Oleh; Kholili Hasib
MENYIKAPI isu-isu khilafiyyah yang makin meruncing seperti sekarang ini dan gelombang arus pemikiran yang tidak terarah, KH. Hasyim Asy’ari patut menjadi teladan. Ia pendiri NU yang dikenal tegas terhadap pemikiran di luar Islam, dan menyeru pada pentingnya ukhuwah Islamiyyah.
KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama’ kenamaan yang lahir dari darah keturunan para ulama’. Ayahnya, Kyai Asy’ari adalah seorang ulama’ di daerah selatan Jombang yang memiliki pesantren. Kakeknya, Kyai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kyai Sihah, juga ulama’, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Selama tujuh tahun ia nyantri di Makkah berguru kepada masyayikh di tanah haram. Di antaranya ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Syekh ‘Alawi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadits yang berasal dari Termas Jawa Timur.
Sepulang ke tanah air, ia memulai tapak perjuangan melalui pendidikan dan organisasi sosial. Di bidang pendidikan ia mendirikan pesantren bercorak tradisional di Tebuireng Jombang. Untuk mengkonsolidasi dakwah secara efektif ia mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, yang artinya organisasi kebangkitan ulama’ pada 31 Januari tahun 1936.
Ia termasuk penulis produktif. Yang dibukukan sekarang ini ada sekitar 19 kitab. Itu belum risalah-risalah pendek yang belum dicetak yang menurut informasi masih tersimpan di perpustakaan keluarga di Jombang.
Barangkali Syekh Hasyim Asy’ari ingin meneladani Imam al-Ghazali dalam perjuangan. Imam al-Ghazali dalam gerakan pembaharuannya dengan membenahi ilmu dan ulama’. Syekh Hasyim Asy’ari dengan berdirinya NU, berusaha membangkitkan ulama dan semangat untuk kembali kepada ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ulama’ adalah ‘mesin’ dakwah Islam. Oleh sebab itu ketika terjadi krisis, ulama harus dibangkitkan, dibenahi keilmuannya dan diatur strategi perjuangannya.
Jihad Pemikiran
Dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat penting yang disampaikan dalam pidato Mu’tamar NU XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.
Ia menyeru kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh berjihad melawan akidah yang rusak dan pengkhina al-Qur’an. Untuk itu, ia mewanti-wanti agar menjaga keutuhan umat Islam dan tidak fanatik buta kepada perkara furu’.
Di hadapan peserta muktamar yang dihadiri para ulama, Syekh Hasyim Asy’ari menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya.
Ia mengatakan: “Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang y`ng merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-aku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (al-Tibyan, hal. 33).MENYIKAPI isu-isu khilafiyyah yang makin meruncing seperti sekarang ini dan gelombang arus pemikiran yang tidak terarah, KH. Hasyim Asy’ari patut menjadi teladan. Ia pendiri NU yang dikenal tegas terhadap pemikiran di luar Islam, dan menyeru pada pentingnya ukhuwah Islamiyyah.
KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama’ kenamaan yang lahir dari darah keturunan para ulama’. Ayahnya, Kyai Asy’ari adalah seorang ulama’ di daerah selatan Jombang yang memiliki pesantren. Kakeknya, Kyai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kyai Sihah, juga ulama’, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Selama tujuh tahun ia nyantri di Makkah berguru kepada masyayikh di tanah haram. Di antaranya ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Syekh ‘Alawi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadits yang berasal dari Termas Jawa Timur.
Sepulang ke tanah air, ia memulai tapak perjuangan melalui pendidikan dan organisasi sosial. Di bidang pendidikan ia mendirikan pesantren bercorak tradisional di Tebuireng Jombang. Untuk mengkonsolidasi dakwah secara efektif ia mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, yang artinya organisasi kebangkitan ulama’ pada 31 Januari tahun 1936.
Ia termasuk penulis produktif. Yang dibukukan sekarang ini ada sekitar 19 kitab. Itu belum risalah-risalah pendek yang belum dicetak yang menurut informasi masih tersimpan di perpustakaan keluarga di Jombang.
Barangkali Syekh Hasyim Asy’ari ingin meneladani Imam al-Ghazali dalam perjuangan. Imam al-Ghazali dalam gerakan pembaharuannya dengan membenahi ilmu dan ulama’. Syekh Hasyim Asy’ari dengan berdirinya NU, berusaha membangkitkan ulama dan semangat untuk kembali kepada ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ulama’ adalah ‘mesin’ dakwah Islam. Oleh sebab itu ketika terjadi krisis, ulama harus dibangkitkan, dibenahi keilmuannya dan diatur strategi perjuangannya.
Jihad Pemikiran
Dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat penting yang disampaikan dalam pidato Mu’tamar NU XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.
Ia menyeru kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh berjihad melawan akidah yang rusak dan pengkhina al-Qur’an. Untuk itu, ia mewanti-wanti agar menjaga keutuhan umat Islam dan tidak fanatik buta kepada perkara furu’.
Di hadapan peserta muktamar yang dihadiri para ulama, Syekh Hasyim Asy’ari menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya.
Menurut Syekh Hasyim Asy’ari, fanatisme terhadap perkara furu’ dan itu tidak diperkenankan oleh Allah SWT, tidak diridlai oleh Rasulullah SAW (al-Tibyan, hal. 33). Oleh sebab itu ia menyeru untuk bersatu padu, apapun mazhab fikihnya. Selama ia mengikuti salah satu madzhab yang empat, ia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadits, dan pendapat para ulama terdahulu. Inilah sikap adil, yakni menempatkan perkara pada koridor syariah yang sebenarnya.
Dalam kitab Risalah Ahlus Sunnnah Syekh Hasyim Asy’ari menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, Rafidlah yang mencaci sahabat Nabi SAW, dan kelompok Ibahiyyunharus diperangi dan dibenahi akidahnya.
Dalam kitab yang sama, beliau mengutip hadits dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepankan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Ditulis dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Seykh Hasyim Asy’ari mewanti-wanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam lautan fitnah, yaitu berdakwah mengajak kepada agama Allah akan tetapi dalam hati ia durhaka kepada-Nya.
Inilah karakter Syekh Hasyim Asy’ari yang patut diteladani umat. Tegas terhadap penyimpangan Islam, teduh dalam menyikapi perbedaan furu’.
Pejuang Syari’ah
Ia salah satu tokoh nasional pejuang syari’ah. Ia adil. Kepada pengikutnya yang salah, ia tak segan membenahi, dan terhadap kelompok lain yang menyimpang, tanpa sungkan ia mengkritik. Semuanya demi Islam, demi keagungan Allah, bukan demi manusia tertentu.
Penulis aumni Jurusan Ilmu Akidah Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo, kini peneliti di Institutut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya
0 comments: