Oleh : Farid Wadjdi
Pergolakan di Timur Tengah menunjukkan kegagalan jalan demokrasi untuk melakukan perubahan yang substansial.
Klaim sebagian pihak yang menyatakan pergolakan di Timur Tengah merupakan kemenangan
demokrasi, sangat patut dipertanyakan. Yang terjadi sebenarnya adalah hal yang natural/alami.
Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun
akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa
diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu demokrasi atau tidak!
Sebaliknya, perubahan yang terjadi di Timur Tengah saat ini justru dilakukan bukan dengan jalan demokrasi, tapi gerakan rakyat di luar parlemen (ekstra parlemen). Selama ini ada semacam racun pemikiran yang terus ditebarkan di tengah umat Islam, kalau ingin mengubah harus masuk parlemen, harus bergabung dalam ritual demokrasi. Gejolak Timur Tengah secara nyata membantah pandangan ini.
Di samping tidak efektif untuk membuat perubahan yang substansial, ritual demokrasi ini mengandung banyak persoalan. Yang mendasar adalah bahaya ideologis. Demokrasi dengan pilar utamanya kedaulatan rakyat (as siyadah lil sya’bi), telah menjadikan sumber hukum adalah akal dan hawa nafsu manusia atas nama rakyat.
Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip utama akidah Islam berupa kedaulatan di tangan Allah SWT (as-siyadah li al-syar'i). Karenanya, yang menentukan yang hak dan yang batil adalah syariat Islam yang sumber hukum utama Alquran dan Sunah. Islam dengan tegas menyatakan hak membuat hukum ada di tangan Allah SWT: inil hukmu illa lillah (QS Yusuf : 40). Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan alhukmu itu berupa peradilan, syariat, hukum (al qadhau), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).
Tidak berhukum pada hukum Allah SWT dengan tegas dinyatakan sebagai bentuk kekufuran. Firman Allah SWT: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (TQS Al Maidah:44).
Tidak mengherankan kalau partai-partai yang mengklaim Islam, saat bergabung dengan ritual sekuler ini mengalami distorsi ideologis. Bahkan cenderung menjadi pragmatis karena hanya berpikir bagaimana meraih suara terbanyak dengan berbagai cara. Alih-alih mengubah, kehadiran mereka justru menjadi legitimasi sistem kufur yang memperpanjang usia sistem yang rusak ini.
Demokrasi juga menjadi alat untuk memperkuat intervensi asing lewat tokoh dan parpol yang didukung Barat, menimbulkan suasana konflik masyarakat, internal parpol, dan antar parpol. Pemerintah dan elite politik yang terpilih juga tidak pernah fokus mengurus rakyat karena sibuk mengurus perpanjangan kekuasaan.
Biaya politik yang besar juga telah menyedot uang rakyat, yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan mereka. Biaya demokrasi yang mahal itu menjadi pintu bagi politik transaksional yang menumbuh suburkan moneypolitic, praktik kolusi, dan korupsi.
Sayangnya perubahan ekstra parlemen ini baru sebatas keinginan pergantian rezim. Tanpa visi, perubahan bisa dibajak oleh berbagai kepentingan. Seperti kepentingan rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis.
Langkah ini pun rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan terjebak menjadi alat revitalisasi dominasi negara besar dengan.mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka. Amerika yang selama 30 tahun mendukung rezim Mubarak yang diktator, berubah arah seakan-akan menjadi pembela rakyat Mesir untuk tetap mempertahankan kepentingannya.
Namun,gerakan people power apalagi tanpa dukungan ahlul quwwah (kelompok militer)—bisa berujung pada pertumpahan darah, kekacauan, perusakan hak milik umum, konflik horizontal hingga pembantaian sesama umat Islam. Kecenderungan ini terjadi di Libya. Dan jika rakyat tidak berhasil menumbangkan rezim, penguasa akan tambah bengis dan paranoid.
Karena itu, seharusnya kita belajar dari perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar keimanan Rasulullah memiliki visi yang jelas, yaitu bagaimana agar Islam bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu Rasulullah SAW melakukan dua hal penting berupa penyadaran masyarakat tentang Islam dan mencari dukungan (an nushroh) dari ahlul quwwah berupa pemimpin-pemimpin kabilah. Rasulullah SAW mengajak mereka masuk Islam dan meminta mereka memberikan dukungan kepada kekuasaan Islam.
Lewat upaya yang sungguhnya-sungguh akhirnya, masyarakat Madinah sadar, siap, dan rela diatur oleh Islam. Sementara ahlul quwwah (para pemimpin kabilah dari Aus dan Khazraj) dengan ikhlas dan tanpa syarat menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah SAW dengan mengangkatnya menjadi kepala negara. Inilah yang menjadi kunci kenapa perubahan yang dilakukan Rasulullah SAW meskipun bersifat inqilabiyah (mendasar dan menyeluruh), nyaris perubahan itu tanpa pertumpahan darah. Inilah yang harus kita tiru!
MENGGUGAT JALAN DEMOKRASI
0 comments: