Kehidupan umat Islam tanpa Daulah Khilafah penuh dengan kehinaan dan keterpurukan. Bidang-bidang kehidupan umat seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya jauh dari aturan Allah SWT. Umat pun tidak memiliki benteng yang mampu melindunginya, sehingga negara-negara imperialis Barat dapat terus melestarikan hegemoninya atas umat Islam. Karenanya, eksistensi Khilafah sangatlah urgen. Selain itu, tegaknya hukum-hukum Islam secara menyeluruh yang tak dapat sempurna terwujud tanpa Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, perlu ada perjuangan mengembalikan Khilafah. Jalannya tidak dapat lain kecuali mengikuti metode Rasululah SAW. Di samping itu, diperlukan langkah-langkah strategis ataupun praktis dalam menjalankan metode tersebut. Menegakkan Khilafah bukan perkara utopis, karena secara i’tiqodiy dan juga berdasarkan tinjauan sejarah dan realitas kekinian, Khilafah adalah suatu keniscayaan.
Urgensi Penegakan Khilafah Islamiyah
Kehidupan Islam secara nyata mulai ditegakkan Rasulullah SAW di Madinah semenjak Rasulullah dan para shahabatnya berhijrah dari Makkah Al Mukarramah ke kota itu pada tahun 622 M. Setelah beliau SAW berpulang ke haribaan Allah SWT, kehidupan Islam pun dilanjutkan oleh para sahabat di bawah pimpinan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib.
Puluhan Khalifah dari kalangan Umawiyyin, Abbassiyin, dan Utsmaniyyin terus melanjutkan kehidupan Islam yang mulia itu, hingga hancurnya Daulah Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tanggal 3 Maret 1924, setelah Musthofa Kamal yang murtad mengumumkan penghapusan Khilafah di hadapan Dewan Nasional Raya Turki.
Setelah itu tidak ada lagi kehidupan Islam. Yang ada hanyalah kehidupan orang-orang Islam yang menerapkan aturan Islam sebagian kecilnya saja dan meninggalkan sebagian besar lainnya. Yang ada hanyalah kehidupan sekuleristik yang menceraikan kehidupan dari agama.
Sejak musnahnya payung dunia Islam itu, umat Islam di berbagai belahan dunia hidup nista dan terlunta-lunta didera krisis demi krisis yang seakan tiada pernah berakhir. Wilayah Islam yang semula luas terbentang di seluruh jazirah Arab, Syam, Irak, Turki, semenanjung Balkan, sebagian Asia Tengah, Afrika Bagian Utara, bahkan sebagian Eropa Barat, Asia Tenggara dan Selatan, terpenggal-penggal menjadi lebih dari lima puluh kepingan kecil wilayah yang dikuasai oleh penjajah yang kafir. Jazirah Arab, wilayah Syam, Irak, Asia Selatan dikuasai Inggris, Afrika Bagian Utara dikuasai Perancis, demikian halnya dengan wilayah lainnya. Meskipun mulai dekade 40-an hingga 60-an wilayah-wilayah itu satu per satu merdeka , yakni terbebas dari penjajahan secara fisik (militer), tapi sesungguhnya pengaruh penjajahan tetap saja bercokol di wilayah-wilayah itu dalam berbagai bentuk penjajahan gaya baru di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, biologis, dan lainnya melalui para penguasa muslim yang menjadi boneka kaum imperialis.
Kaum muslimin akhirnya terpecah-belah dan bercerai-berai dalam kerangkeng puluhan negara bangsa (nation-state) dan dibelenggu oleh batas teritorial yang berbasis pada paham nasionalisme yang sempit. Sekalipun boleh jadi kaum muslimin masih memiliki perasaan ukhuwah Islamiyah, namun perasaan tersebut hanya berhenti sebatas emosi kosong belaka, yang tidak dapat diwujudkan secara konkret untuk membela kepentingan kaum muslimin yang sedang menderita di seluruh pelosok dunia, karena dihalangi oleh sikap dan orientasi politik masing-masing negara yang berhaluan nasionalistis. Padahal Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara (QS. Al Hujurat : 10)
Di negeri masing-masing, kaum muslimin mengalami berbagai problem yang sangat berat. Untuk wilayah yang miskin dan melarat, kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari yang memprihatin-kan. Penindasan oleh penguasa, korupsi, kedzaliman, kebodohan, kebejatan moral, dan kerusakan lingkungan ibarat cerita bersambung yang tak pernah diketahui kapan akan tamat.
Secara internasional, wilayah-wilayah itu juga tak henti-hentinya menjadi objek jarahan, eksploitasi, dan penindasan negara-negara adidaya. Emas di Indonesia habis diangkut ke Amerika dan Kanada melalui Freeport, minyak di negara-negara Teluk tandas disedot melalui politik perdagangan yang culas dan curang.
Ternyata, semua tragedi memilukan ini bukanlah akhir cerita. Di bidang kemanusiaan, terjadi pembantaian yang kejam terhadap kaum muslimin di Palestina, Bosnia, Kosovo, Maluku, dan wilayah lainnya. Di bidang ekonomi, para penguasa yang sebenarnya tidak becus mengurus negara itu rela didikte secara hina tanpa berani memberikan bantahan apalagi perlawanan terhadap pihak-pihak asing yang menyetir berbagai kebijakan. Utang luar negeri, persoalan perbankan, pergantian pejabat BUMN, rekapitalisasi perbankan, subsidi listrik dan BBM, bahkan penentuan bea masuk impor beras pun tidak lepas dari tekanan, intimidasi, dan teror negara-negara Barat melalui IMF. Dalam bidang politik, kaum muslimin harus menerima kenyataan pahit : tidak dapat menentukan nasibnya sendiri. Kaum muslimin di berbagai belahan dunia dipenjara aqidah dan pemikirannya dalam penjara-penjara demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Sekularisme menjadi paham sakral yang betul-betul disucikan dan diagung-agungkan, seolah-olah para perumusnya adalah orang-orang ma’shum yang mustahil tersentuh dosa. Ucapan-ucapan propagandisnya dianggap firman atau sabda suci yang bernilai benar secara absolut, yang haram untuk dibantah. Sebagai contoh, di Indonesia sendiri Presiden Gus Dur menyatakan bahwa agama jangan dijadikan institusi dalam kehidupan negara.Katanya, Biarkan agama berkembang, negara tidak usah campur tangan. (Republika, 23/3/2000). Ketika membuka Kongres Muslimat NU XIV di Istora Senayan hari Senin 27 Maret 2000 lalu, Gus Dur kembali menyatakan bahwa negara Islam itu tidak wajib. Selain itu, menurutnya mereka yang menghendaki negara Islam hanyalah orang-orang yang gagal memahami hakikat ajaran Islam.Dengan mulutnya Gus Dur berkata, Saya sendiri dalam menjalankan pemerintahan juga berpegang pada keputusan para ulama, yaitu kita tidak wajib mendirikan negara Islam, melainkan wajib menegakkan keimanan Islam dan akhlak Islam di dalam diri orang-orang yang percaya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam. Kalau ini tidak diterima orang, bagi saya orang itu belum paham. (Kompas, 28/3/2000). Agama betul-betul dikebiri secara total dan hanya diperankan secara formalitas di pojok-pojok masjid dalam perkara ibadah ritual. Dalam kehidupan, agama hanya dijadikan semacam spirit, etika, moral, semangat, ruh, atau entah istilah apa lagi yang intinya adalah mengingkari peran Islam secara total dan holistik untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam bidang pendidikan, putera-puteri kaum muslimin terus dicekoki dan didoktrinasi dengan persepsi-persepsi kapitalis yang penuh dengan kerancuan dalam sistem pendidikan sekuler yang serba materialistik. Diskursus pemikiran dan budaya yang sangat berbahaya dan bertentangan dengan Islam seperti dialog antar agama dibiarkan merajalela untuk meracuni, membodohi, dan memurtadkan kaum muslimin.
Semua krisis ini menunjukkan betapa keroposnya pertahanan umat Islam menghadapi hegemoni negara-negara Barat dan segenap agen-agennya dari kalangan penguasa yang zalim dan kejam. Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar tak ubahnya bagai lautan buih yang tak memiliki kekuatan apa-apa. Realitas demikian sungguh bertolak belakang 180 derajat dengan kondisi umat yang sedemikian jaya saat Daulah Khilafah Islamiyah tegak selama lebih dari 1000 tahun.
Jelaslah, tanpa Daulah Khilafah Islamiyah (biasa disingkat Khilafah) kaum muslimin akan hidup bergelimang dengan kehinaan dan keterpurukan. Mereka terpecah belah menjadi puluhan negara, kekayaannya dirampok dan diangkut ke luar negeri, kezhaliman negara-negara imperialis Barat tak mampu dilawan, hukum-hukum kufur merajalela dengan leluasa, dan anak cucu Adam semakin jauh dari sifat fitri kemanusiaannya. Sementara itu hukum-hukum Allah yang adil, agung, dan mulia teronggok secara nista hanya dalam kitab-kitab fiqih yang usang dan berdebu. Kalaupun dikaji, hukum-hukum yang mulia itu hanya sekedar menjadi pengetahuan dan konsumsi otak belaka, jauh dari penerapannya dalam kehidupan nyata.
Pada gilirannya, kaum muslimin akan terhalang untuk taat melaksanakan aturan-aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Padahal, untuk itulah sebenarnya manusia diciptakan. Allah SWT berfirman :
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat:56).
Berdasarkan semua uraian ini, tak dapat disangkal lagi, bahwa tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah memang sesuatu yang sangat urgen bagi kaum muslimin.
Menegakkan Khilafah : Wajib
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17).
Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Karena nash-nash syara’(nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.
Kewajiban tersebut didasarkan pada nash-nash Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Dalam Al Qur`an Allah SWT berfirman :
Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai¦ (QS Ali Imraan : 103)
Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda :
Barangsiapa mendatangi kalian sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia! (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda :
Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda :
Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu. (HR. Muslim)
Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin-Anshar dengan Yahudi :
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi MahaPenyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad ”Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka bahwa mereka adalah ummat yang satu, di luar golongan orang lain… (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119)
Nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang direkayasa penjajah yang kafir di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, yakni hukuman mati.
Selain Al Qur`an dan As Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata, Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam). Perkataan ini didengar oleh para shahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’di kalangan mereka.
Bahkan sebagian fuqoha menggunakan Qiyas sumber hukum keempat untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata, Para ulama kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang¦Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!
Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr, Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Juli 1998 M)
Jelaslah bahwa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajiban syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahwa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih :
…para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi i, dan Ahmad) rahimahumullah bersepakat pula bahwa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak. (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416)
Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.
Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’i dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’i yang menunjukkan hal tersebut adalah :
Dalil dari Al Quran. Di dalam Al Quran memang tidak terdapat istilah Daulah Khilafah. Tetapi di dalam Al Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/ negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (QS An Nisaa` : 59)
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada.
Di samping itu, Allah SWT telah memerintah-kan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan dengan apa yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT :
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS Al Maidah : 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (QS Al Maidah: 49).
Perintah Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yang memerintahkan kaum muslimin untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT di segala bidang, dalam sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan negara. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah.
Dalil dari As Sunnah. Abdullah bin Umar meriwayatkan, Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau terdapat Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda pula :
Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda :
Bahwasanya Imam itu bagaikan benteng (perisai/ tameng), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung (HR Muslim)
Rasulullah SAW bersabda :
Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para shahabat bertanya, Apa yang engkau perintahkan kepada kami Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.
Rasulullah SAW bersabda :
Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya) maka bersabarlah. Barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah (HR. Bukhari “ Muslim).
Hadits-hadits Nabi ini menunjukkan bahwa yang mengelola urusan kaum muslimin adalah Imam/Khalifah. Demikian pula Rasulullah SAW menjelaskan bahwa para Khalifahlah yang merupakan benteng umat. Selain itu, secara gamblang ditegaskan adanya larangan meninggalkan pemerintahan Islam (sulthan).
Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, yaitu Imam atau Khalifah. Wajib adanya Khalifah berarti pula wajib adanya daulah. Bagaimana mungkin ada kepala negara tanpa adanya negara.
Dengan demikian, kewajiban kaum muslimin memiliki daulah yang dipimpin oleh Khalifah adalah perkara yang tidak perlu diragukan lagi. Dengan kata lain, wajib kaum muslimin memiliki satu Daulah Khilafah.
Dalil dari Ijma’ Shahabat. Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Shahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah alaihim.
Kesepakatan para sahabat dalam pengangkatan seorang Khalifah terwujud dengan sungguh-sungguh pada saat Rasulullah SAW wafat. Para sahabat menunda pemakaman jenazah Rasulullah SAW dan menyibukkan diri mereka untuk mengangkat seorang pengganti beliau. Padahal telah diketahui bahwa pemakaman jenazah seseorang adalah fardlu dan merupakan dosa bagi mereka untuk menyibukkan diri dalam urusan-urusan lain sampai mereka selesai mengurus jenazah. Tetapi, justru sebagian sahabat menyibukkan diri dalam pengangkatan seorang Khalifah walaupun mereka berkewajiban mengurus jenazah Rasulullah SAW. Sahabat yang lain mendiamkan perbuatan mereka dan menyetujui penundaan penguburan selama dua malam meskipun mereka mampu menyalahkan penundaan dan mampu untuk menguburkan Rasulullah SAW.
Perbuatan sahabat ini merupakan Ijma’ mereka tentang lebih pentingnya mengangkat Khalifah daripada penguburan jenazah seseorang.
Dalil dari Kaidah Syar’iyah.Bahkan dilihat dari analisis ushul fiqih, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam ushul fiqih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama :
Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…
Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk Khawarij dan Mu’tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan :
“Menurut golongan Syi’ah, mayoritas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.”
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal WalAhwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)¦
Bahwa Khilafah adalah sebuah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid’ah” dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah : Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dliya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah “seperti Al Islam Wa Ushululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid”sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nash-nash syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya penyambung lidah kaum kafir penjajah “dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan Sekulerisme kepada umat Islam, dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Islam dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut.
Langkah Menuju Daulah Khilafah
Setiap gerak-gerik manusia akan dihisab oleh Allah SWT. Oleh karenanya, dalam setiap perbuatan semua muslim diperintahkan Allah SWT terikat dengan aturan-Nya yang dibawa dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, termasuk dalam menentukan jalan menuju Daulah Khilafah. Firman-Nya :
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suatu teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan (keridlaan) Allah dan hari kemudian, serta banyak mengingat Allah. (QS Al Ahzab : 21).
Merujuk kepada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam membangun Daulah Islamiyah, nampak bahwa yang pertama kali beliau lakukan adalah pembinaan umat (tatsqif). Sejak ditutus Allah SWT, Rasulullah membina individu-individu saat itu sehingga memiliki kepribadian Islam. Orang-orang yang menerima dakwahnya dikumpulkan di rumah Al Arqam bin Abi Al Arqam untuk dikader. Selain itu, orang-orang tersebut berupaya juga untuk menyampaikan dakwah kepada orang lain. Bahkan ada yang diutus, seperti Khabbab bin Arts yang mengajarkan Al Quran kepada Fatimah binti Khathab bersama suaminya.
Terbentuklah kemudian kekuatan politik yang dibangun Rasulullah. Para shahabat menyatu dalam satu barisan yang kokoh, bersama-sama menyampaikan dakwah Islam. Kelompok para shahabat dibawah pimpinan Rasulullah SAW ini lebih nampak ke permukaan sebagai sebuah kekuatan bersama sejak beliau menerima wahyu dalam surat Al Hijr ayat 94 :
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (QS Al Hijr : 94)
Turunnya ayat ini menjadi pertanda bahwa yang dilakukan Nabi bukan hanya pembinaan, namun juga berinteraksi (tafa’ul) dengan masyarakat luas untuk menyampaikan Islam secara terbuka. Semua orang tahu bahwa ketika itu beliau langsung menampakkan risalahnya secara terang-terangan dengan mengajak orang-orang Quraisy pergi berkumpul ke bukit Shafa.Lalu, beliau menyampaikan kepada mereka tentang kenabiannya dan meminta mereka mengimaninya. Berikutnya, beliau dan shahabatnya menentang orang-orang Quraisy, sesembahan mereka, keyakinan-keyakinan dan ide-ide mereka dengan cara menjelaskan kepalsuan dan kerusakannya. Ayat-ayat Al Quran pun turun menyerang kebiasaan mereka, seperti kebiasaan memakan harta riba, mengubur hidup-hidup anak perempuan, curang dalam timbangan, perzinahan. Al Quran menyerang para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, memberinya predikat sebagai orang-orang bodoh disertai dengan pengungkapan persekongkolan-persekongkolan yang mereka rencanakan untuk menentang Rasulullah SAW, dakwah beliau, dan para shahabatnya.
Beliau pun senantiasa berupaya mendapatkan dukungan dari kalangan pemimpin-pemimpin qabilah. Sampai akhirnya, beliau mendapatkan dukungan dari penduduk Madinah (golongan Aus dan Khazraj). Allah SWT pun memerintahkan Rasulullah berhijrah ke Madinah untuk memasuki tahap ketiga dalam perjuangan beliau, yaitu penerapan (tathbiq) Islam secara nyata dalam sebuah negara dan masyarakat Islam di Madinah. Sejak itu terbentuklah tatanan masyarakat Islam dalam sebuah Daulah Islamiyah. Wahyu pun kemudian turun menyangkut berbagai persoalan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti ayat-ayat tentang hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan pemerintahan.
Berdasarkan sirah Nabi SAW itu, dapat disimpulkan bahwa metode syar’i untuk mengubah masyarakat tidak Islami menjadi masyarakat Islami akan melalui 3 (tiga) tahap.
Pertama, Marhalah Tatsqif yaitu tahap pembinaan dan pengkaderan. Dari segi individu, pembinaan ditujukan untuk membentuk muslim yang berkepribadian Islam, yakni seseorang yang berpikir dan berperilaku Islami. Ia tidak berpikiran kecuali sesuai dengan Aqidah Islam, dan tidak berperilaku kecuali sesuai dengan Syariat Islam. Harus ditanamkan pemahaman Aqidah yang benar dan kuat beserta segenap konsekuensi dari orang yang telah beraqidah Islam, yakni taat kepada Syariat. Juga, ditanamkan pemahaman atas Syariat itu sendiri dalam persoalan ibadah, pakaian, makanan, minuman, bergaul, bermuamalah, dan bernegara. Lebih jauh lagi, pembinaan ini ditujukan untuk menyadarkan masyarakat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur sesuai dengan syarit Islam.
Dari segi komunitas, pembinaan kepada umat ditujukan agar setiap muslim yang telah berkepribadian Islam tadi terorganisir dalam sebuah kelompok (takattul) yang bergerak secara politik untuk melakukan upaya perubahan masyarakat ke masyarakat Islam dalam Daulah Khilafah.
Kedua, Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah (berinteraksi dengan masyarakat), yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat dengan umat agar umat turut memikul kewajiban dakwah, sehingga mereka akan menjadikan Islam sebagai masalah utama hidupnya, serta berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Satu hal yang penting diingat, pembinaan dan pengkaderan pun terus berlangsung tanpa henti dalam tahapan ini.
Ketiga, Marhalah Istilam Al Hukmi, yaitu tahap pengambilalihan kekuasaan, dan penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh melalui Daulah Khilafah, lalu mengemban Islam sebagai risalah ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad fi sabilillah.
Dalam prakteknya, perlu ada langkah-langkah strategis ataupun praktis saat menjalani dan menempuh tahapan-tahapan tadi.
Relevankah Ide Khilafah dengan Situasi dan Kondisi Yang Ada Sekarang
Ditinjau dari status, ide Khilafah itu wajib diperjuangkan. Adapun dilihat dari realitas saat ini, ide Khilafah sangatlah relevan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, di antaranya :
Pertama, ideologi yang ada di dunia kini sebenarnya hanya ada 3 (tiga) : Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme. Sosialisme, secara politis, telah tumbang akarnya pada awal tahun 90-an, saat luluh lantahnya Uni Sovyet. Hal ini merupakan fakta yang menjelaskan kegagalan sosialisme dalam mengurusi masyarakat. Bila dihitung dari kelahirannya sekitar tahun 1917, kurang lebih hanya ¾ abad Sosialisme berkuasa.
Di sisi lain, Kapitalisme yang didalangi oleh Amerika Serikat tengah melaju meninggalkan kemanusiaan. Memang benar, dilihat dari sudut kemajuan budaya materil, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan sains sungguh menakjubkan. Namun, dalam perkara jati diri manusia tengah berada di titik nadir. Perbudakan hawa nafsu, ketidakadilan, kehidupan liar melebihi hewan, sikap materialistik, konsumtif, hedonistik, dan machiavelis merupakan buah dari sistem Kapitalis yang rusak. Dengan diatur oleh sistem ini manusia semakin mendekati sifat dan perilaku hewan. Belum 2 abad berkuasa, kehancuran terjadi dalam segala aspek kehidupan. Lantas, mau lari kemana Bukankah hanya ada satu jalan solusi : Islam
Kedua, saat ini jaman globalisasi. Dunia menjadi sebuah dusun kecil. Semua bangsa berupaya untuk menyatu. Amerika Serikat, misalnya, semakin berupaya untuk menyatukan dunia dibawah cengkramannya lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lalu, 12 negara Eropa menandatangani Perjanjian Maastricht 1992 yang memuat pokok penyatuan Eropa mencakup : kesatuan moneter Eropa, kewarganegaraan Eropa Bersatu, imigrasi, pemberian visa, politik luar negeri, dan keamanan bersama, pengadilan, dan urusan dalam negeri. Sementara, NATO tetap dipertahankan sekalipun Pakta Warsawa yang merupakan seterunya telah musnah. Di sisi lain, Hongkong telah kembali kepada Cina, sementara Taiwan terus diupayakan untuk disatukan dengan Cina.
Semua ini memberikan gambaran gagalnya konsep negara-bangsa (nation state). Sekalipun negara-negara besar menggembar-gemborkan konsep itu, namun dalam prakteknya mereka justru melebarkan sayapnya ke pelosok dunia. Jadi, kini bukan lagi jaman nasional, melainkan jaman mendunia dan mondial. Khilafah itu sendiri, adalah sistem pemerintahan untuk umat Islam yang bersifat universal dan mondial, bukan untuk segolongan bangsa, ras, atau penganut madzhab tertentu.
Khilafah Bukan Utopia
Boleh jadi ada sebagian orang yang sinis dan menyebarluaskan sikap pesimis bahwa Khilafah adalah suatu hal yang utopis, yang mustahil terwujud. Orang-orang seperti ini meragukan dan meragu-ragukan orang lain perihal keberhasilan tegaknya Daulah Khilafah di era modern sekarang.
Apakah Khilafah hal yang utopis Benar, akan jadi utopis bila tidak diperjuangkan atau sekedar diomongkan saja sambil lalu. Tetapi bila diperjuangkan dengan teguh, insya Allah cita-cita itu akan tercapai juga suatu saat.
Bagi orang-orang yang yakin akan janji Allah SWT dan mampu mengabstraksikan apa yang terjadi saat ini untuk masa depan, Khilafah bukan suatu utopia, apalagi ide yang gila. Rasa optimisme ini didasarkan pada beberapa hal berikut :
Pertama, secara i’tiqodi Allah SWT berulang kali menegaskan janji-Nya bahwa kemenangan akan dapat diraih oleh orang yang menolong (agama) Allah dengan berupaya menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi ini. Allah SWT memfirmankan :
Apabila kalian menolong (agama) Allah, maka (pasti) Allah akan memberi kalian kemenangan (QS. Muhammad : 7).
Selain itu, Allah SWT mengabarkan bahwa Daulah Khilafah Islamiyah akan tegak lagi. Padahal Allah SWT adalah Dzat Maha Tahu, dan mustahil dusta. Di antara kabar syar’i tersebut adalah :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih (diantaranya berjuang menegakkan Islam di muka bumi) bahwa Dia sungguh pasti menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia pasti meneguhkan bagi mereka dien yang telah diridlai-Nya (Islam) untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka mereka dalam ketakutan menjadi mana sentausa, (dengan syarat) mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan siapa saja yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. An Nur : 55).
Rasulullah SAW bersabda :
Telah datang suatu masa kenabian atas kehendak Allah kemudian berakhir. Setelah itu akan datang masa Khilafah Rasyidah sesuai dengan jalan kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir. Lalu, akan datang masa kekuasaan yang terdapat di dalamnya banyak kezhaliman, atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula. Lantas, akan datang zamannya para diktator (mulkan adludan), atas kehendak Allah, akan berakhir juga. Kemudian (terakhir), akan datang kembali masa Khilafah Rasyidah yang mengikuti jalan kenabian. (HR. Imam Ahmad dan Al Bazzar)
Juga, dicatat sejarah bahwa shahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW : Ya, Rasulullah, kota manakah yang akan lebih dahulu ditundukan, Konstantinopel ataukah Roma Rasulullah pun menjawab : Kota Heraklius (Konstantinopel) yang akan ditundukan terlebih dahulu. (HR. Ahmad dan Ad Darmi).
Sejarah mencatat bahwa Konstantinopel pernah ditundukan oleh pasukan kaum muslimin tahun 1453 M. Sekarang namanya Istambul, di Turki. Sementara, Roma belum pernah ditaklukan. Jadi, Insya Allah, penaklukan Roma pun akan terjadi suatu saat nanti, bila Khilafah telah kembali !
Berdasarkan semua ini, setiap muslim yang benar-benar yakin kepada janji Allah SWT sadar betul bahwa Khilafah akan kembali. Kebanyakan orang percaya atau tidak Daulah Khilafah akan tegak kembali, dengan seizin Allah. Sebab, Allahlah yang telah mengabarkan hal ini kepada seluruh umat manusia.
Kedua, secara faktual, suatu ideologi akan mengungguli ideologi yang lain apabila ideologi tersebut makin lama makin menguat, sementara ideologi lawannya makin lama makin melemah. Pada titik di mana ideologi tersebut kuat dan ideologi lawannya pada posisi lemah, pada saat itulah ideologi tersebut mendapatkan kemenangan.
Realitas saat ini dengan jelas menunjukkan bahwa ideologi Sosialisme telah hancur. Sementara, Kapitalisme sedang banyak diprotes termasuk oleh pendukungnya sendiri. Kehancuran akibat penerapan Kapitalisme pun semakin gamblang di depan mata. Di sisi lain, tambal sulam Kapitalisme dengan Sosialisme pun terus terjadi. Semua ini meng-isyaratkan Kapitalis sedang mengalami pembusukan dan meluncur cepat menuju jurang kehancuran.
Pada saat yang sama, semangat keislaman kaum muslimin semakin jelas terlihat. Kalau dulu agak risi menampakkan keislaman, sekarang malah sebaliknya. Buku-buku Islam makin banyak digemari, pengajian dimana-mana, tuntutan penerapan Islam kian nyaring terdengar, dan para pengemban dakwah dengan gagah bermunculan di mana-mana. Di sisi lain, kekhawatiran Barat akan kebangkitan Islam semakin menggunung dan menggumpal. Tentu saja, hal ini bukan tanpa alasan. Mereka tahu fakta bangkitnya Islam dan kaum muslimin. Munculnya tuduhan-tuduhan fundamentalis, teroris, ataupun ekstremis menunjukkan ketakutan mereka akan kekuatan Islam yang makin membesar. Sebaliknya, Kapitalisme semakin keropos. Suatu ketika, insya Allah, Islam benar-benar kuat dan menang. Ini semua adalah realitas dan keniscayaan yang terus berjalan.
Ketiga, secara historis, sejarah menunjukkan bahwa perubahan yang besar seperti berkobarnya revolusi dan berdirinya negara seperti halnya berdirinya Khilafah nanti bukanlah suatu hal yang utopis apalagi mustahil.
Ketika paham Komunisme tahun 1848 dicetuskan oleh Karl Marx dan Engels dengan Manifesto Komunis-nya, masyarakat menyambut dingin. Mungkin saja saat itu masyarakat mengatakan negara Komunis adalah utopis. Namun, setelah terus diupayakan dan berkobar Revolusi Bolshevik, tegaklah negara Uni Soviet tahun 1917.
Tahun 1898 saat Konferensi Zionisme di Bazel (Swiss) kaum zionis belum punya negara. Orang bisa berkata bahwa mendirikan negara Yahudi adalah suatu kemustahilan melihat konteks dan konstelasi politik internasional saat itu, di mana Khilafah Utsmaniyah masih tegak berdiri. Namun toh pada tahun 1948 Israel terlaknat berhasil mendirikan sebuah negara setelah menjarah bumi Palestina yang suci dan diberkahi.
Juga saat Indonesia dijajah Belanda, tidak terbayang kita akan dapat merdeka. Bagi sebagian orang, merdeka dari Belanda adalah utopis ! Tapi realitasnya, Belanda berhasil diusir dan kemudian berdirilah apa yang disebut-sebut dengan Republik Indonesia.
Jadi, sesuatu yang dikatakan utopis oleh seseorang belum tentu memang benar utopis. Sebab, boleh jadi sikap utopisnya itu lahir dari tipisnya keimanan yang ada pada dirinya, sempitnya wawasan yang dimilikinya dalam memandang realitas sejarah dan realitas kekinian, ketakmampuannya merumuskan idealitasnya dalam konsep dan metode yang jelas, serta ketidakbecusannya dalam mewujudkan visi-visinya.
Khatimah
Tanpa kehidupan Islam di bawah naungan negara Khilafah Islamiyah, jelas kita tak bisa mengharapkan tatanan kehidupan yang baik yang dapat membebaskan masyarakat dari kapitalisme di bidang ekonomi, westernisasi di bidang budaya, nasionalisme di bidang politik, dan sinkretisme di bidang agama. Tanpa Khilafah kita tidak akan mendapatkan kebaikan dari Dienul Islam yang kita yakini datang untuk mendatangkan rahmat bagi seluruh manusia di dunia.
Karena itu, sudah seharusnya kita segera berbenah diri dengan penuh kesadaran dan keteguhan untuk menapaki jalan seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW untuk menuju Khilafah Islamiyah yang kita cita-citakan bersama, meskipun orang-orang kafir membencinya.
Allah SWT berfirman :
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS Ash Shaff : 8)
[Oleh Muhammad Shiddiq Al Jawi]
————————————————-
0 comments: