Al-Wahhabiyyah, sebutan yang dialamatkan kepada pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab (w. 1206 H). Kelompok yang mengaku bermanhaj As-Salaf[1] Ash-Shalih Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, menyeru kepada pemurnian Tauhid dan memberantas apa yang mereka sebut syirik dan bid’ah[2].
Sekilas Tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dan Kemunculan Wahabiyyah
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang mujtahid dari madzhab Hambali[3] yang dilahirkan dan dibesarkan di ‘Uyainah – Najed (saat itu wilayah Hijaz berada di bawah kendali Syarif Mekah dalam naungan Khilafah Turki ‘Utsmani). Dia berasal dari keluarga terpandang, kakeknya Sulaiman bin Ali (w. 1079 H) adalah seorang mufti di Najd, ayahnya Abdul Wahhab bin Sulaiman (w. 1153 H) adalah mufti sekaligus qadhi di Najd, dan saudaranya Sulaiman bin Abdil Wahhab (w. 1210 H) adalah ‘ulama besar di masanya. Dari sisi
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab banyak terpengaruh oleh karya-karya Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), bahkan ia menjadi lebih “ekstrem” daripada Ibnu Taimiyyah sendiri, namun dia belum menampakkan pemikirannya secara terang-terangan hingga ayahnya meninggal. Karena ringannya lisan dia dalam perkara takfir (menganggap kafir) dan tabdi’ (menganggap bid’ah), dan karena banyak menyelisihi para ulama (diantaranya saudaranya) akhirnya dia diusir dari tempat kelahirannya (‘uyainah) [4], hingga akhirnya bertemu dan berlindung pada Muhammad bin Sa’ud, amir wilayah Dir’iyyah. Setelah terjadi perjanjian-perjanjian dengan Muhammad bin Sa’ud, pada tahun 1747 pemikiran-pemikiran dia akhirnya diadobsi sebagai pendapat resmi dan dilindungi. Mulailah sejak saat itu paham-paham Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi gerakan madzhab dalam bentuk dakwah dan kekuasaan (dengan kekuatan senjata)[5]. Satu sisi penguasa berkepentingan dengan Madzhab Wahabi untuk mengokohkan kekuasaan dengan ajaran-ajarannya dan para pengikutnya, di sisi lain Wahhabiyyah berkepentingan dengan penguasa untuk melindungi dan menyebarkan dakwahnya. Adapun Inggris, dari perjanjian-perjanjian rahasianya dengan keluarga Sa’ud, terus mengokohkan gerakan tersebut secara tidak langsung demi kepentingan memukul Khilafah dari dalam, melalui anteknya Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud yang memanfaatkan gerakan Wahhabiyyah, dengan dukungan dana dan senjata[6]. Tercatat dalam sejarah berbagai perang dikobarkan di bawah syi’ar pemurnian tauhid serta memberantas syirik dan bid’ah, berupa pemisahan diri dari Khilafah dan perluasan kekuasaan. Pada tahun 1212 H di Syam, 1216 H di Karbala, 1217 H di Tha’if dan Mekah Mukarramah, 1220 H di Madinah Munawwarah, 1222 H di Bashrah, dan 1225 H di Oman[7].
Wahhabiyyah di Mata Keluarga dan ‘Ulama Semasanya
1. Syaikh Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Ad-Durr Al-Mukhtâr Syarh Tanwîr Al-Abshâr:
“Pembahasan: Para Pengikut Ibnu Abdul Wahhab adalah Khawarij di Zaman Kita. Ungkapannya: ‘mereka (kaum Khawarij) mengkafirkan sahabat Nabi saw.’ Aku mengerti bahwa ini bukan syarat untuk sebutan Khawarij. Akan tetapi dia (sebutan Khawarij) adalah penjelas untuk siapa-siapa yang keluar dari ketaatan terhadap Ali bin Abi Thalib ra, jika memang tidak demikian maka cukup dengan pengkafiran siapa yang mereka tentang. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada pengikut Ibnu Abdil Wahhab di zaman kita, yang mereka keluar dari Najd dan menguasai (secara paksa) Al-Haramain, mereka membentuk kelompok bermadzhab Hambali, mereka menyakini bahwa mereka muslim, dan bahwa siapa saja yang menyelisihi mereka adalah kaum musyrik, dengan alasan tersebut mereka menghalalkan membunuh pengikut Ahlus-Sunnah dan para ‘Ulama’nya.”
2. Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki (w. 1241 H) dalam kitab Hâsyiah ‘alâ Tafsîr al-Jalâlayn:
“Menurut suatu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka.”
3. Syaikh Muhammad bin Abdullah An-Najdi Al-Hambali (w. 1295 H) dalam kitab As-Suhub Al-Wâbilah ‘alâ Dharâih Al-Hanâbilah:
“(Tentang) Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali … dia adalah ayah dari Muhammad, juru dakwah yang keburukannya tersebar kemana-mana. … akan tetapi diantara mereka berdua (Abdul Wahhab dan anaknya Muhammad) terdapat perbedaan, namun Muhammad belum mendeklarasikan seruannya kecuali setelah ayahnya wafat. Ulama yang pernah aku temui memberitahuku dari siapa-siapa yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau pernah murka terhadap anaknya Muhammad dikarenakan dia tidak mau disibukkan dengan perkara fiqh sebagaimana para pendahulunya, dan ulama di tempatnya. Beliau berfirasat tentang terjadinya sesuatu dari diri anaknya itu, maka beliau berkata kepada kaum muslimin: waspadailah apa yang kalian dapati dari Muhammad (dari keburukan). Kemudian Allah mentakdirkan terjadinya apa yang telah terjadi, demikian pula putranya Sulaiman saudara dari Syaikh Muhammad, menolak dakwah Muhammad, dan membantahnya dengan bantahan yang baik dengan Al-Quran dan As-Sunnah, karena yang dia bantah tidak mau menerima kecuali dari dua sumber itu, tidak pula memperhitungkan perkataan ‘ulama manapun (baik yang terdahulu maupun yang terkini) kecuali Syaikh Taqyuddin Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qoyyim, menurutnya perkataan mereka berdua bagaikan nash tidak perlu ditakwil.”
4. Syaikh al-Amir ash-Shan’ani (w. 1182 H), dalam kitab Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb (dalam bentuk sya’ir):
“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
Dan tercatat ratusan karya para ulama sejak kemunculan Wahhabiyyah hingga kini yang terlahir dalam rangka membantah paham-paham Wahhabiyyah dan meluruskan sejarah kemunculannya dari pengkaburan yang dilakukan oleh penguasa dan para pengikutnya. Selain yang telah disebut di atas, ada As-Salafiyyah-marhalah zamaniyyah mubârokah lâ madzhab islâmiy oleh Sa’id Al-Buthi, As-Salafiyyah wa Tasytît Al-Ummah oleh Sa’id Faudah, As-Salaf wa As-Salafiyyûn oleh Ibrahim ‘As’as, As-Salafiyyah bayna At-Ta’shîl wa Al-Ibtidâ’ oleh Musthofa Farhat, Al-Wahhâbiyyah fî Shûratihâ Al-Haqîqiyyah oleh Shaib Abdul Hamid, Al-Wahhâbiyyah oleh Hasan As-Saqqaf, Jalâ’ Azh-Zhalâm fî Ar-Radd ‘alâ Al-Wahhâbiyyah allatî Dhallalat Al-‘Awwâm oleh Jamil Halim, Fitnah Al-Wahhâbiyyah oleh Zaini Dahlan, Muhâdharah ‘an As-Salafiyyah oleh Sa’id Mamduh, Nashîhah li-ikhwâninâ ‘ulamâ Najd oleh Ar-Rafi’i, Hâ-ulâ-i hum Khawârij oleh Abdullah Al-Qahthan, Kasyf Al-Irtiyâb fî Atbâ’i Muhammad bin Abdil Wahhâb oleh Al-‘Amili, dan masih banyak lagi.
Diantara Prinsip Dakwah Wahhabiyyah
1. Dakwah kepada pemurnian Tauhid
2. Dakwah melawan bid’ah dan khurafat
3. Membolehkan kekerasan dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar
Fenomena Fatwa Ulama Wahhabiyyah
Berikut beberapa landasan Ulama Wahhabiyyah dalam berfatwa, disertai contoh:
a) Prasangka buruk (sû’ azh-zhann). Misalnya, fatwa haramnya wanita menyetir mobil berdasarkan alasan bahwa sopir adalah pusat perhatian orang di jalanan dan wanita tidak boleh menjadi pusat perhatian; demikian juga dengan fatwa haramnya wanita menggunakan internet tanpa disertai mahram.
b) Pesanan penguasa. Misalnya, fatwa melarang Demonstrasi untuk Palestina; fatwa haramnya membahas politik di mimbar jum’at; fatwa haramnya mendoakan keburukan untuk Yahudi; fatwa wajibnya warga Palestina (Tepi Barat) untuk berhijrah (menyerahkan tanahnya kepada Yahudi).
c) Bertentangan dengan yang mereka pahami dari pemikiran Ibn Taimiyyah. Misalnya, fatwa menolak Hadits Ahad dalam hal Akidah adalah Bid’ah; juga fatwa haramnya mengunjungi makam Nabi saw.
d) Memahami ayat-ayat mutasyâbihât secara zhahir. Misalnya, menyesatkan Al-Bukhari, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani karena mereka memaknai ayat-ayat mutasyâbihât dengan penakwilan.
e) Kurang memahami fakta. Misalnya, menganggap bid’ah melafazhkan niat dalam shalat. karena fakta shalat mulai dari takbir hingga salam, sehingga niat dengan batin, dilafalkan, atau dengan membaca tulisan tidak masalah.
f) Kurang menguasai ilmu hadits. Misalnya, berhujjah dengan Hadits dho’îf dan maudhû’ dalam hal Akidah; salah dalam menyebutkan perowi hadits[8]; dan salah dan tidak konsisten dalam men-takhrij hadits[9].
g) Membolehkan dusta. Misalnya, menambah redaksi Sabda Nabi saw oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam kitabnya At-Tawhîd Alladzî Huwa Haqq Allâh ‘alâ Al-‘Ibâd[10]; juga merubah dan mengurangi redaksi ungkapan ‘ulama yang tidak sesuai dengan pendapatnya dalam kitabnya yang mereka terbitkan[11]. []
__________________________
[1] Generasi salaf adalah ‘ulama yang hidup pada rentang waktu lebih-kurang 300 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw (yaitu masa sahabat, tâbi’în, dan tâbi’ut-tabi’în). Selebihnya (sampai hari ini) disebut ‘ulama khalaf. Berdasarkan Hadits:
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (صحيح البخاري – ج 20 / ص 54)
Lihat Mu’jam Lughah Al-Fuqohâ, kata kunci: (السلف). Oleh karenanya pengikut Wahhabiyyah menamakan diri mereka sebagai Salafiyyun (pengikut generasi salaf) atau Muwahhidûn (yang mentauhidkan Allah swt).
[2] Berkata Syaikh Rawwas Qal’ahji:
البدعة : ما لم يرد عن الله سبحانه ولا عن رسوله صلى الله عليه وسلم ، ولا عن أحد من فقهاء الصحابة وهي على نوعين : بدعة هدى وهي ما وافقت مقاصد الشريعة ، وبدعة ضلالة وهي ما تناقضت مع مقاصد الشريعة . (معجم لغة الفقهاء – ج 1 / ص 123)
[3] Lihat Abdul Qodim Zallum, Kayfa Huddimat Al-Khilâfah, hlm 14. Hal tersebut menurut pengakuannya sendiri dan para pengikutnya saat itu. Akan tetapi, saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahhab mengingkari dan membantahnya dalam kitab beliau yang berjudul Ash-Shawâ’iq Al-Ilâhiyyah Fî Ar-Roddi ‘Alâ Al-Wahhâbiyyah.
[4] Lihat Ad-durar As-Sunniyyah fir-Raddi ‘alal-Wahhâbiyyah, karya Ahmad bin Zaini Dahlan, hlm 46. Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab membantah saudaranya dalam kitabnya Fashl Al-Khithâb fî Ar-Radd ‘alâ Muhammad bin Abdil Wahhâb.
[5] Lihat Abdul Qodim Zallum, Kayfa Huddimat Al-Khilâfah, hlm 14. Lihat juga Az-Zarkali, Al-A’lâm, vol 6, hlm 257.
[6] Ibid, hlm 13.
[7] Ibid, hlm 18. Lihat juga ‘Unwân Al-Majd fî Târîkh Najd karya sejarahwan muslim Ibn Basyar, Jahîm Al-Hukm As-Su’ûdi wa Nîrân Al-Wahhâbiyyah karya Syaikh Khalifah Fahd, Al-Hurûb Al-Wahhâbiyyah ‘alâ Al-Hijâz karya Syaikh Khalid Syubaksyi, dan Al-Wahhâbiyyah fî Shûratihâ Al-Haqîqiyyah karya Syaikh Shaib Abdul Hamid.
[8] Hasan bin Ali As-Saqqaf, Min Fadhâ’ih Kitâb At-Tawhid li-Muhammad bin Abdil Wahhâb, hlm 6. Setelah menjelaskan beberapa contoh kerancuan nash-nash yang digunakan Muhammad bin Abdil Wahhab dalam kitab Tauhid-nya, Syaikh Hasan As-Saqqaf berkata: “Demi Allah wahai pengikut wahabi, apakah kalian membangun akidah kalian berdasarkan hadits-hadits (yang diriwayatkan) oleh para pendusta, pemalsu hadits, perowi lemah, perowi matruk (yang ditinggalkan haditsnya), perowi majhul (yang tidak dikenal), bahkan riwayat-riwayat yang tidak bersumber dari kitab-kitab hadits, dan kalian meninggalkan firman Allah yang muhkam, dan sabda Rasulullah yang tsabit nan masyhur?!!”
[9] Terjadi pada karya-karya Al-Albani (rujukan Wahhabiyyah dalam bidang ilmu hadits), sebagaimana dipaparkan Hasan As-Saqqaf dengan Tanâqudhât Al-Albânî Al-Wâdhihât, kritikan juga datang dari Syaikh Abdullah Al-Ghimari dengan Ar-Radd ‘alâ Al-Albânî al-Mubtadi’ dan Ar-Rasail Al-Ghmâriyyah.
[10] Ibid, hlm 2. Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab menambah redaksi hadits shahih riwayat Muslim dengan lafazh (فصدقه) yang tidak ditemukan pada kitab aslinya (Shahih Muslim). Dan sejumlah penambahan redaksi lainnya, silahkan lihat dalam kitab karangan Syaikh As-Saqqaf di atas.
[11] Sebagai contoh redaksi perkataan An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar, berbunyi “fashl; fî ziyârati qabr Rasûlillâh saw” dirubah dalam terbitan Saudi dengan lafadz “fashl; fi ziyâroti masjid Rasûlillâh saw”. Serta menghilangkan halaman 297 dari kitab tersebut. Keterangan pentahqiq Abdul Qodir Al-Arna’uth, Damaskus 1 Rabi’ul Awwal 1413 H.
by Azizi Fathoni
(source FB page)
*
Sekilas Tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dan Kemunculan Wahabiyyah
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang mujtahid dari madzhab Hambali[3] yang dilahirkan dan dibesarkan di ‘Uyainah – Najed (saat itu wilayah Hijaz berada di bawah kendali Syarif Mekah dalam naungan Khilafah Turki ‘Utsmani). Dia berasal dari keluarga terpandang, kakeknya Sulaiman bin Ali (w. 1079 H) adalah seorang mufti di Najd, ayahnya Abdul Wahhab bin Sulaiman (w. 1153 H) adalah mufti sekaligus qadhi di Najd, dan saudaranya Sulaiman bin Abdil Wahhab (w. 1210 H) adalah ‘ulama besar di masanya. Dari sisi
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab banyak terpengaruh oleh karya-karya Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), bahkan ia menjadi lebih “ekstrem” daripada Ibnu Taimiyyah sendiri, namun dia belum menampakkan pemikirannya secara terang-terangan hingga ayahnya meninggal. Karena ringannya lisan dia dalam perkara takfir (menganggap kafir) dan tabdi’ (menganggap bid’ah), dan karena banyak menyelisihi para ulama (diantaranya saudaranya) akhirnya dia diusir dari tempat kelahirannya (‘uyainah) [4], hingga akhirnya bertemu dan berlindung pada Muhammad bin Sa’ud, amir wilayah Dir’iyyah. Setelah terjadi perjanjian-perjanjian dengan Muhammad bin Sa’ud, pada tahun 1747 pemikiran-pemikiran dia akhirnya diadobsi sebagai pendapat resmi dan dilindungi. Mulailah sejak saat itu paham-paham Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi gerakan madzhab dalam bentuk dakwah dan kekuasaan (dengan kekuatan senjata)[5]. Satu sisi penguasa berkepentingan dengan Madzhab Wahabi untuk mengokohkan kekuasaan dengan ajaran-ajarannya dan para pengikutnya, di sisi lain Wahhabiyyah berkepentingan dengan penguasa untuk melindungi dan menyebarkan dakwahnya. Adapun Inggris, dari perjanjian-perjanjian rahasianya dengan keluarga Sa’ud, terus mengokohkan gerakan tersebut secara tidak langsung demi kepentingan memukul Khilafah dari dalam, melalui anteknya Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud yang memanfaatkan gerakan Wahhabiyyah, dengan dukungan dana dan senjata[6]. Tercatat dalam sejarah berbagai perang dikobarkan di bawah syi’ar pemurnian tauhid serta memberantas syirik dan bid’ah, berupa pemisahan diri dari Khilafah dan perluasan kekuasaan. Pada tahun 1212 H di Syam, 1216 H di Karbala, 1217 H di Tha’if dan Mekah Mukarramah, 1220 H di Madinah Munawwarah, 1222 H di Bashrah, dan 1225 H di Oman[7].
Wahhabiyyah di Mata Keluarga dan ‘Ulama Semasanya
1. Syaikh Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Ad-Durr Al-Mukhtâr Syarh Tanwîr Al-Abshâr:
“Pembahasan: Para Pengikut Ibnu Abdul Wahhab adalah Khawarij di Zaman Kita. Ungkapannya: ‘mereka (kaum Khawarij) mengkafirkan sahabat Nabi saw.’ Aku mengerti bahwa ini bukan syarat untuk sebutan Khawarij. Akan tetapi dia (sebutan Khawarij) adalah penjelas untuk siapa-siapa yang keluar dari ketaatan terhadap Ali bin Abi Thalib ra, jika memang tidak demikian maka cukup dengan pengkafiran siapa yang mereka tentang. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada pengikut Ibnu Abdil Wahhab di zaman kita, yang mereka keluar dari Najd dan menguasai (secara paksa) Al-Haramain, mereka membentuk kelompok bermadzhab Hambali, mereka menyakini bahwa mereka muslim, dan bahwa siapa saja yang menyelisihi mereka adalah kaum musyrik, dengan alasan tersebut mereka menghalalkan membunuh pengikut Ahlus-Sunnah dan para ‘Ulama’nya.”
2. Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki (w. 1241 H) dalam kitab Hâsyiah ‘alâ Tafsîr al-Jalâlayn:
“Menurut suatu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka.”
3. Syaikh Muhammad bin Abdullah An-Najdi Al-Hambali (w. 1295 H) dalam kitab As-Suhub Al-Wâbilah ‘alâ Dharâih Al-Hanâbilah:
“(Tentang) Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali … dia adalah ayah dari Muhammad, juru dakwah yang keburukannya tersebar kemana-mana. … akan tetapi diantara mereka berdua (Abdul Wahhab dan anaknya Muhammad) terdapat perbedaan, namun Muhammad belum mendeklarasikan seruannya kecuali setelah ayahnya wafat. Ulama yang pernah aku temui memberitahuku dari siapa-siapa yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau pernah murka terhadap anaknya Muhammad dikarenakan dia tidak mau disibukkan dengan perkara fiqh sebagaimana para pendahulunya, dan ulama di tempatnya. Beliau berfirasat tentang terjadinya sesuatu dari diri anaknya itu, maka beliau berkata kepada kaum muslimin: waspadailah apa yang kalian dapati dari Muhammad (dari keburukan). Kemudian Allah mentakdirkan terjadinya apa yang telah terjadi, demikian pula putranya Sulaiman saudara dari Syaikh Muhammad, menolak dakwah Muhammad, dan membantahnya dengan bantahan yang baik dengan Al-Quran dan As-Sunnah, karena yang dia bantah tidak mau menerima kecuali dari dua sumber itu, tidak pula memperhitungkan perkataan ‘ulama manapun (baik yang terdahulu maupun yang terkini) kecuali Syaikh Taqyuddin Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qoyyim, menurutnya perkataan mereka berdua bagaikan nash tidak perlu ditakwil.”
4. Syaikh al-Amir ash-Shan’ani (w. 1182 H), dalam kitab Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb (dalam bentuk sya’ir):
“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
Dan tercatat ratusan karya para ulama sejak kemunculan Wahhabiyyah hingga kini yang terlahir dalam rangka membantah paham-paham Wahhabiyyah dan meluruskan sejarah kemunculannya dari pengkaburan yang dilakukan oleh penguasa dan para pengikutnya. Selain yang telah disebut di atas, ada As-Salafiyyah-marhalah zamaniyyah mubârokah lâ madzhab islâmiy oleh Sa’id Al-Buthi, As-Salafiyyah wa Tasytît Al-Ummah oleh Sa’id Faudah, As-Salaf wa As-Salafiyyûn oleh Ibrahim ‘As’as, As-Salafiyyah bayna At-Ta’shîl wa Al-Ibtidâ’ oleh Musthofa Farhat, Al-Wahhâbiyyah fî Shûratihâ Al-Haqîqiyyah oleh Shaib Abdul Hamid, Al-Wahhâbiyyah oleh Hasan As-Saqqaf, Jalâ’ Azh-Zhalâm fî Ar-Radd ‘alâ Al-Wahhâbiyyah allatî Dhallalat Al-‘Awwâm oleh Jamil Halim, Fitnah Al-Wahhâbiyyah oleh Zaini Dahlan, Muhâdharah ‘an As-Salafiyyah oleh Sa’id Mamduh, Nashîhah li-ikhwâninâ ‘ulamâ Najd oleh Ar-Rafi’i, Hâ-ulâ-i hum Khawârij oleh Abdullah Al-Qahthan, Kasyf Al-Irtiyâb fî Atbâ’i Muhammad bin Abdil Wahhâb oleh Al-‘Amili, dan masih banyak lagi.
Diantara Prinsip Dakwah Wahhabiyyah
1. Dakwah kepada pemurnian Tauhid
2. Dakwah melawan bid’ah dan khurafat
3. Membolehkan kekerasan dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar
Fenomena Fatwa Ulama Wahhabiyyah
Berikut beberapa landasan Ulama Wahhabiyyah dalam berfatwa, disertai contoh:
a) Prasangka buruk (sû’ azh-zhann). Misalnya, fatwa haramnya wanita menyetir mobil berdasarkan alasan bahwa sopir adalah pusat perhatian orang di jalanan dan wanita tidak boleh menjadi pusat perhatian; demikian juga dengan fatwa haramnya wanita menggunakan internet tanpa disertai mahram.
b) Pesanan penguasa. Misalnya, fatwa melarang Demonstrasi untuk Palestina; fatwa haramnya membahas politik di mimbar jum’at; fatwa haramnya mendoakan keburukan untuk Yahudi; fatwa wajibnya warga Palestina (Tepi Barat) untuk berhijrah (menyerahkan tanahnya kepada Yahudi).
c) Bertentangan dengan yang mereka pahami dari pemikiran Ibn Taimiyyah. Misalnya, fatwa menolak Hadits Ahad dalam hal Akidah adalah Bid’ah; juga fatwa haramnya mengunjungi makam Nabi saw.
d) Memahami ayat-ayat mutasyâbihât secara zhahir. Misalnya, menyesatkan Al-Bukhari, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani karena mereka memaknai ayat-ayat mutasyâbihât dengan penakwilan.
e) Kurang memahami fakta. Misalnya, menganggap bid’ah melafazhkan niat dalam shalat. karena fakta shalat mulai dari takbir hingga salam, sehingga niat dengan batin, dilafalkan, atau dengan membaca tulisan tidak masalah.
f) Kurang menguasai ilmu hadits. Misalnya, berhujjah dengan Hadits dho’îf dan maudhû’ dalam hal Akidah; salah dalam menyebutkan perowi hadits[8]; dan salah dan tidak konsisten dalam men-takhrij hadits[9].
g) Membolehkan dusta. Misalnya, menambah redaksi Sabda Nabi saw oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam kitabnya At-Tawhîd Alladzî Huwa Haqq Allâh ‘alâ Al-‘Ibâd[10]; juga merubah dan mengurangi redaksi ungkapan ‘ulama yang tidak sesuai dengan pendapatnya dalam kitabnya yang mereka terbitkan[11]. []
__________________________
[1] Generasi salaf adalah ‘ulama yang hidup pada rentang waktu lebih-kurang 300 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw (yaitu masa sahabat, tâbi’în, dan tâbi’ut-tabi’în). Selebihnya (sampai hari ini) disebut ‘ulama khalaf. Berdasarkan Hadits:
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (صحيح البخاري – ج 20 / ص 54)
Lihat Mu’jam Lughah Al-Fuqohâ, kata kunci: (السلف). Oleh karenanya pengikut Wahhabiyyah menamakan diri mereka sebagai Salafiyyun (pengikut generasi salaf) atau Muwahhidûn (yang mentauhidkan Allah swt).
[2] Berkata Syaikh Rawwas Qal’ahji:
البدعة : ما لم يرد عن الله سبحانه ولا عن رسوله صلى الله عليه وسلم ، ولا عن أحد من فقهاء الصحابة وهي على نوعين : بدعة هدى وهي ما وافقت مقاصد الشريعة ، وبدعة ضلالة وهي ما تناقضت مع مقاصد الشريعة . (معجم لغة الفقهاء – ج 1 / ص 123)
[3] Lihat Abdul Qodim Zallum, Kayfa Huddimat Al-Khilâfah, hlm 14. Hal tersebut menurut pengakuannya sendiri dan para pengikutnya saat itu. Akan tetapi, saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahhab mengingkari dan membantahnya dalam kitab beliau yang berjudul Ash-Shawâ’iq Al-Ilâhiyyah Fî Ar-Roddi ‘Alâ Al-Wahhâbiyyah.
[4] Lihat Ad-durar As-Sunniyyah fir-Raddi ‘alal-Wahhâbiyyah, karya Ahmad bin Zaini Dahlan, hlm 46. Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab membantah saudaranya dalam kitabnya Fashl Al-Khithâb fî Ar-Radd ‘alâ Muhammad bin Abdil Wahhâb.
[5] Lihat Abdul Qodim Zallum, Kayfa Huddimat Al-Khilâfah, hlm 14. Lihat juga Az-Zarkali, Al-A’lâm, vol 6, hlm 257.
[6] Ibid, hlm 13.
[7] Ibid, hlm 18. Lihat juga ‘Unwân Al-Majd fî Târîkh Najd karya sejarahwan muslim Ibn Basyar, Jahîm Al-Hukm As-Su’ûdi wa Nîrân Al-Wahhâbiyyah karya Syaikh Khalifah Fahd, Al-Hurûb Al-Wahhâbiyyah ‘alâ Al-Hijâz karya Syaikh Khalid Syubaksyi, dan Al-Wahhâbiyyah fî Shûratihâ Al-Haqîqiyyah karya Syaikh Shaib Abdul Hamid.
[8] Hasan bin Ali As-Saqqaf, Min Fadhâ’ih Kitâb At-Tawhid li-Muhammad bin Abdil Wahhâb, hlm 6. Setelah menjelaskan beberapa contoh kerancuan nash-nash yang digunakan Muhammad bin Abdil Wahhab dalam kitab Tauhid-nya, Syaikh Hasan As-Saqqaf berkata: “Demi Allah wahai pengikut wahabi, apakah kalian membangun akidah kalian berdasarkan hadits-hadits (yang diriwayatkan) oleh para pendusta, pemalsu hadits, perowi lemah, perowi matruk (yang ditinggalkan haditsnya), perowi majhul (yang tidak dikenal), bahkan riwayat-riwayat yang tidak bersumber dari kitab-kitab hadits, dan kalian meninggalkan firman Allah yang muhkam, dan sabda Rasulullah yang tsabit nan masyhur?!!”
[9] Terjadi pada karya-karya Al-Albani (rujukan Wahhabiyyah dalam bidang ilmu hadits), sebagaimana dipaparkan Hasan As-Saqqaf dengan Tanâqudhât Al-Albânî Al-Wâdhihât, kritikan juga datang dari Syaikh Abdullah Al-Ghimari dengan Ar-Radd ‘alâ Al-Albânî al-Mubtadi’ dan Ar-Rasail Al-Ghmâriyyah.
[10] Ibid, hlm 2. Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab menambah redaksi hadits shahih riwayat Muslim dengan lafazh (فصدقه) yang tidak ditemukan pada kitab aslinya (Shahih Muslim). Dan sejumlah penambahan redaksi lainnya, silahkan lihat dalam kitab karangan Syaikh As-Saqqaf di atas.
[11] Sebagai contoh redaksi perkataan An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar, berbunyi “fashl; fî ziyârati qabr Rasûlillâh saw” dirubah dalam terbitan Saudi dengan lafadz “fashl; fi ziyâroti masjid Rasûlillâh saw”. Serta menghilangkan halaman 297 dari kitab tersebut. Keterangan pentahqiq Abdul Qodir Al-Arna’uth, Damaskus 1 Rabi’ul Awwal 1413 H.
by Azizi Fathoni
(source FB page)
0 comments: