لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang mengingkari Thaghut dan mengimani Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Muhammad bin Ishaq menuturkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun kepada seorang Anshar dari Bani Salim bernama al-Hushaini. Dia memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani. Dia sendiri adalah seorang Muslim. Lalu dia berkata kepada Rasulullah saw., “Apakah tidak saya paksa saja keduanya (untuk masuk Islam) karena mereka enggan kecuali menjadi Nasrani.” Allah Swt. kemudian menurunkan ayat ini menjelaskan perkara tersebut.1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Lâ ikrâha fî al-dîn (Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]). Makna al-ikrâh, sebagaimana dituturkan al-Baidhawi, adalah mengharuskan orang lain melakukan suatu perbuatan, sementara orang yang dipaksa itu tidak melihat kebaikan di dalamnya tatkala dia membawanya.2 Adapun ad-dîn yang dimaksud dalam ayat ini adalah dîn al-Islâm.3 Kendati berbentuk berita, yakni menegasikan pemaksaan dalam agama, ia mengandung makna larangan.4 Artinya, ayat ini melarang tindakan memaksa orang kafir untuk masuk ke dalam dîn al-Islâm. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh banyak mufassir seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Samarqandi, dan al-Jazairi.5
Dalam beberapa ayat lainnya memang terdapat kewajiban perang untuk menghadapi kafir dan munafik (lihat QS at-Taubah [9]: 73, at-Tahrim [66]: 3, dll). Akan tetapi, perang itu harus dihentikan ketika mereka bersedia menjadi kafir dzimmi, membayar jizyah dan tunduk pada hukum Islam (lihat QS at-Taubah [9]: 29).
Suatu saat Umar ra. menyebut tentang kaum Majusi, lalu ia berkata, “Aku tidak tahu bagaimana memperlakukan mereka.” Abdurrahman bin Auf kemudian berkata, “Aku bersaksi bahwa aku benar-benar mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
Perlakukanlah mereka (yakni pemeluk Majusi) sebagaimana pelakuan terhadap Ahlul Kitab (HR Malik).
Dengan demikian, dalam memeluk Islam, orang kafir tidak dipaksa untuk melakukannya. Namun, khusus kaum musyrik Arab, mereka tidak diberi pilihan kecuali hanya masuk Islam. Jika menolak, mereka harus diperangi (lihat QS al-Fath [48]: 16).6
Patut ditegaskan, ketentuan itu hanya berlaku dalam memasuki Islam. Selain musyrik Arab, orang kafir tidak boleh dipaksa masuk Islam. Berbeda halnya apabila mereka sudah menjadi Muslim dan hendak murtad. Islam memaksa pemeluknya untuk tetap berada di dalamnya. Apabila ada yang hendak keluar atau murtad dari agamanya, Islam memberikan hukum tegas kepada pelakunya, yakni hukuman mati. Hukuman itu wajib dijatuhkan apabila pelakunya bersikukuh murtad meskipun sudah diminta bertobat (istitâbah) dan diberi tenggang waktu untuk berpikir ulang. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Siapa saja yang mengubah (menukar) agamanya, bunuhlah (HR Ahmad, al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Abu Musa menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata kepadanya, “Pergilah ke Yaman!” Setelah itu, Nabi saw. menyuruh Muadz bin Jabal untuk menemani Abu Musa. Saat Muadz tiba, Abu Musa melemparkan sebuah kain penutup kepala kepada Muadz dan mengatakan, “Turunlah (dari untamu).” Sambil turun dari untanya, Muadz sempat melihat seorang laki-laki yang diikat, dan Muadz bertanya, “Apa ini?” Abu Musa menjawab, “Dulu dia Yahudi, kemudian masuk Islam, lalu menjadi Yahudi lagi,” Mendengar hal itu Muadz berkata, “Aku tidak boleh duduk sampai ia dibunuh. Siapa saja yang keluar dari agamanya, ia harus dibunuh.”
Ringkasnya, sebagaimana disampaikan ath-Thabari, ayat ini bermakna: tidak ada paksaan dalam beragama bagi orang yang halal diterima jizyah-nya, dengan membayar jizyah serta ridha dengan hukum Islam.7
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Qad tabayyana ar-rusyd min al-ghayy (sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat). Asy-Syaukani dan az-Zuhaili menyatakan, makna ar-rusyd dalam ayat ini adalah keimanan, sementara kata al-ghayy berarti kekufuran.8 Ditegaskan dalam ayat ini, telah jelas kebenaran dari kebatilan; keimanan dari kekufuran; petunjuk dari kesesatan; yang disebabkan karena banyaknya bukti dan ayat yang menunjukkannya.9
Kemudian Allah Swt. memuji orang yang mengimani-Nya dan mengingkari thaghût: Faman yakfur bi ath-thâghût wa yu’min billâh (Karena itu, siapa saja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah). Kata ath-thâgût merupakan bentuk fa’alût dari kata thaghâ-yathgâ-yathghû yang berarti melampaui batas.10
Mengenai makna ath-thâgût, banyak penjelasan yang disampaikan oleh para mufassir. Meskipun tampak berbeda-beda, semuanya memiliki kesamaan. Al-Baidhawi memaknai kata ath-thâgût dengan setan, berhala, dan segala sesembahan selain Allah atau yang menghalangi dari penyembahan terhadap Allah.11 Al-Jazairi juga menjelaskan kata ath-thâgût sebagai segala sesuatu yang memalingkan dari ibadah kepada Allah Swt., baik dari kalangan manusia, setan atau lainnya.12 Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa makna thâgût adalah setan. Hal itu meliputi semua jenis keburukan yang dilakukan orang Jahiliah, baik menyembah berhala, berhukum kepadanya, dan meminta pertolongan kepadanya.13 Al-Jauhari, sebagaimana disitir asy-Syaukani dalam tafsirnya, menyatakan bahwa thâgût adalah dukun, setan, dan semua pemimpin kesesatan.14
Patut dicatat, dalam frasa ini pengingkaran terhadap thâghût didahulukan sebelum keimanan terhadap Allah Swt. Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan, itu menunjukkan urgensi wajibnya mengingkari ath-thâgût.15 Menurut al-Razi, hal itu mengisyaratkan bahwa orang kafir yang hendak masuk Islam terlebih dulu harus bertobat dari kekufuran, baru kemudian beriman.16
Orang yang mengingkari thâgût dan mengimani Allah dipuji dengan firman-Nya: faqad [i]stamsaka bi al-‘urwah al-wutsqâ (sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat). Kata al-‘urwah al-wutsqâ berarti buhul atau tali yang kuat. Dalam konteks ayat ini, kata tersebut merupakan perumpamaan bagi dîn al-Islâm. Ada pula yang menyatakan, kata tersebut adalah perumpamaan bagi iman, al-Quran, atau kalimat Lâ ilâha illa Allâh. Menurut Ibnu Katsir dan asy-Syaukani, semua makna itu termasuk dalam cakupan kata al-‘urwah al-wutsqâ.17
Allah Swt. berfirman: lâ [i]nfishâma lahâ (yang tidak akan putus); maknanya adalah tidak terputus hingga mengantarkan pelakunya ke surga. Itu artinya, orang yang berpegang teguh pada agama yang benar, yakni Islam, seperti orang yang berpegang teguh pada suatu tali yang kuat, yang tidak mungkin pecah atau putus.18
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Wallâh Samî’ ‘Alîm (Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Maknanya, siapapun yang memilih kakufuran, semua perkataan dan perbuatan mereka didengar dan dilihat oleh Allah Swt. Demikian juga bagi orang yang memilih Islam; Allah Maha Mendengar dan Maha Melihatnya.
Sikap terhadap Orang Kafir
Ayat ini sering dicomot oleh kaum Liberal untuk menjustifikasi ide kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqîdah). Ide ini memandang manusia memiliki kebebasan penuh dalam beragama. Manusia bebas memeluk, menentukan, dan berpindah-pindah agama sesukanya; termasuk juga bebas untuk tidak beragama. Andai ada seseorang pada hari Jumat beragama Islam, keesokannya murtad menjadi Yahudi, esoknya lagi pindah beragama Nasrani, dan setelah itu berubah menjadi ateis, itu boleh-boleh saja. Ia tidak boleh dilarang. Bahkan tindakannya harus dianggap sebagai pilihan yang harus dihormati. Potongan ayat ini, ‘lâ ikrâha fî al-dîn’, diklaim selaras dengan ide kebebasan yang lahir dari ideologi Sekularisme-Kapitalisme itu.
Klaim tersebut jelas batil. Sebagaimana telah diungkap, tiadanya paksaan dalam agama itu hanya dalam konteks masuk Islam; bahwa orang kafir, selain musyrik Arab, tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Namun, jika sudah masuk Islam, seseorang tidak boleh keluar atau murtad darinya. Jika pelakunya bersikeras dengan pendiriannya, ia harus dijatuhkan hukuman mati.
Dalam ide kebebasan beragama, manusia dipandang memiliki kebebasan mutlak dalam memilih agama; seolah-olah kebebasan itu menjadi hak manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak ada konsekuensi apa pun atas pilihan seseorang dalam memilih agama.
Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Dalam masalah agama dan ideologi, manusia tidak dibiarkan memilih sesukanya. Allah Swt. telah memerintahkan setiap manusia untuk memeluk Islam. Perintah tersebut bersifat jazm (tegas dan pasti). Siapapun yang memenuhi perintah itu akan mendapatkan pahala, surga, dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang menolak perintah tersebut, baginya azab neraka Jahanam selama-lamanya. Itu artinya, memeluk Islam bukan perkara pilihan, dalam pengertian, boleh dikerjakan atau tidak, sesuka manusia. Ia adalah perintah yang harus dikerjakan.
Telah maklum, Rasulullah saw. diutus sebagai rasul terakhir yang membawa risalah Islam untuk seluruh manusia tanpa terkecuali (lihat QS Saba’ [34]: 34 dan al-A’raf [7]: 158). Sejak saat itu, Allah Swt. hanya mengizinkan dan meridhai satu agama untuk dipeluk oleh umat manusia, yaitu Islam (lihat QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 19). Siapapun yang memeluk agama seIain Islam tidak akan Allah ridhai. Allah Swt. pun dengan amat tegas menyampaikan bahwa Dia tidak akan menerima semua amal orang yang mencari agama selain Islam. Ditegaskan pula, di akhirat kelak mereka termasuk orang yang merugi (lihat QS Ali Imran [3]: 85).
Di sisi lain, Allah Swt. memerintahkan kepada setiap orang yang sudah memeluk Islam untuk tetap menjaga keislamannya hingga maut menjemputnya (lihat QS Ali Imran [3]: 102) sekaligus mengancam orang-orang yang murtad dari agamanya (Islam) dengan menghapus semua amal perbuatannya di dunia dan akhirat serta menyediakan siksa yang amat pedih, yaitu di neraka Jahanam (lihat QS al-Baqarah [2]: 217).
Itu semua menunjukkan dengan pasti bahwa Allah Swt. tidak memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya. Allah Swt. telah menetapkan Islam sebagai agama yang haq, memerintahkan semua manusia untuk memeluknya, dan akan menjatuhkan sanksi amat berat bagi orang-orang yang membangkang-Nya.
Dengan demikian, perkara yang dijelaskan ayat ini berkenaan dengan sikap yang harus dilakukan oleh kaum Muslim terhadap kaum kafir, bahwa kaum Muslim tidak boleh memaksa mereka masuk Islam. Tiadanya paksaan terhadap orang kafir itu sama sekali tidak mengubah ketentuan wajibnya masuk Islam bagi setiap orang.
Juga patut dicatat, tiadanya paksaan itu bukan disebabkan karena semua agama sama benarnya sehingga manusia diberi kebebasan memilih agama sesukanya, seperti anggapan kaum Liberal. Kalimat dalam ayat ini “qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy” memberikan penegasan, paksaan dalam memeluk Islam tidak diperlukan disebabkan karena kebenaran Islam amat jelas dan terang. Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk Islam karena telah jelas dan terang dalil-dalil serta bukti-bukti kebenarannya hingga tidak diperlukan lagi paksaan terhadap seseorang untuk masuk ke dalamnya.”19
Jelaslah, ayat ini tidak ada kaitannya dengan ide kebebasan beragama yang dipropagandakan Barat dan antek-anteknya. Waspadalah, jangan sampai kita tertipu olehnya! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 285.
- Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 135.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 19; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 143; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 190.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 3, 19; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 285; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 224; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 246.
- Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), 31. Qatadah dan Atha’ juga mengatakan bahwa orang Arab tidak diterima dari mereka kecuali Islam, lihat al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 180; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 3, 18-19.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 3, 19.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 275.
- Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 14; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, vol. 1, 190
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 3, 20; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 275.
- Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1, 135.
- Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1, 246
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 286.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 275.
- Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 344
- Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 7, 15.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 286; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 276.
- Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîll, vol. 1, 191.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 285. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 21.
0 comments: