Tak terasa, kita kembali bertemu dengan awal tahun baru hijrah. Kali ini kita mengakhiri tahun 1432 H dan memasuki tahun 1433 Hijrah.
Hijrah, yakni peristiwa hijrah Baginda Nabi saw. dari Makkah ke Madinah, adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islam dan kaum Muslim. Hijrah adalah peristiwa paling menentukan bagi tegaknya Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem dalam intitusi negara ketika itu, yakni Daulah Islamiyah.
Kini, sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 lalu, dan sejak itu kaum Muslim kembali berada dalam kungkungan ideologi dan sistem Jahiliah, tentu hijrah saat ini bukan saja masih relevan, tetapi sebuah keniscayaan. Sebab, melalui hijrahlah kaum Muslim memungkinkan untuk: meninggalkan kekufuran dan dominasi orang-orang kafir menuju iman dan kekuasaan Islam; meninggalkan darul kufur menuju Darul Islam; meninggalkan sistem Jahiliah menuju ideologi dan sistem syariah; serta meninggalkan kekalahan menuju kemenangan dan kemuliaan Islam.
Makna Hijrah
Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Ash-Shihhah fi al-Lughah, II/243, Lisan al-‘Arab, V/250; Al-Qamus Al-Muhith, I/637). Para fukaha lalu mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Lalu bagaimana kita mengamalkan kembali hijrah pada saat ini? Pasalnya, sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir (Khilafah Utsmaniyah) pada tahun 1924, saat ini tak ada satu pun negeri di seluruh dunia yang menerapkan sistem Islam atau menerapkan syariah Islam secara total dalam sebuah institusi negara. Dengan kata lain, saat ini tak ada yang namanya Darul Islam, karena seluruhnya adalah darul kufur, termasuk negeri-negeri Islam. Sebab, meski mayoritas penduduk di negeri-negeri Islam adalah Muslim, negeri-negeri tersebut tidak menerapkan syariah Islam (kecuali sebagian kecil) dan kekuasaannya pun secara real tidak di tangan kaum Muslim.
Jika demikian, tentu menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk mewujudkan Darul Islam itu, yakni dalam wujud Daulah Islam atau Khilafah Islam. Hanya dengan mewujudkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamlah pengamalan kembali makna hijrah bisa dilaksanakan. Jika tidak, umat Islam, sebagaimana saat ini, tentu tak akan pernah dapat lepas dari kungkungan ideologi dan sistem Jahiliah—yang saat ini direpresentasikan oleh Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis—yang justru wajib ditinggalkan, untuk segera menuju kehidupan masyarakat baru yang hanya diatur oleh ideologi dan sistem Islam.
Masyarakat Sebelum Hijrah
Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek.
Pertama: aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Memang, kebanyakan orang-orang Arab saat itu berkeyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, sebagaimana hal itu digambarkan al-Quran (Lihat: QS Luqman: 25). Namun, dalam praktiknya, mereka membuat berbagai perantara untuk menyembah Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat dan menganggap para malaikat itu adalah putra perempuan Allah. Ada yang menyembah jin dan ruh terdahulu. Ada juga yang menyembah binatang, menyembah berhala. ‘Amr bin Lubayyi, penguasa Ka’bah saat itu, menaruh sebuah berhala dari batu akik yang sangat terkenal dengan nama “Hubal”.
Kedua: aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Pencurian, pembegalan dan perampokan juga menyeruak di mana-mana. Kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah, sebagaimana hal ini pun digambarkan dalam al-Quran (Lihat: QS at-Takwir: 8-9).
Ketiga: aspek ekonomi. Di bidang ekonomi bangsa Arab sebelum Rasulullah saw. adalah kebanyakan berdagang/berniaga. Bisnis yang mereka lakukan saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan cara riba yang berlipat ganda (riba fadl) telah menjadi tradisi mereka sehingga tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Keempat: aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Masyarakat Pasca Hijrah
Jujur harus dinyatakan, bahwa setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Daulah Islamiyah (Negara Islam) yang dibangun Baginda Nabi saw. di Madinah berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah.
Dengan sangat indah Rasulullah saw menggambarkan Madinah al-Munawwarah saat itu dengan sabdanya, ”Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Baginda Nabi saw.—melalui institusi negara yang beliau dirikan, yakni Daulah Islamiyah, dimana di tengah-tengah mereka diterapkan ideologi dan sistem Islam, yakni akidah dan syariah Islam—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah.
Pertama: dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu, meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.
Kedua: dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.
Ketiga: dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya.
Keempat: dari sisi politik. Jujur harus diakui, pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Daulah Islamiyah yang dibangun Baginda Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.
Hijrah Sistemik
Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai ”Jahiliah Modern”. Kondisi akidah/ideologi, sosial, ekonomi dan politik saat ini—yang berada dalam kungkungan ideologi Kapitalisme-sekular—sesungguhnya mirip dengan kondisi sebelum Rasulullah hijrah. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak. Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi; demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Di bidang politik, jelas negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai obyek penjajahan negara-negara kapitalis dalam berbagai bidang.
Karena itu, saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, memerlukan tatanan baru, yakni tananan yang dibangun berdasarkan ideologi dan sistem Islam. Singkatnya, kita perlu melakukan hijrah sistemik, yakni berpindah dari sistem Kapitalisme-sekular yang mendominasi saat ini menuju ke sistem Islam. Karena itu, saat ini kita semua perlu membentuk kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam, sebagaimana masyarakat yang dibangun Baginda Nabi saw.
Pasca Hijrah. Khilafah pula yang akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah pula yang akan menjadikan dunia ini bisa hidup dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadailan, kesejahteraan dan keberkahan.
Jelas, setelah ideologi Sosialisme-komunis runtuh, dan ideologi Kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini terbukti rapuh—beberapa kali mengalami kebangkrutan, selain menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan gagal mewujudkan sebuah peradaban dunia yang agung dan mulia—maka selayaknya dunia berharap hanya pada ideologi dan sistem Islam, yang diterapkan oleh institusi Khilafah Islam. Khilafah Islamlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan hidayah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. yang memberikan kabar gembira kepada kita hakikat ini:
Alhasil, marilah kita segera berhijrah secara sistemik: dari sistem Jahiliah Modern saat ini ke sistem Islam. Caranya adalah dengan menegakkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam. Hanya dengan itulah makna hijrah secara hakiki bisa kita amalkan. Wallahu a’lam. []
Arief B. Iskandar;
Penulis adalah Reaktur Media Politik dan Dakwah Al-Waie dan Pengajar Studi Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
sumber: eramuslim.com
*
Hijrah, yakni peristiwa hijrah Baginda Nabi saw. dari Makkah ke Madinah, adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islam dan kaum Muslim. Hijrah adalah peristiwa paling menentukan bagi tegaknya Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem dalam intitusi negara ketika itu, yakni Daulah Islamiyah.
Kini, sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 lalu, dan sejak itu kaum Muslim kembali berada dalam kungkungan ideologi dan sistem Jahiliah, tentu hijrah saat ini bukan saja masih relevan, tetapi sebuah keniscayaan. Sebab, melalui hijrahlah kaum Muslim memungkinkan untuk: meninggalkan kekufuran dan dominasi orang-orang kafir menuju iman dan kekuasaan Islam; meninggalkan darul kufur menuju Darul Islam; meninggalkan sistem Jahiliah menuju ideologi dan sistem syariah; serta meninggalkan kekalahan menuju kemenangan dan kemuliaan Islam.
Makna Hijrah
Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Ash-Shihhah fi al-Lughah, II/243, Lisan al-‘Arab, V/250; Al-Qamus Al-Muhith, I/637). Para fukaha lalu mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Lalu bagaimana kita mengamalkan kembali hijrah pada saat ini? Pasalnya, sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir (Khilafah Utsmaniyah) pada tahun 1924, saat ini tak ada satu pun negeri di seluruh dunia yang menerapkan sistem Islam atau menerapkan syariah Islam secara total dalam sebuah institusi negara. Dengan kata lain, saat ini tak ada yang namanya Darul Islam, karena seluruhnya adalah darul kufur, termasuk negeri-negeri Islam. Sebab, meski mayoritas penduduk di negeri-negeri Islam adalah Muslim, negeri-negeri tersebut tidak menerapkan syariah Islam (kecuali sebagian kecil) dan kekuasaannya pun secara real tidak di tangan kaum Muslim.
Jika demikian, tentu menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk mewujudkan Darul Islam itu, yakni dalam wujud Daulah Islam atau Khilafah Islam. Hanya dengan mewujudkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamlah pengamalan kembali makna hijrah bisa dilaksanakan. Jika tidak, umat Islam, sebagaimana saat ini, tentu tak akan pernah dapat lepas dari kungkungan ideologi dan sistem Jahiliah—yang saat ini direpresentasikan oleh Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis—yang justru wajib ditinggalkan, untuk segera menuju kehidupan masyarakat baru yang hanya diatur oleh ideologi dan sistem Islam.
Masyarakat Sebelum Hijrah
Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek.
Pertama: aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Memang, kebanyakan orang-orang Arab saat itu berkeyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, sebagaimana hal itu digambarkan al-Quran (Lihat: QS Luqman: 25). Namun, dalam praktiknya, mereka membuat berbagai perantara untuk menyembah Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat dan menganggap para malaikat itu adalah putra perempuan Allah. Ada yang menyembah jin dan ruh terdahulu. Ada juga yang menyembah binatang, menyembah berhala. ‘Amr bin Lubayyi, penguasa Ka’bah saat itu, menaruh sebuah berhala dari batu akik yang sangat terkenal dengan nama “Hubal”.
Kedua: aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Pencurian, pembegalan dan perampokan juga menyeruak di mana-mana. Kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah, sebagaimana hal ini pun digambarkan dalam al-Quran (Lihat: QS at-Takwir: 8-9).
Ketiga: aspek ekonomi. Di bidang ekonomi bangsa Arab sebelum Rasulullah saw. adalah kebanyakan berdagang/berniaga. Bisnis yang mereka lakukan saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan cara riba yang berlipat ganda (riba fadl) telah menjadi tradisi mereka sehingga tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Keempat: aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Masyarakat Pasca Hijrah
Jujur harus dinyatakan, bahwa setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Daulah Islamiyah (Negara Islam) yang dibangun Baginda Nabi saw. di Madinah berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah.
Dengan sangat indah Rasulullah saw menggambarkan Madinah al-Munawwarah saat itu dengan sabdanya, ”Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Baginda Nabi saw.—melalui institusi negara yang beliau dirikan, yakni Daulah Islamiyah, dimana di tengah-tengah mereka diterapkan ideologi dan sistem Islam, yakni akidah dan syariah Islam—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah.
Pertama: dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu, meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.
Kedua: dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.
Ketiga: dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya.
Keempat: dari sisi politik. Jujur harus diakui, pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Daulah Islamiyah yang dibangun Baginda Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.
Hijrah Sistemik
Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai ”Jahiliah Modern”. Kondisi akidah/ideologi, sosial, ekonomi dan politik saat ini—yang berada dalam kungkungan ideologi Kapitalisme-sekular—sesungguhnya mirip dengan kondisi sebelum Rasulullah hijrah. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak. Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi; demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Di bidang politik, jelas negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai obyek penjajahan negara-negara kapitalis dalam berbagai bidang.
Karena itu, saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, memerlukan tatanan baru, yakni tananan yang dibangun berdasarkan ideologi dan sistem Islam. Singkatnya, kita perlu melakukan hijrah sistemik, yakni berpindah dari sistem Kapitalisme-sekular yang mendominasi saat ini menuju ke sistem Islam. Karena itu, saat ini kita semua perlu membentuk kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam, sebagaimana masyarakat yang dibangun Baginda Nabi saw.
Pasca Hijrah. Khilafah pula yang akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah pula yang akan menjadikan dunia ini bisa hidup dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadailan, kesejahteraan dan keberkahan.
Jelas, setelah ideologi Sosialisme-komunis runtuh, dan ideologi Kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini terbukti rapuh—beberapa kali mengalami kebangkrutan, selain menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan gagal mewujudkan sebuah peradaban dunia yang agung dan mulia—maka selayaknya dunia berharap hanya pada ideologi dan sistem Islam, yang diterapkan oleh institusi Khilafah Islam. Khilafah Islamlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan hidayah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. yang memberikan kabar gembira kepada kita hakikat ini:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sungguh, Allah telah memperlihatkan kepadaku bumi ini, lalu aku melihat bagian timur dan baratnya. Sungguh, kerajaan umatku akan mencapai seluruh bagian bumi yang telah ditampakkan kepadaku itu (HR Muslim).Alhasil, marilah kita segera berhijrah secara sistemik: dari sistem Jahiliah Modern saat ini ke sistem Islam. Caranya adalah dengan menegakkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam. Hanya dengan itulah makna hijrah secara hakiki bisa kita amalkan. Wallahu a’lam. []
Arief B. Iskandar;
Penulis adalah Reaktur Media Politik dan Dakwah Al-Waie dan Pengajar Studi Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
sumber: eramuslim.com
1 comments:
Islam, Dien yang haq yang mampu memecahkan problem-problem manusia. Dengan menerapkan sistem Islam yang kekal dan mabda’ (ideologi) Islam yang adil, maka kita pasti akan meraih kemuliaan. Tetapi apabila hal tersebut kita lalaikan dan telantarkan, maka kita tertimpa kehinaan dan akan dihina.