Sebagai entitas sosial, sejarah umat Islam yang tersebar ke seluruh dunia, dan kini mencapai 1,4 miliar orang itu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Khilafah Islam. Karena itu, keberadaan dan sumbangannya kepada umat ini tidak pernah diingkari oleh siapapun, Maka, wajar jika para ulama’ menyatakan, bahwa imamah atau Khilafah merupakan perkara yang telah diyakini urgensinya di dalam konstruk ajaran Islam (ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah).
Pro-kontra seputar wajib dan tidaknya kaum Muslim menegakkan Khilafah Islam justru baru muncul setelah Khilafah Islam itu sendiri—yakni Kekhilafahan Islam yang terakhir di Turki—dihancurkan oleh rezim Kemal Attaturk dengan dukungan dan rekayasa Inggris pada bulan tanggal 27 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setelah itu, berbagai upaya untuk mengembalikannya pun diaborsi di tengah jalan. Konferensi Kaero dan Konferensi Hijaz adalah bukti nyata keberhasilan upaya mereka. Bukan hanya itu, mereka juga mulai menghapus jejak Khilafah, dan membuat berbagai buku yang menafikan keberadaan dan kewajibannya. Sebut saja, buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang ditulis atas nama Syaikh ‘Ali Abdurraziq, agen intelektual Inggeris, yang kemudian seluruh gelarnya dicabut oleh Universitas.
Akibatnya, banyak dari generasi umat Islam saat ini yang seolah-olah tidak mengenal apa itu Khilafah. Tentu, ini sangat menyakitkan. Pasalnya, dalam sejarah, hanya Khilafahlah—selama lebih dari 13 abad lamanya—yang menjadi satu-satunya institusi yang menerapkan syariah Islam, pelayan dan pelindung umat Islam sekaligus penyebar risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
Namun demikian, Allah SWT telah berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (QS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ »
Selanjutnya akan muncul kembali Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. (HR Ahmad).
Sebagai umat Muhammad, kita wajib mengimani janji Allah SWT dan membenarkan kabar gembira yang disampaikan oleh Rasul-Nya saw. di atas. Hanya saja, janji itu tidak bisa datang dengan sendirinya. Di sinilah, umat Muhammad ini dituntut untuk memperjuangkannya, hingga bisyarah nubuwwah tersebut benar-benar terwujud, dengan izin dan pertolongan Allah. Semoga Allah SWT memuliakan umat ini dengan kembalinya Khilafah, agar kehidupan mereka dipenuhi dengan ibadah, berkah dan ridha dari Allah SWT. Di sana, mereka bisa menjadi tentaranya, menjunjung tinggi râyah (bendera)-nya, dengan baik dan di atas kebaikan, dan agar dengannya, umat ini bisa meraih kemenangan demi kemenangan. Sungguh, Allah Mahakuasa atas semuanya itu.

Khilafah di Mata Para Ulama Terkemuka
Hakikat Khilafah (Imamah).
Menurut Imam al-Juwaini, “Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia.(Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 5).
Dalam pandangan Imam al-Mawardi, “Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai penggganti kenabian, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm. 5).
Karena itu, menurut Ibn Khaldun, “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar‘i tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang râjih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Asy-Syâri‘ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi, Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shâhib asy-Syar’i (Allah), yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190).
Kewajiban menegakkan Khilafah.
Kewajiban menegakkan Khilafah atau mengangkat dan membaiat seorang khalifah adalah kewajiban berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Ini telah dimaklumi oleh para ulama sejak dulu. Menurut Syaikh Abu Zahrah, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama. (Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88).
Karena itu, menurut Dr. Dhiya’uddin ar-Rais, “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya.” (Ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99).
Senada dengan Ar-Rais, Syaikh Abdul Qadir Audah menyatakan, “Khilafah dapat dianggap sebagai satu kewajiban di antara fardhu-fardhu kifayah yang ada, seperti halnya jihad dan peradilan (al-qadhâ’). Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum Muslim. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini. (Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124).
Karena itulah, menurut Imam Ibn Hazm, “Para ulama telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam merupakan satu keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (sekte Khawarij)—pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijmak” (Imam al-Hafizh Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Marâtib al-Ijmâ’ , 1/124).
Pernyataan Ibn Hzam di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani (Imam al-Hafidz Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqa al-Akhbâr, XIII/290).
Ada juga ulama yang mengaitkan kewajiban mewujudkan Imamah (Khilafah) ini dengan kewajiban membentuk peradilan Islam. Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa an-Nawawi, misalnya, menyatakan, “Adanya imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya merupakan suatu keharusan bagi umat Islam.” (Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, 1/386).
Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshari juga menyatakan, “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah, sebagaimana peradilan (Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb, II/ 268).
Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâdz al-Minhâj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj (XXXIV/ 159); Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, XV/102).
Akibat tidak adanya Khilafah.
Tidak adanya Khilafah, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, “akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan masyarakat.” (An-Nabhani, Ibid, II/19).
Bahkan menurut Ibn Taimiyah, “Amar makruf dan nahi munkar hanya bisa berjalan dengan sempurna dengan adanya sanksi syariah (‘uqubat syar’iyyah). Sebab, melalui kekuasaan (imamah/khilafah) Allah akan menghilangkan apa yang tidak bisa dilenyapkan dengan al-Qur’an. Menegakkan hudud adalah wajib bagi para penguasa.” Beliau juga menegaskan, “Harus diketahui, bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi urusan orang merupakan kewajiban agama (Islam) yang paling besar. Bahkan, tanpanya, agama dan dunia ini tidak akan tegak.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, juz XXVIII, hal. 107 dan 390)
Imam al-Ghazali juga menyatakan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki Imam (Khilafah) dan peradilan telah rusak.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Lihat juga syarahnya oleh az-Zabidi, II/233).
Pendapat yang senada dengan pendapat para ulama di atas juga diketengahkan oleh para ulama muktabar lainnya, semisal al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, at-Thabrani, dan Ashhab as-Sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya‘la al-Fira’, al-Baghawi, Zamakhsyari, Ibn Katsir, Imam al-Baidhawi, Imam an-Nawawi, at-Thabari, al-Qurthubi, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain (Lihat: Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, hlm. 26; al-Qalqasyandi, Maâtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/16; Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/209; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/70; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, hlm. 602; ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, III/277; Ibnu ‘Abd al-Barr, Al-Isti‘âb fî Ma‘rifah al-Ashhâb, III/1150 dan Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 137-138, dan lain-lain).

Khatimah
Demikianlah, hampir tidak ada seorang ulama pun yang mukhlish, jujur dan amanah, baik salaf maupun khalaf, yang mengingkari adanya Khilafah dan kewajiban untuk mengembalikannya—meskipun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berhak mendudukinya, dan bagaimana metode perjuangan untuk menegakkannya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawwâb. []
BULETIN AL-ISLAM EDISI 365