“La Ilaha Illa al-Allah
Dalam kaedah bahasa Arab, itsbat sesudah manfiy bermakna al-hasr (membatasi) dan al-ta’kid (menguatkan).
Oleh karena itu, makna kalimat “La ilaha illa al-Allah” adalah tiada ilah (sesembahan) yang benar-benar berhak disebut ilah (sesembahan) kecuali Allah SWT.
Konsekuensi Dari Syadahat Tauhid
أَمْ لَهُمْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Ataukah mereka mempunyai ilah (sesembahan) selain Allah” Qs. ath-Thûr [52]: 4
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 73).
La ilaha illa al-Allah dan tauhid adalah pemurnian ketaatan kepada Allah dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Yakni, hanya mengakui bahwa Allah SWT semata yang berhak menetapkan hukum, bukan manusia
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik’.” (Qs. al-An’âm [6]: 57).
Abu Nizar al-Hafiy
*
- ‘La’ “la” nâfiyata li al-jinsi (huruf yang menafikan segala macam jenis).
- yang dinafikan adalah kata “ilah” (sesembahan)
- Kata “ilah” berbentuk isim nakirah dan isim al-jins.
- Kata “illa” adalah huruf istisna’ (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis “ilah”
- Bentuk kalimat semacam ini adalah kalimat manfiy (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positif).
- Kata “illa” berfungsi mengitsbatkan kalimat manfiy (negatif).
Dalam kaedah bahasa Arab, itsbat sesudah manfiy bermakna al-hasr (membatasi) dan al-ta’kid (menguatkan).
Oleh karena itu, makna kalimat “La ilaha illa al-Allah” adalah tiada ilah (sesembahan) yang benar-benar berhak disebut ilah (sesembahan) kecuali Allah SWT.
Konsekuensi Dari Syadahat Tauhid
أَمْ لَهُمْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Ataukah mereka mempunyai ilah (sesembahan) selain Allah” Qs. ath-Thûr [52]: 4
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 73).
La ilaha illa al-Allah dan tauhid adalah pemurnian ketaatan kepada Allah dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Yakni, hanya mengakui bahwa Allah SWT semata yang berhak menetapkan hukum, bukan manusia
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik’.” (Qs. al-An’âm [6]: 57).
0 comments: