NATION STATE DAN KHILAFAH*
Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**
Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**
Menolak Pendekatan Empiris
Menghadap-hadapkan nation state dengan Khilafah dalam kajian empiris tidaklah fair. Sebab di satu sisi, nation state adalah realitas empirik kontemporer. Sedang di sisi lainnya, Khilafah tidak ada lagi dalam realitas masa kini. Khilafah yang hancur tahun 1924 adalah sejarah masa lalu dan baru sebatas cita-cita masa kini, bukan realitas empirik.
Karena itu, secara empirik nation state dan Khilafah tidak dapat diperbandingkan. Jika dipaksakan, yang terjadi adalah ketidakadilan. Mengapa? Karena nation state yang telah menjadi kenyataan cenderung akan dijadikan hakim untuk memvonis Khilafah, yang baru sebatas cita-cita. Yang terjadi adalah semacam pengadilan in absentia oleh pihak berkuasa atas terdakwa yang tidak hadir dan tidak mampu membela dirinya. Apakah ini adil? Padahal Allah SWT telah berfirman :
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-Maaidah [5] : 8)
Jika nation state dibandingkan secara paksa dengan Khilafah dalam kajian empiris, pasti tidak akan adil. Itu sama saja dengan membandingkan Uni Soviet (yang runtuh 1991) dengan Amerika Serikat (yang masih eksis saat ini). Jelas orang akan condong membenarkan dan mendukung Amerika Serikat (AS), karena AS adalah realitas, bahkan realitas hegemonik. Jadi, dalam kajian antar ideologi/paham, konsep harus dibandingkan dengan konsep, realitas harus dibandingkan dengan realitas. Tidak adil membandingkan atau mengadili konsep dengan realitas.Karena itu, supaya adil, pendekatan yang dipakai haruslah di luar pendekatan empirik, yaitu pendekatan normatif dan historis. Pendekatan normatif (pemikiran) dilakukan untuk membandingkan antara nation state sebagai konsep dengan khilafah sebagai konsep. Pendekatan historis juga dapat dilakukan, untuk melihat sejauh mana sejarah nation state dan Khilafah dan interaksi antara keduanya.
Tulisan ini akan membandingkan nation state dan Khilafah dalam dua pendekatan tersebut, yaitu pendekatan normatif dan historis.
Normatif : Khilafah Milik Umat Islam
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji? Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah adalah benar-benar bagian dari ajaran Islam. Hanya minoritas umat Islam yang menolak Khilafah secara normatif. Khilafah bukan sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Kalau ada orang muslim Indonesia (yang mayoritas bermazhab Imam Syafi'i) mengatakan Khilafah tidak wajib, lalu imam siapa yang diikutinya? Tidak jelas. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslimin di dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah empat imam dari kalangan Ahlus Sunnah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah [Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak berdirinya Daulah Islamiyah tahun 622 M tatkala Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah hingga runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924.
Pada masa-masa akhir Khilafah Utsmani di Turki (abad ke-17 s/d ke-19 M), secara internal terjadi kemerosotan pemikiran di kalangan umat Islam. Secara eksternal, kaum penjajah terus melakukan upaya jahatnya untuk menggoncang dan menggerogoti tubuh negara Khilafah. Salah satunya adalah berbagai aktivitas missionatis/zending yang menyebarluaskan tak hanya agama Nashrani yang kafir, tapi juga paham nasionalisme yang asing. Inilah asal usul masuknya paham nasionalisme di Dunia Islam.
Sejarah Masuknya Nasionalisme di Dunia Islam
Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad (1000 tahun), hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M.
Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris –sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun hinga saat itu upaya mereka belum berhasil.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-Madrasah Al-Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini menyimbolkan esensi missi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan).
Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, Awamil Dha’f al-Muslimin, 1993).
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan.
Dari sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka (Taqiyuddin An-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah, 1994; Ali Muhammad Jarisyah & Muhammad Syarifaz –Zaibak, Asalib al-Ghazw al-Fikri li al-‘Alam al-Islami, 1992)
Lahirnya Indonesia sebagai nation-state juga tak lepas dari rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme di Dunia Islam. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda.
Dampak monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya (Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global, LKiS : Yogyakarta, 2000).
Penutup
Dari kajian normatif dan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri, bukan ajaran asing atau bikinan sekelompok orang. Sepanjang sejarah umat Islam, mereka menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat hanya dengan Khilafah, tidak menggunakan sistem lainnya hingga hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924.
Sebaliknya nasionalisme, bukanlah berasal dari ajaran Islam, melainkan dari kaum kafir penjajah. Secara normatif, nasionalisme tidak dikenal dalam Islam.
Dapat disimpulkan pula, bahwa selama 10 abad kaum muslimin tidak pernah mengenal paham nasionalisme. Mereka bersatu menjadi satu kesatuan sebagai satu umat, bukan sebagai satu bangsa. Barulah pada adab ke-17 M, kaum muslimin mulai mengenal nasionalisme, sebagai paham asing yang dibawa oleh kaum misionaris sebagai bagian kegiatan imperialisme di Dunia Islam.
Sudah seharusnya, kaum muslimin kembali lagi kepada ajaran Islam yang asli dan murni, serta menjauhkan diri dari segala macam paham atau ajaran asing yang menyusup ke tubuh umat Islam [ ]
*Makalah disampaikan dalam Debat Terbuka bertema nation state Versus Negara Khilafah, diselenggarakan oleh Komunitas Tabayyun dan Harian Bangsa, di Aula Wisma Bahagia IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu 30 Agustus 2006.
**Dosen STEI Hamfara Yogyakarta, Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPD I Hizbut Tahrir Indonesia DIY, Pengasuh Ma’had Taqiyuddin an-Nabhani, Yogyakarta, Pengelola Situs Dakwah www.khilafah1924.org
source: www.khilafah1924.org
0 comments: