KHOBAR AHAD DALAM AQIDAH
1:31 AM | Author: el-Hafiy
Oleh : Titok Priastomo

Syariah Publications. Tulisan ini bicara tentang sebuah pernyataan yang berbunyi “khobar ahad tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara aqidah” yang terdapat dalam buku Asy-Syakhshiyah Al Islamiyah juz I karya Taqiyyuddiin An Nabhaaniy rahimahullaah. Kami terdorong untuk membahas permasalahan ini karena sepenggal pernyataan di atas sering dicomot begitu saja tanpa menyertakan penjelasan yang memadai dari penulisnya. Padahal beliau menulis dua bab tersendiri untuk mempertanggungjawabkan pernyataan tersebut. Kemudian -setelah dicomot- sepotong kalimat itu diangkat dan disyarah sekehendak hati oleh orang yang berkeinginan untuk menyerang, mendiskreditkan, membodoh-bodohkan, dan menyesat-nyesatkan penulisnya. Seringkali serangan mereka tidak berpijak pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis.
Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terlontarkan. Seperti pernyataan seseorang “Taqiyudiin melarang pengikutnya untuk mempercayai apa yang ditunjukkan oleh hadits ahad”. Pernyataan yang berbentuk mutlak tanpa embel-embel dan penjelasan ini sama sekali tidak benar, dan itu akan menjadi suatu perkara besar di pengadilan Allah kelak, yaitu saat siapa saja yang terdzolimi oleh lisan seseorang, maka ia akan mendapat keadilan. Dan kami akan menjadi salah seorang di antara ribuan orang yang akan menuntut keadilan dalam perkara ini. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita selesaikan di dunia saja. Wallaahu Musta’an.

Bukan Pernyataan Baru Yang “Nyleneh”.
Siapa saja yang tersentak, terheran-heran, bergeleng-geleng kepala ketika mendengar pernyataan bahwa hadits ahad tidak dijadikan hujjah dalam perkara aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ia belum berinteraksi dengan khasanah keilmuan islam mengenai masalah ini, meski hanya sedikit. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan itu, siapa saja yang akrab dengan tsaqofah islam, mengikuti perbincangan para ulama dalam bidang ushuluddiin, ushul fiqh mau pun hadits, dia akan menemukan berbagai pernyataan dan polemik seputar masalah ini, mulai dari apa faedah yang didatangkan oleh hadits ahad, sampai dalam masalah apa dibolehkan untuk ber-istid-laal (berdalil) dengan hadits ahad. Dia akan menemukan nama ulama -yang sehari-hari namanya kita sebut- memiliki pendapat yang sama dengan Taqiyyudiin -seperti Hujjatul Islaam Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi sampai ulama kontemporer seperti syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf, dll. Sebagaimana dia juga akan menemukan ulama besar yang menentang pernyataan itu -seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dengan kemampuan seadanya, kami baru bisa menyentuhkan satu ujung jari ke kulit terluar dari lautan ilmu yang luas itu. Yang dengan kelemahan itu kami bertambah cinta kepada para ulama dan bertambah kecil di hadapan Allah Ta’alaa. Tapi alhamdulillaah -dengan karunia yang diberikan Allah- kami bisa merasakan betapa para ulama telah memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dan karena kehendak Allah, melalui ilmu yang mereka uraikan, kita bisa berusaha menentukan sikap dalam masalah pelik yang mereka perdebatkan ini. Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka hanya kepadaNyalah kita minta pertolongan.
Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddiin
Sebelum lebih jauh mengurai tentang permasalahan hadits ahad dalam aqidah, kepada siapa saja kita hendak bicara, terlebih dahulu harus dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.
Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.
Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.
Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.
Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.
Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.
Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.
Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah). Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.
Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.
Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.
Yang perlu dijelaskan adalah:
Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz-dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.
Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.
Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.
Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.
Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak). Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz-dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).
Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?
Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).
Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.
Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.
Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya-secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkannya-secara-pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang-pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.
Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.

Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang-Wajib-Dibenarkan-Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?
Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.
Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.
Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.
Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.
Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.
Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.
Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.
Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.
Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)
Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab

Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis
1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!
Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.
Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan”? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?”. Itulah perkataan mereka.
Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.
Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenaran yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.
Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan-secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.
Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.
Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz-dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz-dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).
Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan-dengan-pembenaran-yang-pasti”, dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.
2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam
Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.
Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.
Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?
Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan). Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.
Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.
Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.
Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam
3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya
Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.
Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz-dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.
Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).
Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.
Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.
Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama. Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq
Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam
walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
*
Share/Bookmark
This entry was posted on 1:31 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 comments:

On 3:28 AM , Nursyamsi said...

Sangat bermanfaat. Alhamdulillah. Smg Allah mengganjar sebagai pahala yg tidak akan putus. Amin.

Ana share ke blog google ana Tadz.

 

Daftar Isi

hosting murah, gratis domain





Kumpulan Bantahan – Jawaban Ilmiyyah HT (Resmi) & Syabab Atas Berbagai Fitnah Terhadap HT

Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir & Metode Dakwah:

Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (1)
Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (2)
Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (3)
Hizbut Tahrir Adalah Partai Politik Yang Berdiri Sendiri Tidak Mewakili dan Tidak Diwakili Oleh Siapapun
Cara HT Mengungkapkan Dirinya Sendiri
Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir
Mengenal Hizbut Tahrir
Tahapan Dakwah dan Aktivitas Politik Hizbut Tahrir
Jalan Rasulullah saw, Jalan Pasti Menuju Tegaknya Khilafah
Hizbut Tahrir : Dakwah Islam Pemikiran, Politik, dan Tanpa Kekerasan
Kenapa Hizbut Tahrir Partai Politik ?
Memoar Syaikh Abu Arqam (Generasi Awal Hizbut Tahrir)
Sejarah Awal Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia
Ustadz Abu Zaid (DPP HTI): HT Hanya Meneladani Metode Dakwah Nabi SAW
Jalan Menuju Khilafah
Jalan Utopia Menuju Khilafah
Hizbut Tahir Menilai Berhasil Kenalkan Konsep Khilafah
Fikrah Akidah Islam
Capaian Muktamar Khilafah 2013
Muktamar Khilafah Sia-sia?
Wawancara Koran al Liwa’ dengan Ustadz Ahmad Al-Qashash (Media Informasi Hizbut Tahrir Lebanon) : Hizbut Tahrir Berasaskan Aqidah Islam
Wawancara Wartawan Al Quds Al Arabi dengan Ahmad Al-Khatib (Anggota Media Informasi Hizbut Tahrir) di Palestina
Keterangan Pers: Hizbut Tahrir yang Berjuang untuk Khilafah dengan Garis Perjuangan yang Sudah Tetap Tidak Akan Berhenti Menarik Perhatian Terhadapnya!
Jangan Takut Bergabung dengan Hizbut Tahrir

Koreksi Ilmiyyah HT atas Fitnah & Kesalahan Pemikiran:

Koreksi Atas buku WAMY dan Buku-Buku Derivatnya (Al-Thariiq ilaa Jamaa’at al-Muslimiin)
Koreksi Atas Artikel Sabili: “Menguak Hizbut Tahrir”
Catatan Jubir: HT Elitis?
Beberapa Tanggapan Terhadap Khilafah
Hizbut Tahrir dan Pemboikotan Media Massa (Media Anti Islam)
Hizbut Tahrir adalah Gerakan Islam yang Bekerja Membangun Negara Khilafah yang Merupakan Kewajiban Syariah dengan Metodologi yang Jelas dan Hanya Berdasarkan Syariah yang Benar
Melarang Aspirasi Penegakkan Syariat dan Khilafah Adalah Menentang Karya Agung Para Ulama dan Melestarikan Kerusakan Sistem Demokrasi
Catatan Atas Pemberitaan Seputar Hizbut Tahrir Terkait Konferensi Media Global
Hizbut Tahrir Berjuang Berlandaskan Islam (Tanggapan Atas Artikel Syathah di Surat Kabar Al-Intibahah)
Gerakan Islam dan Masalah Khilafah (Tanggapan Hizbut Tahrir Atas Surat Kabar Al-Ahram)
HT Turki: Siapa yang Mengklaim Adanya Hubungan antara Hizbut Tahrir dengan Ergenekon
Bantahan Terhadap Beberapa Kerancuan Koran asy-Syarq al-Awsath Terhadap Hizbut Tahrir
KETERANGAN PERS: Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Buku Ilusi Negara Islam
Ilusi Buku Ilusi Negara Islam
Demokratisasi atau Revitalisasi? (Tanggapan untuk Ahmad Syafii Maarif)
Kenapa Ideologi Islam Dianggap Asing, Sedangkan Kapitalisme Tidak?
Bantahan Terhadap Artikel Dr Syafii Ma’arif
Koran “Shariato Phobia” (Kritik Terhadap The Jakarta Post)
Catatan Jubir HTI: The Jakarta Post dan Bias Media
The Jakarta Post/opinion : Inaccurate and misleading reports on HTI
Mencabut Terorisme dengan Dakwah (Tanggapan Untuk Jawa Pos)
Tanggapan Terhadap Artikel di Koran Ar-Riyadh
HT Turki Bantah Tudingan Media Massa
Hizbut Tahrir Wilayah Lebanon Tolak Tudingan Melakukan Aksi Bersenjata
Keputusan Penuntut Umum Denmark: Membatalkan Tuduhan Palsu Terhadap Hizbut Tahrir
Tanggapan HTI Jawa Barat Atas Berita Berjudul: ”Bangladesh Menahan 27 Penyebar Selebaran” Di Pikiran Rakyat Pada Edisi Ahad, 15 Maret 2009

Amir HT Berjuang Keras Bersama Umat:

Profil Amir HT Ke-1 Al-’Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Profil Amir HT Ke-2 Al-’Alim Asy-Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum
Profil Amir HT Ke-3 Al-’Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah
Memoar dari Penjara dan Indahnya Persahabatan bersama Amir Hizbut Tahrir, Al-Alim –Al-Jalil Sheikh Ata bin Khalil Abu al- Rashtah
Alhamdulillah, Facebook dan Twitter Resmi Amir Hizbut Tahrir Al-‘Alim ‘Atha bin Kholil Abu Ar-Rasytah Diluncurkan
Page FB Resmi Amir HT
Website Resmi Amir HT
Amir Hizbut Tahrir: Dukunglah Penegakkan Khilafah
Teks Pidato Amir Hizbut Tahrir Kepada Warga di Suriah
Surat Amir Hizbut Tahrir Kepada Salah Seorang Ulama Al-Azhar Syaikh Hasan al-Janaini yang Menjadi Pejuang Khilafah

Testimoni Sebagian Pandangan Ulama, Tokoh tentang HT & Perjuangan Menegakkan Syari’ah wal Khilafah:

Prof. Hassan Ko Nakata: Hanya Hizbut Tahrir Gerakan Politik Islam yang Memperjuangkan Terealisasinya Khilafah
Salah Satu Guru Besar Al-Azhar Al-Syariif Menjadi Pejuang Khilafah
Brigadir Hussam Alawak Menjelaskan Mengapa Ia Percaya Bahwa Hizbut Tahrir Adalah Kekasih Allah
Kumpulan Testimoni: Kita Akan Dukung Terus Hizbut Tahrir
Buya dan Asatidz Sumbar: Hizbut Tahrir Wadah Perjuangan Para Alim Ulama Untuk Menegakkan Khilafah
Testimoni Ulama: “Saya mahzabnya bukan Rambo yang berjuang sendirian, maka saya bergabung dengan Hizbut Tahrir”
Kiyai Dadang: “Saya Mendukung Hizbut Tahrir Sepenuh Hati, dan Siap Membantu dengan Segenap Kemampuan yang Ada”
Ulama Sumedang, Siap Berjuang Bersama Hizbut Tahrir Untuk terapkan Syariah dan Khilafah
Ulama Banjarnegara: “Begitu Kenal Dengan HTI, Saya Langsung Jatuh Hati”
Gus Lubabul: “Saya Warga NU, Tetapi Secara Batiniah Merasa Anggota HTI”
Komentar Beberapa Tokoh Lampung Terhadap Manifesto Hizbut-Tahrir untuk Indonesia
Workshop Ulama Rancaekek Timur:“Saya ingin Khilafah tegak besok”
Tokoh Lampung; Jiwa Kami Tetap Akan Mendukung Perjuangan HTI dalam Menegakkan Khilafah
Kalau Bisa HTI Rutin Memberikan Pencerahan kepada Jamaah
Ustadz Arifin Ilham : Puncak Kesufian Dalam Islam Adalah Dakwah dan Jihad Untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah!
Pimpinan Ponpes Nurul Ulum Jember, KH. Abdullah: Kami Jalin Hubungan dengan HTI
Peduli Akan Wajibnya Berhukum Dengan Syariat Islam Kyai Muchlash Zain Undang Para Ulama dan Tokoh Ummat
Ulama Jabar: Kami Akan Terus Mensosialisasikan Wajibnya Syariah dan Khilafah!
Workshop Ulama Jawa Timur I : “Penyatuan Sikap dan Langkah Ulama Untuk Penegakan Syariah”
Ulama Mendukung Hizbut Tahrir Perjuangkan Syariah dan Khilafah

HT Pecahan dari Al-Ikhwan Al-Muslimin?

Kala Sebagian Pemimpin dan Anggota Al-Ikhwan Al-Muslimin Jatuh Hati Kepada Hizbut Tahrir
Syaikh Taqiyudin An-Nabhani Bukan Deflektor dari Gerakan Ikhwan

HT, Perjuangan Menegakkan Al-Khilafah & Jihad:

Tanya Jawab atas Ungkapan “Jihad Bukan Metode untuk Menegakkan al-Khilafah”
Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir
Ustadz Ahmad Al-Qashash (Media Informasi Hizbut Tahrir Lebanon): Jihad Hukumnya Wajib!
Haji & Jihad
Soal Jawab Amir HT: الجهاد في العمل لإقامة الدولة
Soal Jawab Amir HT (Terjemah): Jihad dalam Perjuangan Untuk Menegakkan Daulah dan Ifadhah dalam Haji
Menyoal Perjuangan Bersenjata Untuk Menegakkan Daulah Islamiyah

HT & Pembahasan Bid’ah:

Jawab Soal Amir HT: Tentang Bid’ah

HT, Syi’ah & Sufy:

Kami Tidak Memiliki Hubungan dengan “Hizbut Tahrir Mesir yang Sufi” atau “Hizbut Tahrir Baru yang Syiah”
Tanya Jawab Amir HT: Hukum Taqiyyah & Syi’ah
Sunni-Syiah dalam Naungan Khilafah
HTI: Konsep Khilafah Islam Berbeda dengan Konsep Imamah Syiah
Syi’ah Dalam Kitab Resmi Hizbut Tahrir

HT & Syi’ah – Khomeini:

Tawaran Hizbut Tahrir Kepada Khameini
Syubhat: Hizbut Tahrir Mau Membai’at Khomeini Sebagai Khalifah?
Tidak Benar HT Pernah Tawarkan Khomeini Menjadi Kholifah

HT & Madzhab:

Hizbut Tahrir Apakah Sebuah Madzhab?
Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab
Persoalan Seputar Madzhab
Ahmadiyah: Perbedaan atau Penyimpangan?

HT, Khilafah & Imam Al-Mahdi

Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar” Mengenai Seorang Perawi Hadits Tidak Selalu Melemahkan Haditsnya
Khilafah Bukan Negara Mazhab
Ulama Empat Mazhab Mewajibkan Khilafah
Dalil yang Tegas Tentang Kewajiban Khilafah
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Jawab Soal: Hadits Bisyarah
KH. Drs. Hafidz Abdurrahman, MA : Hizbut Tahrir Sudah Punya Master Plan dan Road Map Untuk Menegakkan Khilafah
Ust H. Musthafa A Murtadho: Menegakkan Khilafah: Kewajiban Ulama
Menegakkan Khilafah bukan hanya Kewajiban Hizbut Tahrir
Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
Imam Mahdi dan Khilafah
Betulkah Imam Mahdi yang akan Mendirikan Khilafah?
Khilafah Islamiyah Akan Menyatukan Umat di atas Asas Islam dan Akan Mengadopsi Politik Industrialisasi Yang Kuat dan Menyeluruh
Upaya Mendirikan Khilafah
Seputar Dakwah untuk Mendirikan Khilafah
Deradikalisasi: Upaya Menghambat Pendirian Khilafah
Khilafah dan Strategi Industrialisasi Dunia Islam
Khilafah Menyatukan Umat Islam

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah?

Siapakah Aswaja’
Siapakah Aswaja’ (2)
Khilafah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Bantahan atas Syubhat Seputar HT, Hadits Ahad, Siksa Kubur

An-Nabhani: Hadits Ahad Tidak Diingkari Meski Tidak Menjadi Dalil Dalam Akidah
Pendirian Ibnu Hajar Mengenai Hadits Ahad yang Diperkuat oleh Qarinah
Jubir Hizbut Tahrir Lebanon: Wajib Mempercayai Masalah Siksa Kubur dan Dajjal
Ibnu Burhan: Hadits Ahad Riwayat Bukhari dan Muslim Tidak Qath’i
Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul
Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad
Pandangan Ormas Muhammadiyah & NU Tentang Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah
Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’
Diskusi Khabar Ahad (Lanjutan I)
Metode Penetapan Aqidah
Al-’Ilmu wa Al-Dzan
Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

HT Memperbolehkan Pornografi?

Tanya Jawab: Menyaksikan Film ‘Panas’ dan Tikaman (Fitnah) Atas Hizbut Tahrir
Tanya Jawab Amir HT: Hukum Menonton Film di Bioskop dan Menonton Film Panas (Porno)?

HT adalah Mu’tazilah? Khawarij?

Apakah HT adalah Khawarij atau Muktazilah?
Bahasan Thariqul Iman (Kitab HT) & Penjelasan Imam Ibnu Qudamah
Pandangan Hizbut Tahrir Tentang Khawarij
Hizbut Tahrir Khawarij?
Bagaimana Mensikapi Kelompok Sempalan?
Sekilas Nasihat Al-’Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil untuk Berhati-Hati Terhadap Vonis Takfir Serampangan

Syabab HT “OMDO”?

”Syabab HT Omdo”?! Inilah Jawaban Al-Qur’an & Al-Sunnah (Jawaban Tuntas Syar’iyyah)
Bicaralah! (Ust. Dr. M. Rahmat Kurnia – DPP HTI)
Edukasi Publik, Sia-sia?
M. Ismail Yusanto: Dukungan Umat Makin Nyata!
Muhammad Saleem (Aktifis Hizbut Tahrir Inggris) : Perubahan Membutuhkan Opini Publik!

Haram Golput?

Parlemen Bukan Satu-satunya Jalan Perubahan (Ada Jalan Lain yang Jelas Syar’i)
Pemilu dan Perubahan
Hukum Islam Atas Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam
Hukum Islam Menjadi Caleg dalam Sistem Demokrasi
Masih Percaya Pada Demokrasi?
Parpol Islam Kian Pragmatis
Perubahan Revolusioner Perspektif Islam
Tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Fatwa MUI Tentang Golput Tahun 2009
Ismail Yusanto: Seharusnya Fatwa Haram Terlibat dalam Sistem Sekuler
Fatwakanlah Wajibnya Menerapkan Syariah Islam!
Jubir HTI, HM Ismail Yusanto: Umat Harus Mendukung Partai Islam Ideologis
Pemilu 2009: Umat Berharap Pada Partai Yang Memperjuangkan Syariah Islam
Komentar Politik : Golput Meningkat, Elit Politik Panik
Partai Islam, Jangan Sekedar Basa-Basi
Ulama dan Khilafah: Islam Agama Sekaligus Negara
Ulama’ Dinilai Karena Sikapnya, Bukan Sebatas Ilmunya
Kedudukan Fatwa dalam Syariat Islam
Ulama Wajib Mengoreksi Penguasa
Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين)
Bolehkah Berdalil Dengan Nabi Yusuf?
Soal Jawab: Partisipasi di dalam Sistem Kufur (Jawaban Amir Hizbut Tahrir Terhadap Penggunaan Hujjah Perbuatan Nabi Yusuf as dan Raja Najasyi)

HT & Ghibah (Menjawab Tuduhan bahwa HT Tukang Ghibah (Konotasi Negatif))

Penjelasan al-’Allamah al-Imam al-Nawawi Tentang Perincian Ghibah (Part. I)
Slide Show Kajian HT Cianjur “Menjaga Lisan & Hukum Ghibah dalam Islam”

HT & Hukum Muqatha’ah

Bolehkah Memutus Hubungan Dengan Sesama Muslim?
Soal Jawab: Hukum Memutus Hubungan (Muqatha’ah) dengan Sesama Muslim

HT Mengabaikan & Menyepelekan Akhlak?

Kritik Syabab atas Para Pencela HT “Menyepelekan Akhlak”

Syabab HT Menikmati Demokrasi?

Inilah Jawaban-Jawaban Kami atas Berbagai Dalih Pembenaran Atas Demokrasi (Kumpulan Makalah Ilmiyyah)
Menjustifikasi Demokrasi dengan Dalih Menikmatinya? (Jawaban Argumentatif)
Menikmati Demokrasi? Apa Kata Imam Sufyan al-Tsauri?
Berterima Kasih Pada Demokrasi?
KH Shiddiq al-Jawi: Islam Menolak Demokrasi
Kerusakan Negeri Oleh Demokrasi
Siapa Diskriminatif?
Dalam Demokrasi, Siapapun Cenderung Jadi Buruk
Dampak Buruk Sistem Demokrasi
Wajah Buruk Demokrasi
Hakikat Buruk Demokrasi
Dengan Demokrasi, Orang Jadi Munafik

Hizbut Tahrir dan Amirnya Tidak Anti Kritik & Koreksi:

Jawab Soal Amir HT: Penolakan Hizbut Tahrir dan Amirnya atas Berbagai Kritik dan Koreksi
Klarifikasi Seputar Penolakan Hizbut Tahrir dan Amirnya atas Kritik dan Koreksi

Hizbut Tahrir Memperbolehkan Mencium Wanita Ajnabiyyah?

Benarkah Hizbut Tahrir Memperbolehkan Mencium Wanita Ajnabiyyah?

Thalabun Nushrah Itu Hukum Syara’ – Metode Dakwah Rasulullah SAW!

Tanya Jawab Amir HT: Thalabun Nushrah
KH Ali Bayanullah Al Hafidz: “Ibadah Haji, Momentum Thalabun Nushrah”
Ustadz Syamsudin Ramadhan : Tholabun Nushroh Metode Syar’i Menegakkan Khilafah
Soal Jawab Thalab an Nushrah
Thalabun-Nushrah: Kunci Perubahan
Thalabun Nushrah Bagian dari Metode Dakwah Rasulullaah SAW

Batas Waktu Kekosongan Tegaknya Al-Khilafah yang Merupakan Kewajiban

Jawab Soal Amir HT: Tenggak Waktu yang Diperbolehkan bagi Kaum Muslimin untuk Menegakkan al-Khilafah
Umat Haram Tanpa Khalifah Lebih Dari Tiga Hari?

Hukum Status Ormas Islam

Jawaban atas Tuduhan Terhadap HTI Terkait Status “Ormas Islam” (I)
Tanya Jawab dengan Amir HT

Kumpulan Bantahan Ilmiyyah atas Berbagai Dalih Pembenaran terhadap Demokrasi

Inilah Jawaban-Jawaban Kami atas Berbagai Dalih Pembenaran Terhadap Demokrasi (Kumpulan Makalah Ilmiyyah)

Kumpulan Nasihat-Nasihat Terkait

Nasehat Berharga Syaikh Thalib Awadallah Kepada Syabab Hizbut Tahrir Dalam Berdebat
Adab-Adab Berdebat dalam Islam (Kajian Kitab Nafsiyyah Islamiyyah)
Nasihat atas Perdebatan yang Tidak Syar’i (Saling Mengolok-Olok, -)
Kecaman Syari’at Terhadap Sifat Takabur & Sikap Melecehkan Lawan Diskusi
Hati-Hati Berfatwa Tanpa Ilmu
Nasihat Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Atas Pentingnya Iman Terhadap Akhirat (Kajian Tafsir Syaikh ‘Atha)
Adab Bergaul Dengan Sesama Muslim

Kumpulan Download Bantahan Ilmiyyah (File Ppt, Pdf & Word):

Menjawab Syubhat terhadap Ide-ide Hizbut Tahrir ==>direct download, resumeable
Menjawab Syubhat terhadap Ide-ide Hizbut Tahrir ==>alternatif
Bantahan HT atas Tulisan Idrus Ramli

Kumpulan Download E-Book Kitab HT (Arab – Indo)

Download Sebagian E-Book Kitab Hizbut Tahrir (Gratis)
Unduh Kitab-Kitab HTI – 1
Unduh Kitab-Kitab HTI – 2

Kumpulan Buku pemikiran IMAM TAQIYUDDIN ANNABHANI

[00] tarif hizbut tahrir.zip
[01] pembentukan partai politik islam.zip
[02] Negara Islam.zip
[03] Titik Tolak Perjalanan Dakwah HT.zip
[04] terjun ke masyarakat.zip
[05] sistem pemerintahan islam.zip
[06] dustur.zip
[07] ahkamush sholat.zip
[08] kaidah kausalitas.zip
[09] dinamika aqidah islam.zip
[10] HADITS AHAD.zip
[11] membangun ekonomi alternatif pasca kapitalisme.zip
[12] Materi-Seputar Gerakan Islam.zip
[13] bunga rampai.zip
[14] tinjauan kritis terhadap asas ideologi sosialisme dan kapitalisme.zip
[16] keniscayaan benturan peradaban.zip
[17] kritik islam terhadap uud 1945.zip
[18] menggugat thagut demokrasi.zip
[19] menghancurkan demokrasi.zip
[20] demokrasi kufur.zip
[21] Bunga Bank Haram.zip
[22] diskursus negara islam.zip
[23] metode perubahan untuk melanjutkan kehidupan islam.zip
[24] sebab-sebab kegoncangan pasar modal.zip
[25] SHARIAH ISLAM INDONESIA.zip
[26] Soal Jawab Seputar Khamer.zip
[27] KHUTBAH AIDUL FITRI 1424 H.zip
[28] marhaban ramadhan.zip
[29] Menjinakkan Kesombongan.zip
[30] serangan amerika untuk menghancurkan islam.zip
[31] 36 SOAL JAWAB.zip
[32] 37-SOAL JAWAB.zip
[33] AMWAL.zip
[34] bayyinat.zip
[35] bendera rasul.zip
[36] cantik.zip
[37] DAKWAH WAJIB.zip
[38] DAKWAH JILID 2.zip
[39] fikrul islam.zip
[40] DARKNESS.zip
[41] dirasat.zip
[42] establish.zip
[43] ips-islam politik spiritual.zip
[45] jihad dan politik.zip
[46] kloning.zip
[47] khilafah-solisi.zip
[48a] kepribadian islam 1.zip
[48b] kepribadian islam ii.zip
[48c] kepribadian islam iii.zip
[49] Manhaj Hizb.zip
[50] selamatkan indonesia dengan syariah.zip
[51] materi dakwah.zip
[52] luruskah akidah anda.zip
[53] mafahim islamiyah.zip