3 Maret 1924, Khilafah dibubarkan Kamal Attartuk, agen Inggris keturunan Yahudi. Inilah puncak kemerosotan kaum muslim yang memang sudah lama menggerogoti tubuh umat. Atas nama Dewan Agung Nasional Turki (Al Jam’iyyatu al Wathaniyah al Kubro), Kamal merubah Turki menjadi Republik dengan asas sekulerisme. Tidak hanya itu, Kamal melakukan proses sekulerisasi dengan tangan besi. Khilafah dibubarkan, alasannya diktator, korup, dan bermacam tuduhan keji lainnya. Hukum syara’ pun diganti, dianggap kuno dan tidak manusiawi. Segala yang berbau Islam, dituduh berbau Arab, dan harus diganti. Mulai dari bahasa Arab, pakaian Arab, sampai adzan semua harus diubah. Islam dicampakkan. At Tatturk lupa,
Islamlah yang membuat umat Islam, rakyat Turki, jaya dan gemilang.
Sekarang, penderitaan umat semakin bertambah. Negeri-negeri Islam terpecah belah menjadi puluhan negara yang dikontrol oleh penjajah Barat. Negara lemah, yang tidak bisa menolong saudaranya sendiri. Bayangkan, mereka tidak bisa menyelamatkan Pelestina, yang dijajah Israel. Rakyat Irak dibantai, Fallujah negeri dengan seribu menara masjid dinodai, tapi penguasa-penguasa negeri-negeri Islam yang sekuler itu sekedar jadi penonton. Darah kaum muslim, demikian gampang ditumpahkan oleh penjajah Amerika Serikat dan sekutunya dibantu agen-agen pengkhianat dari umat Islam sendiri. Mulai dari Palestina, Irak, Afghanistan,
*

Kenapa Harus Khilafah?
Dalam sebuah acara diskusi dengan tema : "Mencari Format Terbaik Mensejahterakan Indonesia", saat sesi tanya jawab terjadi dialog sebagai berikut ;
Peserta diskusi : Saudara moderator, saudara moderator...., mohon saya di beri kesempatan menanggapi pembicara !
Moderator : Silahkan pak..., apa tanggapannya ?
Peserta
diskusi : Saya heran dengan adik pembicara yang satu itu..., maaf saya panggil adik karena usia Anda jauh di bawah usia saya.
Pertanyaan saya..., mengapa Anda ngotot sekali dengan ide Khilafah sebagai format yang pas bagi Indonesia ? Padahal Indonesia ini sistemnya demokrasi dan asasnya Pancasila, Demokrasi Pancasila sudah final dik..., sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia.
*

Khilafah bukan format yang pas untuk Indonesia?
Pelajaran Tunisia, Mesir, Libia, dll
- Optimisme perubahan: masyarakat dunia tidak (sepenuhnya) apatis. Mereka mau memikirkan, berjuang bahkan berkorban bukan sekedar untuk kepentingan pribadi
- Alianasi politik : penguasa dan rakyat
- Rezim dan sistem yang korup, diktator, gagal mensejahterakan rakyat akan tumbang
- Rezim yang yang menghamba dan bergantung pada kekuatan asing sangatlah rapuh dan bernasib tragis , dicampakkan oleh tuannya sendiri
- Sikap hipokrit dan
busuk negara-negara imperialis (Amerika, Inggris, dan sekutunya)
Perubahan (tumbangnya sebuah rezim) dapat dilakukan di luar parlemen, bukan dari dalam
People Power saja, tanpa dukungan militer, tidak serta merta mampu menumbangkan rezim & sistem
Perubahan tanpa visi dan kepemimpinan yang jelas , rawan ‘pembajakan’ rezim lama dan kepentingan asing
Perubahan mendasar tidak cukup dengan pergantian rezim tapi harus inqilabiyah (asasiyah,syumuliyah)
Relevansi seruan khilafah dan syariah
*

Perubahan di dunia Islam dan Metode Penegakkan Khilafah [File powerpoint]
Tahqiiq al-Manath: Kaidah dan Asas-Asas dalam Demokrasi
Kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa dianggap memiliki kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri, karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat. Lantaran hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat —sebagaimana pemilik budak menguasai budaknya— berdasarkan anggapan tersebut.
Lalu timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para
filosof dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat —yaitu sistem demokrasi— di mana rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat dikatakan memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan menjalankannya sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat, karena rakyat ibarat pemilik budak, yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat —karena posisinya sebagai wakil rakyat— dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat.
Karena itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.
*

PASAL II: MENIMBANG KAIDAH & ASAS-ASAS DEMOKRASI DENGAN AL-ISLAM
Inilah Serangkaian Artikel dari:
"PROPOSAL GUGATAN ISLAM DAN PARA PEJUANG IDEOLOGI ISLAM ATAS DEMOKRASI NIZHAM KUFR & PARA PENDUKUNGNYA"
MUKADIMAH:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisaa' [4]: 59)
Dalam kajian penggalian hukum Islam (istinbath al-hukm) dalam ilmu ushul fiqh, ada tiga hal yang
penting:
1. Fahmul Waaqi' (Tahqiiq al-manath); yakni memahami objek fakta yang dihukumi (manath al-hukm).. Diantaranya memahami definisi Demokrasi dari asal-usulnya, asal-usul Demokrasi, asas akidah yang mendasari Demokrasi maupun pemahaman terhadap perkara-perkara cabang yang lahir dari Demokrasi.
2. Fahmusy Syar'i (Istidlal); memahami penggalian dalil-dalil syara' sebagi sumber hukum (mashdar al-hukm). Sumber hukum Islam yang disepakati adalah: al-Qur’an, al-Sunnah, dan yang ditunjukkan keduanya yakni Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’iyyah.
3. Mengaitkan antara fakta sebagai objek yang dihukumi (manath al-hukm) dan dalil-dalil syari’at sebagai mashdar al-hukm (sumber hukum).
*

PASAL I: MENIMBANG ISTILAH DEMOKRASI DENGAN AL-ISLAM & PERINCIANNYA
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).
Sanad Hadits
Imam Ahmad menerimanya dari Sulaiman bin Dawud ath-Thuyalisi dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia berkata:
*

Basyârah (berita gembira) Akan Tegaknya KHILAFAH ala Minhaajin Nubuwwah
Al-Wahhabiyyah, sebutan yang dialamatkan kepada pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab (w. 1206 H). Kelompok yang mengaku bermanhaj As-Salaf[1] Ash-Shalih Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, menyeru kepada pemurnian Tauhid dan memberantas apa yang mereka sebut syirik dan bid’ah[2].
Sekilas Tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dan Kemunculan
Wahabiyyah
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang mujtahid dari madzhab Hambali[3] yang dilahirkan dan dibesarkan di ‘Uyainah – Najed (saat itu wilayah Hijaz berada di bawah kendali Syarif Mekah dalam naungan Khilafah Turki ‘Utsmani). Dia berasal dari keluarga terpandang, kakeknya Sulaiman bin Ali (w. 1079 H) adalah seorang mufti di Najd, ayahnya Abdul Wahhab bin Sulaiman (w. 1153 H) adalah mufti sekaligus qadhi di Najd, dan saudaranya Sulaiman bin Abdil Wahhab (w. 1210 H) adalah ‘ulama besar di masanya. Dari sisi
*

Al-Wahhabiyyah
A. Pengertian Syî’ah Secara Umum
Syî’ah: asalnya adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra, kemudian menjadi kelompok tersendiri diantara kelompok-kelompok kaum muslimin, dengan keyakinan bahwa khilafah adalah hak Ali bin Abi Thalib ra dan para keturunannya,
kemudian mereka terbagi menjadi banyak kelompok dimana setiap kelompok memiliki paham-paham yang khas, yang dengannya mereka berbeda dari paham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.[1]
B. Sejarah Kemunculan
Kelompok Syî’ah terbentuk setelah rentetan peristiwa sejak akhir masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan ra. sampai khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Semuanya bermuara pada sosok bernama Abdullah bin Saba’, seorang
*

Kedudukan Syi'ah di Tengah-Tengah Umat Islam
Tiada kemuliaan tanpa Islam
Tak sempurna Islam tanpa syariah
Takkan tegak syariah tanpa Khilafah
Sudah lama kita, sebagai bagian dari umat, santri dari guru-guru kita para ulama yang mukhlis bercita-cita seperti guru kita. Cita-cita yang telah lama terpendam dalam sanubari kita. Yaitu tegaknya syariah dalam bingkai
khilafah.
Mengapa harus khilafah? Pertama, tentu saja karena dorongan keimanan. Aqidah Islam yang terangkum dalam kalimat syahadatain “Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah,”
mendorong kita untuk:
1) Hanya mengimani Allah sebagai Tuhan kita, sebagai yang kita sembah. Bentuk penyembahan yang benar tentu dengan menafikan yang selain-Nya. Dengan mematuhi semua perintah dan menjauhi yang dilarang-Nya. Dengan menjalankan hukum-hukum-Nya saja, bukan hukum dari selain-Nya. Dan perlu diingat bahwa pelaksanaan hukum Allah tidaklah mungkin tanpa adanya khilafah.
*

ISLAM DAN KHILAFAH
Oleh: Ihsan Tandjung
Dalam surat yang dikirim kepada suku Najran yang beragama Nasrani, Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menyampaikan seruan sebagai berikut:
فإني أدعوكم إلى عبادة الله من عبادة العباد
“Sesungguhnya aku menyeru kalian kepada
penghambaan Allah ta’aala semata dan meninggalkan penghambaan sesama hamba.” (HR Al-Baihaqi 2126)
Demikianlah, Islam datang membawa seruan abadi agar manusia hanya menghambakan diri kepada Allah ta’aala semata. Ajaran Allah ta’aala tidak membenarkan adanya penghambaan antara sesama hamba. Manusia tidak dibenarkan untuk menghamba kepada sesama manusia. Pengertian menghamba kepada sesama hamba bukan hanya dalam bentuk manusia bersujud di hadapan manusia lainnya.
*

Sistem Demokrasi: Penghambaan Sesama Hamba
Oleh : Farid Wadjdi
Pergolakan di Timur Tengah menunjukkan kegagalan jalan demokrasi untuk melakukan perubahan yang substansial.
Klaim sebagian pihak yang menyatakan pergolakan di Timur Tengah merupakan kemenangan
demokrasi, sangat patut dipertanyakan. Yang terjadi sebenarnya adalah hal yang natural/alami.
Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun
akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa
diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu
demokrasi atau tidak!
Sebaliknya, perubahan yang terjadi di Timur Tengah saat ini justru dilakukan bukan dengan jalan demokrasi, tapi gerakan rakyat di luar parlemen (ekstra parlemen). Selama ini ada semacam racun pemikiran yang terus ditebarkan di tengah umat Islam, kalau ingin mengubah harus masuk parlemen, harus bergabung dalam ritual demokrasi. Gejolak Timur Tengah secara nyata membantah pandangan ini.
Di samping tidak efektif untuk membuat perubahan yang substansial, ritual demokrasi ini mengandung banyak persoalan. Yang mendasar adalah bahaya ideologis. Demokrasi dengan pilar utamanya kedaulatan rakyat (as siyadah lil sya’bi), telah menjadikan sumber hukum adalah akal dan hawa nafsu manusia atas nama rakyat.
*

MENGGUGAT JALAN DEMOKRASI