Sistem yang diwajibkan oleh Allah SWT dalam dunia ini adalah sistem Khilafah..Namun tidak jarang dari kaum muslimin yang menganggap bahwa khilafah bukanlah sistem pemerintahan, dan mereka juga beranggapan bahwa tidak ada seruan di dalam Al-Quran berkenaan dengan penegakkan khilafah. Bahkan mereka mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah bukanlah mendirikan sebuah Negara.
Dalam membicarakan tentang khilafah, maka kita harus mengembalikannya pada Al-Quran dan Sunnah.
Dalil Al-Quran
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ...
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)...
Ayat ini Allah swt mewajibkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan Rasulullah. Disamping itu Allah juga mewajibkan kepada kaum mukmin untuk taat kepada ulil amri (pemimpin) dari golongan orang-orang mukmin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika terjadi perselisihan terhadap berbagai perkara antara orang-orang mukmin dan ulil amri, maka sang ulil amri diwajibkan mengembalikan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (maksudnya merujuk kepada Quran dan Sunnah dalam penyelesaian perkara).
Dalam ayat yang lain :
فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ
Artinya :
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu... (Q.S. Al-Maidah ayat 48)
Ayat ini turun pada fase Madaniyah, dimana Rasulullah
Di ayat berikutnya (Q.S. Al-Maidah ayat 49)
وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya :
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Kaab bin Asyad, Abdullah bin Shuria dan Syas bin Qais berkata, 'Pergilah ke Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkannya dari agamanya.'" Lalu mereka pun pergi kepadanya dan berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya kamu sudah tahu bahwa kami ini adalah tokoh-tokoh agama Yahudi dan pemuka mereka. Kalau kami mengikutimu niscaya orang-orang Yahudi yang lain akan ikut pula karena mereka tidak akan menentang kami. Dan sesungguhnya antara kami dan kaum kami terdapat sengketa dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara ini kepadamu supaya kamu memutuskan dengan kemenangan kami lalu kami akan beriman kepadamu." Tetapi Nabi saw. menolak tawaran mereka itu lalu turunlah ayat, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah...."
Dalam surat Al-Hadiid ayat 25, Allah berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَابَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Ayat di atas dan juga ayat-ayat yang berkenaan dengan hudud, qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah inilah menurut Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji dalam kitab Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan dalil-dalil tentang berdirinya khilafah.
Dalil As-Sunnah
Dalil kedua tentang khilafah adalah sunnah Rasulullah. Sunnah Rasulullah tidak hanya berasal dari qaul (ucapan) Rasul saja, melainkan juga af’al (perbuatan) Rasul. Seperti ditahun pertama hijrahnya Rasul ke Madinah, Rasulullah merumuskan suatu piagam yang berlaku bagi seluruh kaum muslimin dan orang-orang Yahudi yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Isi dari piagam tersebut mencakup tentang perikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, gotong royong untuk kebaikan masyarakat, dan lain-lain. Piagam Madinah ini menurut Ibnu Hisyam merupakan sebuah Undang-undang Dasar Negara dan Pemerintahan Islam yang pertama.
Inti dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbedaan.
2. Persamaan hak dan kewajiban.
3. Gotong royong dalam segala hal yang tidak termasuk kezaliman, dosa, dan permusuhan.
4. Bersama-sama dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
5. Membangun suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya, selurusnya dan sekokoh- kokohnya.
6. Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
7. Melindungi setiap orang yang ingin hidup berdampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
8. Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
9. Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
10. Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
11. Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
12. Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
13. Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang membantu musuh negara itu.
14. Apabila suatu perdamaian akan membawa kebaikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menerima perdamaian.
15. Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada diri pelaku sendiri dan keluarganya.
16. Warga negara bebas keluar masuk wilayah negara sejauh tidak merugikan negara.
17. Setiap warga negara tidak boleh melindungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
18. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan, tidak atas dosa dan permusuhan.
19. Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, keimanan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi orang yang baik dan konsekuen, dan Kekuatan material yaitu kepemimpinan negara yang tercerminkan oleh Nabi Muhammad saw.
Ditahun kedua hijriyah, Rasulullah melaksanakan peperangan di bukit Badar yang disebut dengan perang Badar. Dalam perang tersebut, Rasulullah menurunkan sekitar 300 orang laki-laki. Dari jumlah orang yang diturunkan oleh Rasulullah tersebut, itu bukan merupakan jumlah keseluruhan dari penduduk laki-laki di kota Madinah. Jika seandainya setiap dari laki-laki yang turut berperang dalam perang Badar ini memiliki seorang istri dan 2 orang anak, maka jumlah penduduk Madinah akan berjumlah 900 orang. Angka inipun belum termasuk dengan jumlah laki-laki yang tidak diturunkan berperang oleh Rasulullah saw.
Ditahun ketiga hijriyah, Rasulullah menurunkan sekitar 1.000 orang dalam perang Uhud. Suatu jumlah yang terlalu besar untuk dikatakan bahwa wilayah kekuasaan Rasulullah adalah bukan sebuah negara.
Selain dari Undang-Undang Dasar dan jumlah penduduk, Rasulullah juga mengangkat beberapa sahabat untuk membantu beliau. Seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab r.a sebagai mu’awin. Begitu pula Rasulullah saw mengangkat para wali (gubernur). Rasulullah saw. mengangkat para wali untuk wilayah tertentu dan mengangkat para pegawai. Rasulullah saw., misalnya, mengangkat Utbah bin Usaid menjadi wali (gubernur) di Kota Makkah tidak lama setelah menaklukkannya. Setelah Badzan bin Sasan memeluk Islam, mengangkat Muadz bin Jabal al-Khazraj menjadi wali di Jaud, mengangkat Khalid bin Said bin 'Ash menjadi pegawai di Shun'a', Zayyad bin Labid bin Tsa'labah al-Anshari bertugas di Hadramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy'ari menjadi wali di Zabid dan And, Amru bin Ash menjadi wali di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi wali di Shu'a', Adi bin Hatim menjadi wali di Thayyi', Al-'Illa bin al-Hadhrami menjadi wali di Bahrain dan Abu Dajanah menjadi pegawai (pejabat pemerintah pusat) Rasulullah saw. di Madinah. Sesekali Rasul mengirim petugas khusus untuk mengatur harta. Setiap tahun Beliau mengutus Abdullah bin Rawahah ke perkampungan Yahudi Khaibar untuk menghitung hasil pertanian mereka.
Rasulullah saw juga mengangkat para qadhi (hakim). Rasul mengangkat sejumlah hakim yang tujuannya untuk memutuskan berbagai perkara di antara manusia. Sebagai missal, Beliau menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi hakim di Yaman, Abdullah bin Naufal menjadi hakim di Madinah, serta memperbantukan Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy'ari sebagai hakim di Yaman.
Kaidah Ushul Fiqh
Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya.
Dari dalil-dalil di atas ini membuktikan bahwa Khilafah adalah sebuah sistem kenegaraan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika pada fase Madinah. Maka akan terasa aneh bin ajaib, kalau ada yang mengatakan, ”Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Qur`an dan Hadits. Khilafah hanya ijtihad para shahabat dan ulama.Khilafah adalah bukan sebuah negara. ” Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan,”Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah dan dalil khilafah adalah sebuah negara.” Tapi kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sungguh ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu di Hari Kiamat nanti.
Wallahu a’lam.
by Raden Mas Bejo
(cp/asseifff)
*
Dalam membicarakan tentang khilafah, maka kita harus mengembalikannya pada Al-Quran dan Sunnah.
Dalil Al-Quran
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ...
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)...
Ayat ini Allah swt mewajibkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan Rasulullah. Disamping itu Allah juga mewajibkan kepada kaum mukmin untuk taat kepada ulil amri (pemimpin) dari golongan orang-orang mukmin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika terjadi perselisihan terhadap berbagai perkara antara orang-orang mukmin dan ulil amri, maka sang ulil amri diwajibkan mengembalikan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (maksudnya merujuk kepada Quran dan Sunnah dalam penyelesaian perkara).
Dalam ayat yang lain :
فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ
Artinya :
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu... (Q.S. Al-Maidah ayat 48)
Ayat ini turun pada fase Madaniyah, dimana Rasulullah
Di ayat berikutnya (Q.S. Al-Maidah ayat 49)
وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya :
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Kaab bin Asyad, Abdullah bin Shuria dan Syas bin Qais berkata, 'Pergilah ke Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkannya dari agamanya.'" Lalu mereka pun pergi kepadanya dan berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya kamu sudah tahu bahwa kami ini adalah tokoh-tokoh agama Yahudi dan pemuka mereka. Kalau kami mengikutimu niscaya orang-orang Yahudi yang lain akan ikut pula karena mereka tidak akan menentang kami. Dan sesungguhnya antara kami dan kaum kami terdapat sengketa dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara ini kepadamu supaya kamu memutuskan dengan kemenangan kami lalu kami akan beriman kepadamu." Tetapi Nabi saw. menolak tawaran mereka itu lalu turunlah ayat, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah...."
Dalam surat Al-Hadiid ayat 25, Allah berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَابَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Ayat di atas dan juga ayat-ayat yang berkenaan dengan hudud, qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah inilah menurut Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji dalam kitab Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan dalil-dalil tentang berdirinya khilafah.
Dalil As-Sunnah
Dalil kedua tentang khilafah adalah sunnah Rasulullah. Sunnah Rasulullah tidak hanya berasal dari qaul (ucapan) Rasul saja, melainkan juga af’al (perbuatan) Rasul. Seperti ditahun pertama hijrahnya Rasul ke Madinah, Rasulullah merumuskan suatu piagam yang berlaku bagi seluruh kaum muslimin dan orang-orang Yahudi yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Isi dari piagam tersebut mencakup tentang perikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, gotong royong untuk kebaikan masyarakat, dan lain-lain. Piagam Madinah ini menurut Ibnu Hisyam merupakan sebuah Undang-undang Dasar Negara dan Pemerintahan Islam yang pertama.
Inti dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbedaan.
2. Persamaan hak dan kewajiban.
3. Gotong royong dalam segala hal yang tidak termasuk kezaliman, dosa, dan permusuhan.
4. Bersama-sama dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
5. Membangun suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya, selurusnya dan sekokoh- kokohnya.
6. Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
7. Melindungi setiap orang yang ingin hidup berdampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
8. Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
9. Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
10. Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
11. Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
12. Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
13. Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang membantu musuh negara itu.
14. Apabila suatu perdamaian akan membawa kebaikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menerima perdamaian.
15. Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada diri pelaku sendiri dan keluarganya.
16. Warga negara bebas keluar masuk wilayah negara sejauh tidak merugikan negara.
17. Setiap warga negara tidak boleh melindungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
18. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan, tidak atas dosa dan permusuhan.
19. Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, keimanan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi orang yang baik dan konsekuen, dan Kekuatan material yaitu kepemimpinan negara yang tercerminkan oleh Nabi Muhammad saw.
Ditahun kedua hijriyah, Rasulullah melaksanakan peperangan di bukit Badar yang disebut dengan perang Badar. Dalam perang tersebut, Rasulullah menurunkan sekitar 300 orang laki-laki. Dari jumlah orang yang diturunkan oleh Rasulullah tersebut, itu bukan merupakan jumlah keseluruhan dari penduduk laki-laki di kota Madinah. Jika seandainya setiap dari laki-laki yang turut berperang dalam perang Badar ini memiliki seorang istri dan 2 orang anak, maka jumlah penduduk Madinah akan berjumlah 900 orang. Angka inipun belum termasuk dengan jumlah laki-laki yang tidak diturunkan berperang oleh Rasulullah saw.
Ditahun ketiga hijriyah, Rasulullah menurunkan sekitar 1.000 orang dalam perang Uhud. Suatu jumlah yang terlalu besar untuk dikatakan bahwa wilayah kekuasaan Rasulullah adalah bukan sebuah negara.
Selain dari Undang-Undang Dasar dan jumlah penduduk, Rasulullah juga mengangkat beberapa sahabat untuk membantu beliau. Seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab r.a sebagai mu’awin. Begitu pula Rasulullah saw mengangkat para wali (gubernur). Rasulullah saw. mengangkat para wali untuk wilayah tertentu dan mengangkat para pegawai. Rasulullah saw., misalnya, mengangkat Utbah bin Usaid menjadi wali (gubernur) di Kota Makkah tidak lama setelah menaklukkannya. Setelah Badzan bin Sasan memeluk Islam, mengangkat Muadz bin Jabal al-Khazraj menjadi wali di Jaud, mengangkat Khalid bin Said bin 'Ash menjadi pegawai di Shun'a', Zayyad bin Labid bin Tsa'labah al-Anshari bertugas di Hadramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy'ari menjadi wali di Zabid dan And, Amru bin Ash menjadi wali di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi wali di Shu'a', Adi bin Hatim menjadi wali di Thayyi', Al-'Illa bin al-Hadhrami menjadi wali di Bahrain dan Abu Dajanah menjadi pegawai (pejabat pemerintah pusat) Rasulullah saw. di Madinah. Sesekali Rasul mengirim petugas khusus untuk mengatur harta. Setiap tahun Beliau mengutus Abdullah bin Rawahah ke perkampungan Yahudi Khaibar untuk menghitung hasil pertanian mereka.
Rasulullah saw juga mengangkat para qadhi (hakim). Rasul mengangkat sejumlah hakim yang tujuannya untuk memutuskan berbagai perkara di antara manusia. Sebagai missal, Beliau menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi hakim di Yaman, Abdullah bin Naufal menjadi hakim di Madinah, serta memperbantukan Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy'ari sebagai hakim di Yaman.
Kaidah Ushul Fiqh
Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya.
Dari dalil-dalil di atas ini membuktikan bahwa Khilafah adalah sebuah sistem kenegaraan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika pada fase Madinah. Maka akan terasa aneh bin ajaib, kalau ada yang mengatakan, ”Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Qur`an dan Hadits. Khilafah hanya ijtihad para shahabat dan ulama.Khilafah adalah bukan sebuah negara. ” Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan,”Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah dan dalil khilafah adalah sebuah negara.” Tapi kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sungguh ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu di Hari Kiamat nanti.
Wallahu a’lam.
by Raden Mas Bejo
(cp/asseifff)
0 comments: