Pemilu di Indonesia
Pemilu yg dilakukan setiap lima tahun sekali di tingkat nasional akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang secara bersama-sama akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sementara propinsi dan kabupaten/kota akan memilih anggota DPRD. Berdasarkan UUD1945 Pasal 3 hasil amandemen ditetapkan bahwa wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Pasal 11 ayat 2 menegaskan bahwa DPR melakukan persetujuan bersama Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. DPR juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang, membahas bersama Presiden setiap rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20); memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20A). Tugas Presiden sendiri secara umum adalah melaksanakan UUD serta menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang dibuat tersebut.
Dengan demikian, wakil rakyat memiliki tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU; (2) melantik presiden/wakil presiden; (3) fungsi pengawasan, koreksi, dan kontrol terhadap pemerintah.
Hukum Syariat Tentang Pemilu
Pemilu merupakan perwakilan (wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh). Dalil yang membolehkan wakalah di antaranya hadis sahih riwayat Jabir bin Abdillah. Ia menuturkan, "Aku hendak berangkat ke Khaybar, lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda:
«إِذَا اَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا»
Jika engkau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah olehmu darinya lima belas wasaq. (HR Abu Dawud)."
Dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw. melakukan aktivitas perwakilan (wakalah). Dengan demikian, hukum asal wakalah dalam syariat Islam adalah boleh.
Wakalah yang hukum asalnya boleh tersebut akan sah apabila semua rukun-rukunnya dipenuhi. Jika ada rukun yang tidak terpenuhi maka akad wakalah tersebut menjadi tidak sah, dan karenanya menjadi tidak boleh. Rukun-rukun tersebut adalah: (1) adanya ijab qabul; (2) pihak yang mewakilkan (muwakkil); (3) pihak yang mewakili (wakîl); (4) perkara yang diwakilkan; (5) bentuk redaksi akad perwakilannya (shighat tawkil). Semua rukun tersebut harus sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Pemilu yang menjadi fokus utama adalah perkara yang diwakilkan. Berkaitan dengan fungsi legislasi perlu diingatkan, bahwa setiap Muslim sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah Swt., wajib menaati syariat-Nya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat dan negara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negaranya kecuali dengan menggunakan syariat Allah. Allah Swt. berfirman:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ [
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an-Nisa [4]: 65).
Penggunaan sumber selain wahyu dalam penetapan hukum tidak akan menghasilkan kesimpulan hukum yang sesuai dengan syariat Allah. Ini bertentangan dengan perintah Allah dan bertentangan pula dengan keimanan seorang Muslim.
Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Adi bin Hatim:
«أَلَيْسَ أَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ وَحرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قال: فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ»
Bukankah mereka (para pendeta dan rahib, pen.) telah menghalalkan yang haram buat mereka dan mengharamkan yang halal atas mereka? Adi bin Hatim menjawab, "Ya." Rasul saw. lalu bersabda, "Itulah ibadah mereka (masyarakat ahlul kitab) kepada mereka (para rahib dan pendeta mereka)."
Hal itu dikatakan tatkala membaca firman Allah Swt.:
]اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ [
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS at-Taubah [9]: 31).
Oleh karena itu, kaum Muslim dilarang menetapkan hukum yang bukan bersumber dari wahyu, termasuk dilarang untuk mendukung lahirnya hukum itu.
Jika menetapkan hukum yang tidak bersumber dari wahyu Allah dilarang, maka mendukung terjadinya kegiatan itu juga dilarang. Kaidah syariat menyatakan:
[اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ]
Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram.
Menetapkan hukum bukan berdasarkan al-Quran dan al-Hadis, melainkan dari wakil rakyat, yang dikenal dengan jargon, “kedaulatan di tangan rakyat”, merupakan bagian dari sistem demokrasi sekular ala Barat. Dalam sistem semacam ini, syariat Islam hanya menjadi salah satu pilihan (option) yang bisa diambil dan bisa juga tidak, bergantung pada kesepakatan atau bahkan kepada pihak yang memiliki suara terbanyak. Padahal semestinya, syariat Islam menjadi kewajiban (obligation); ia merupakan satu-satunya (bukan salah satu) pilihan dalam menetapkan hukum.
Karena itu, dalam sistem politik Islam, syariat sebagai hukum dengan wahyu sebagai sumbernya adalah menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Yang baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariat dan yang buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syariat. Dalam sistem politik demokrasi sekular, (wakil) rakyat sebagai penetap hukum dianggap mampu menetapkan apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Padahal kenyataannya, banyak sekali yang disangka baik padahal buruk dan yang disangka buruk padahal baik.
Begitu juga pemberian mandat atau kepercayaan kepada pemerintahan sekular yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, memilih kepala negara; memberikan pengesahan terhadap berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian, merupakan perbuatan yang termasuk kategori memberikan wasilah kepada yang haram.
Berdasarkan hal tersebut, aktivitas menetapkan hukum atau undang-undang yang bukan berasal dari syariat Islam atau memilih pemimpin untuk melaksanakan hukum sekular tidaklah dibolehkan. Karena itu, akad wakalah untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut juga tidak dibolehkan. Sebab, ada rukun wakalah yang tidak sah menurut syariat Islam, yakni adanya perbuatan yang melanggar syariat berupa ijab qabul untuk menerapkan sistem sekular. Allah Swt. lebih menegaskan hal ini dalam surat al-Maidah[5] ayat 44, 45 dan 47.
Berbeda dengan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dari parlemen berupa koreksi dan kritik (muhasabah) terhadap pemerintah dan para penguasa diwajibkan secara syar’i. Dalam syariat Islam ini, hal itu disebut dengan amar makruf nahi mungkar, yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, apalagi oleh para wakil rakyat. Oleh karena itu, pencalonan sekadar dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan termasuk perkara yang dibolehkan. Hanya saja pencalonan tersebut terikat dengan syarat-syarat syar’i, bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Calon wakil rakyat harus menyuarakan secara terbuka keinginannya menegakkan sistem Islam, penentangannya terhadap sistem sekular, serta keinginannya mengganti sistem tersebut dengan sistem Islam. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu memanfaatkan parlemen sebagai mimbar (sarana) untuk mendakwahkan Islam.
2. Dalam kampanye, calon wakil rakyat itu menyampaikan pemikiran dan program-program yang hendak dilaksanakan bersumber dari syariat Islam.
3. Dia tidak menjadi calon partai sekular.
4. Tidak menempuh cara haram seperti penipuan, pemalsuan, dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang sekular.
5. Secara konsisten melaksanakan butir-butir di atas.
Jadi, seorang Muslim boleh terlibat dalam Pemilu dalam rangka menegakkan sistem Islam, menentang sistem sekular, sekaligus melaksanakan kritik dan koreksi (muhasabah) terhadap hukum dan pemerintahan yang memproduksi apa pun yang bertentangan dengan syariat. Akan tetapi, jika hal tersebut dilakukan dalam rangka memantapkan hukum dan sistem sekular, Allah Swt. mengharamkannya.
Sikap Muslim
Berdasarkan penjelasan di atas, sikap yang harus ditunjukkan oleh setiap Muslim adalah: Pertama, turut berjuang menegakkan syariat Islam dan mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam berdasarkan metode dakwah Rasulullah saw. melalui pergulatan pemikiran (as-shirâul al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Kesertaannya itu ditunjukkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, partai politik yang nyata dan konsisten berjuang menegakkan syariat Islam. Sebaliknya, ia menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru mengukuhkan sistem sekular. Kewajiban ini harus dilakukan sungguh-sungguh jika kita ingin mendapatkan rahmat yang dijanjikan oleh syariat. Sebaliknya, jika kita semua abai terhadap kewajiban ini, maka akan bertambahlah keburukan yang menimpa kita di dunia dan akhirat.
Kedua, memastikan bahwa partai Islam yang dipilih memenuhi kriteria:
a. Berasas Islam
b. Bertujuan untuk menegakkan kehidupan Islam dengan mengganti sistem sekuler menjadi sistem Islam dimana didalamnya diterapkan syariat Islam dalam naungan daulah khilafah Islamiyah.
c. Tujuan itu diperjuangkan secara sungguh-sungguh, terus-terang, dan terbuka tanpa rasa malu dan gentar.
d. Asas Islam itu tercermin dalam konsep atau pemikiran yang diperjuangkan baik menyangkut politik di dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan, dimana konsep itu tertuang secara gamblang sehingga bisa dipelajari oleh siapa pun.
e. Sebagai partai Islam, ia wajib terikat kepada syariat Islam baik dalam kehidupan sehari-hari kepartaian, dalam interaksi antara anggota partai maupun dalam kehidupan keparlemenan, termasuk dalam materi dan cara kampanye.
Ketiga, secara sendiri-sendiri atau bersama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa yang menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Keempat, tidak terpengaruh oleh propaganda orang-orang atau kelompok tertentu yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam mustahil dilakukan. Semua bisa berubah asal kita mau berusaha keras, sungguh-sungguh, istiqamah, ikhlas, dan senantiasa berdoa memohon pertolongan Allah. Dengan pertolongan-Nya, tidak ada yang tidak mungkin; termasuk tegaknya syariat Islam untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâf al-hayah al- islâmiyah) dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Semua itu melalui tegaknya Daulah Khilafah yang akan menyatukan kaum Muslim di bawah panji Lâ ilâha illa Allâh, lalu mengeluarkan kita dari kezaliman sistem yang rusak ini menuju keadilan Islam. Hanya dengan itu, Islam akan tampil sebagai agama yang mengungguli semua agama dan ideologi yang ada. Allah Swt. berfirman:
]فِي بِضْعِ سِنِينَ ِللهِ اْلأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ $ بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ $ وَعْدَ اللهِ لاَ يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ [
Pada hari itu bergembiralah orang-orang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS ar-Ruum [30]: 4-6).[]
0 comments: