuat produsen dalam negeri adalah sbb:
1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempermudah aktivitas perekonomian di dalam negeri, mulai dari penyediaan transportasi yang handal, manufaktur, telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.
2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten atau royalti atas penggunaan penemuan-penemuan baru dibidang sains dan teknologi. Undang-undang ini dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer teknologi dan skill di selururuh kawasan Negara Islam sehinggan akan meningkatkan kemampuan dan kualitas produksi dalam negeri.
3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk manufaktur yang membahayakan manusia dan merusak lingkungan. Kaedah Ushul Fiqh menyatakan adh-dhararu yuzalu (bahaya itu harus dihilangkan). Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu terkontrol dan terpellihara sehingga memiliki kualitas yang sangat tinggi.
4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-kegiatan perekonomian dalam negeri. Dengan itu niscaya pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa dipacu secara maksimal. Apa lagi sistem moneter yang digunakan Negara Islam adalah sistem moneter yang berbasis emas dan perak, yang memungkinkan terciptanya kestabilan pada sektor fiskal. Jika ini terjadi, dunia usaha di dalam negeri khilafah akan bergerak stabil dan ekspansinya akan tumbuh secara maksimal.
5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengancara menjaga pasar dari praktik-praktik yang bisa mengguncang stabilitas pasar semacam penimbunan, penipuan, riba, pungli, dsb. Negara tidak akan intervensi dengan cara menetapkan harga dengan alasan untuk melindung konsumen atau produsen. Cara yang ditempuh negara untuk menstabilkan harga pasar bukan dengan cara tasy’ir (penetapan harga).
6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dengan menerapkan sanksi-sanksi keras terhadap siapa saja yang berusaha menciptakan instabilitas di dalam negeri.
7. Negara Islam berusaha keras untuk tidak melakukan hutanga dan penarikan investasi luar negeri. Selain justru memperlemah perekonomian dalam negeri, hutang dan investasi luar negeri sering dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk mendikte negara-negara penghutang.
8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya asset-asset milim umu secara profesional demi kemakmuran rakyat. Negara tidak akan melakukan privatisasi pad asset-asset strategis yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi, dan mampu menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri.
WaLlahu a’lam bi ash-shawab.
Dikutip dari Majalah Al-Wa’ie No. 115 Tahun X, 1-31 Maret 2010, dengan sedikit perubahan.
*
Pengokohan Dominasi Kaum Neolibertarian
Ditengah kondisi perekonomian nasional yang masih carut marut. Pemerintah tetap ngotot memberlakukan China - ASEAN Free Trade Area (CAFTA) sejak tanggal 1 Januari 2010 lalu. Seperti halnya kebijakan-kebijakan sebelumnya – semacam kebijakan penghapusan subsidi, pengetatan fiskal, reformasi perpajakan, dan privatisasi BUMN—kebijakan pasar bebas tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian orang, terutama kaum neolibertarian, percaya sepenuhnya bahwa pasar bebas berhubungan langsung dengan penciptaan kesejahteraan rakyat.
Perdagangan Bebas dalam Pandangan Islam
Menurut Syeikh Abdul Qaddim Zallum, liberalisasi perdagangan adalah alat negara – negara maju untuk membuka pasar untuk produk-produk manufaktur dan investasi negara-negara maju di negara-negara berkembang. Kebijakan ini tidak hanya memperlemah perekonomian dalam negeri, akibat tidak bisa bersaingnya dengan produk-produk dalam negeri dengan produk-produk impor, tetapi juga akan melarikan kekayaan negara-negara berkembang ke negara-negara maju (efek dependensia). Negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang semakin sulit untuk membangun fondasi ekonomi yang tangguh akibat ketergantungan besar terhadap negara-negara industri. Dengan demikian negara berkembang tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Atas dasar itu, seorang muslim haram menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika, China, dan negara-negara industri barat. Pasalnya, kebijakan pasar bebas membuka jalan selebar-lebarnya pada negara-negara kufur untuk menguasai dan mengontrol perekonomian negeri-negeri muslim. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin (QS. An Nisa: 141).
Perdagangan Luar Negeri di Negara Islam
Dalam pandangan ekonomi politik islam, perdagangan luar negeri dikontrol sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam negeri. Kontrol Negara dalam perdagangan luar negeri mutlak diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diaturdalam perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan antara dua negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari komoditas tersebut. Pandangan ekonomi politik seperti ini didasarkan pada sebuah anggapanbahwa perdagangan luar negeri harus mengikuti hukum Islam yang mengatur interaksi Negara Islam dengan negara-negara lain (kafir). Atas dasar itu, perusahaan atau warga Negara Islam tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa sepengetahuan dan izin dari Negara Islam tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, seluruh negara yang berada di luar Negara Islam adalah negara kafir yang wajib diperangi (kafir harbi). Negara kafir harbi dibagi menjadi 2 macam yaitu, pertama kafir harbi fi’l[an] dan kafir harbi hukm[an]. Negara kafir harbi hukm[an] adakalanya membuat perjanjian dengan Negara Islam (kafir mu’ahid) dan adakalanya meminta perlindungan kepada Negara Islam (kafir musta’min). Klasifikasi seperti ini mutlak dilakukan untuk menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri dengan mereka.
Adapun ketentuan perdagangan luar negeri Negara Islam dapat dipilah menjadi 2, yakni yang behubungan dengan: ekspor komoditas ke luar negeri dan impor komoditas dari dalam negeri.
Berhubungan dengan ekspor komoditas keluar negeri, ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Warga negara Muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Negara Islam) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara negara kufur jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Negara Islam. Adapun barang-barang yang tidak strategis semacam makanan, pakaian, perabotan, souvenir, dsb maka seorang Muslim atau kafir dzimmi dibolehkan menjualnya ke negara kafir. Namun jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut amat sedikit di dalam negeri dan akan membahayakan ketahanan ekonomi Negara Islam maka negara melarang warga negaranya, baik Muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke negara kafir.
2. Perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an],yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan Negara Islam, adalah haram. Terhadap negara seperti ini, negara tidak akan mengizinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam Negara Islam untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an], apapun komoditasnya. Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara harbi fi’l[an] termasuk dalam ta’awun yang dilarang.
Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri dapat dirinci sebagai berikut:
1. Negara mengizinkan kaum Muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Negara Islam, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari Negara Islam, maupun komoditas yang mereka ekspor ke Negara Islam. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Negara Islam. Namun, orang kafir yang mmbuat perjanjian dengan Negara Islam (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannyan ke dalam Negara Islam.
2. Terhadap negara kafir harbi fi’l[an], tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada adalah hubungan perang. Atas dasar itu, kaum Muslim diperbolehkan merampas harta mereka atau memerangi mereka di manapun mereka dijumpai.
3. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Negara Islam, kecuali ada izin masuk dari negara. Jika mereka masuk tanpa izin, mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’l[an], yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapat perlindungan.
Dari uraian diatas dapat disimpulakn bahwa perdagangan luar negeri Negara Islam dikontrol sepenuhnya oleh negara. Warga Negara Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa sepengetahuan dan seizin Negara Islam. Atas dasar itu, diperbatasan wilayah-wiayah Negara Islam dengan negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari Negara Islam.
Proteksionisme
Pada dasarnya proteksionisme adalah politik perdagangan luar negeri yang dianut ekonom kapitalis. Teori ini mengharuskan keterlibatan negara unruk mewujudkan apa yang disebut keseimbangan neraca perdagangan luar negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi neraca perdagangan (balance of trade) dan memecahkan masalah kelemahan ekonomi nasional.
Dalam konteks tertentu, Negara Islam juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja, proteksi yang dilakukan oleh Negara Islam tidak sama dengan yang dilakuan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan Negara Islam tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas meyebarkan risalah Islam keseluruh dunia.
Disisi lain, kebijakan proteksi yang dianut Negara Islam selalu sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-negara kafir. Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20% atas komoditas-komoditas kaum Muslim yang masuk ke negara merek, maka Negara Islam juga akan mengenakan tarif yang sama terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke Negara Islam.
Adapun mengenai cukai (tarif) yang dikenankan atas komoditas perdagangan yang keluar masuk di wilayah Negara Islam tentu berbeda dengan cukai yang dipraktikkan pada perdagangan luar negeri sekarang. Cukai diperkenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga Negara Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, maka sama sekali tidak boleh ada cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun mereka impor ke negara kafir. Penetapan tarif cukai atas orang-orang kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan seperti diatas.
Strategi Negara Islam untuk Memperkuat Produsen Dalam Negeri
Strategi Negara Islam untuk memperkuat produsen dalam negeri adalah sbb:
1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempermudah aktivitas perekonomian di dalam negeri, mulai dari penyediaan transportasi yang handal, manufaktur, telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.
2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten atau royalti atas penggunaan penemuan-penemuan baru dibidang sains dan teknologi. Undang-undang ini dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer teknologi dan skill di selururuh kawasan Negara Islam sehinggan akan meningkatkan kemampuan dan kualitas produksi dalam negeri.
3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk manufaktur yang membahayakan manusia dan merusak lingkungan. Kaedah Ushul Fiqh menyatakan adh-dhararu yuzalu (bahaya itu harus dihilangkan). Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu terkontrol dan terpellihara sehingga memiliki kualitas yang sangat tinggi.
4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-kegiatan perekonomian dalam negeri. Dengan itu niscaya pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa dipacu secara maksimal. Apa lagi sistem moneter yang digunakan Negara Islam adalah sistem moneter yang berbasis emas dan perak, yang memungkinkan terciptanya kestabilan pada sektor fiskal. Jika ini terjadi, dunia usaha di dalam negeri khilafah akan bergerak stabil dan ekspansinya akan tumbuh secara maksimal.
5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengancara menjaga pasar dari praktik-praktik yang bisa mengguncang stabilitas pasar semacam penimbunan, penipuan, riba, pungli, dsb. Negara tidak akan intervensi dengan cara menetapkan harga dengan alasan untuk melindung konsumen atau produsen. Cara yang ditempuh negara untuk menstabilkan harga pasar bukan dengan cara tasy’ir (penetapan harga).
6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dengan menerapkan sanksi-sanksi keras terhadap siapa saja yang berusaha menciptakan instabilitas di dalam negeri.
7. Negara Islam berusaha keras untuk tidak melakukan hutanga dan penarikan investasi luar negeri. Selain justru memperlemah perekonomian dalam negeri, hutang dan investasi luar negeri sering dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk mendikte negara-negara penghutang.
8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya asset-asset milim umu secara profesional demi kemakmuran rakyat. Negara tidak akan melakukan privatisasi pad asset-asset strategis yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi, dan mampu menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri.
WaLlahu a’lam bi ash-shawab.
Dikutip dari Majalah Al-Wa’ie No. 115 Tahun X, 1-31 Maret 2010, dengan sedikit perubahan.
0 comments: