Standar Aqidah
Islam adalah agama sempurna, sesuai di setiap tempat dan berlaku sepanjang masa.
Islam mengatur semua hal pada manusia, agar manusia hidup bahagia di dunia, juga di akhirat kelak
*

Standar Aqidah
src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZQ7wmXbWEHcdE2QTSmfJ9vo01y8Mlu3sTqLcsBXLGGUcU5NWRmgVrpTcoN0508TP9CxoVvs-5Mn_uSZpyK2xtu4O2yydcFRU-mSCANQ-Nh0vrtzMtymRn0PR57Ecj9HBRDeAM/s200/FB_IMG_1473510665728.jpg" width="200">
Kata “KAFIR”, Bukan Delik Pidana!.
(Analisis Yuridis UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis , Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian)
*

Kata “KAFIR”, Bukan Delik Pidana!
HAJAR TERUS, HTI!
Oleh: Happy Nur Widiamoko
Boby Febrik Sedianto, mahasiwa Universitas Indonesia, dalam waktu singkat membuat geger pengguna media sosial di Indonesia. Aktivis Gema Pembebasan itu muncul dalam video berkonten politik berdurasi 1 menit 37 detik.
Video lekas menjadi riuh. Diulas dimana-mana. Pesan yang hendak disampaikan Bobby sangat jelas, menentang pencalonan Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Dalih yang dipakai sangat gamblang, ‘Tolak Pemimpin Kafir’.
Berbarengan dengan video Bobby, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar aksi dengan tema serupa. Klaim nya 20.000 massa termobilisasi dalam aksi tersebut. Mungkin angka sesungguhnya ada dibawah itu. Patut diduga, mobilisasinya juga tak hanya datang dari kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Seperti biasa, apa yang dilakukan HTI cepat-cepat mendulang respon balik. Terutama oleh klas menengah di media sosial. Serangan-serangan politik ke HTI berhamburan. Berputar dalam pernyataan-pernyataan semacam ‘Anti Demokrasi, tapi memanfaatkan demokrasi’ atau ‘Anti NKRI dan Pancasila, tapi hidup di Indonesia.’
Itu adalah argumen-argumen yang terus didaur ulang. Membosankan sebenarnya untuk didengar. Agar tak membosankan, biasanya disertai dengan olok-olok, hujatan, sarkasme atau meme-meme yang tendensius. Begitu terus siklusnya. Diulang-ulang.
Apa yang dilakukan HTI dengan kampanye ’Anti Kafir’-nya adalah memobilisasi massa. Jumlah mobilisasinya tak bisa dibilang kecil. Sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata. Sementara apa yang dapat dijalankan oleh klas menengah penentangnya adalah menghardiknya di media sosial.
Jelas disini terlihat siapa yang lebih kuat, kongkrit dan terorganisir. Jelas siapa yang cuma bisa menye-menye dengan ujaran ngehek-nya, serta siapa yang benar-benar sanggup mewujudkan ujaran dalam organisasi dan pergerakan.
Ada jarak kapasitas yang membentang. Jarak yang membedakan mana tukang bacot kebocah-bocahan dan mana kelompok yang serius. Maka HTI jelas sekali terklasifikasi sebagai kelompok yang serius. HTI jelas wajahnya, tujuan dan cara untuk mengembangkan maksud-masudnya.
Tiga tahun silam, dalam ‘Muktamar Khilafah’ HTI bahkan sanggup memenuhi GBK. Sayap mahasiwa mereka, Gema Pembebasan, pun makin
hari makin mendapatkan tempat di kampus-kampus besar.
Boby Febrik Sedianto hanya salah satu contoh dari ribuan aktivisnya.
Keseriusan HTI juga bisa dilihat dalam keseharian pengorganisasian. Belasan tahun sudah, terbitan HTI secara ajeg beredar diantara jamaah sholat jumat. Patut diduga oplahnya terus meningkat. Ketelatenan dalam menarik pengikut juga terbilang luar biasa. Merujuk kesaksian, mereka siap ‘menempel’ hingga bertahun-tahun bahkan hanya untuk satu orang sasaran. Kalian sanggup?
Di media sosial, -dengan Felix Siauw sebagai pengecualian-, secara organisasinal HTI hanya mendulang ‘Like’ dan ‘Share’ ratusan, jarang menembus ribuan. Tapi mereka sanggup menumpahkan ribuan hingga puluhan ribu orang di jalan jika sedang meniatkan agenda politiknya. Mulai terlihat jelas perbedaannya bukan?
Sebaliknya, klas menengah penentangnya adalah Si Mulut Besar. Sejenis generasi milenial yang mabuk ‘Like’ dan ‘Share’. Menenggak popularitas semu dari cawan kebebasan abal-abal. Klas menengah ini dikenal sebagai komplotan perisak. Bangga dan berpuas diri dengan celometannya. Jadi seleb-seleb fana dunia maya yang sesungguhnya impoten secara politik.
Sebagian lainnya adalah intelektual-intelektual adiluhung. Yang dari balik meja mengandaikan dunia ada dalam genggaman. Cukup dengan menulis ini itu dan memamerkan seberapa banyak aneka seminar telah mereka arungi. Seberapa ramai funding membiayai programnya. Sama dengan generasi milineal, mereka mandul secara politik.
Kedua spesies klas menengah ini pantas disebut pengecut. Sangat pengecut bahkan. Sebagian mereka kerap secara lantang atau malu-malu mengujarkan harapan, agar negara menindak tegas HTI. Mereka takut HTI makin membesar, tapi malas berbuat lebih, kecuali hanya membacot tak berkesudahan.
Tak ada usaha lebih. Nyaman dengan kesehariannya di sudut cafe, di balik gawai atau kongkow-kongkow bersama delegasi lembaga donor. Pemalas yang banyak omong dan cengengesan ini, bagaimana mungkin menandingi organisasi serius macam HTI. Pengecut yang menyedihkan, jelas bukan siapa-siapa dibanding kader-kader yang ditempa kesukaran dan diuji ketabahan di lapangan.
Ekspresi kepengecutan karena tak mampu vis a vis dengan HTI kemudian membanjir dalam hujatan ke media sosial. Ekspresi yang miskin daya pukul. Seolah-olah berani, tapi ciut nyali. Sekedar berani membusa di balik nikmatnya keyboard dan layar ponsel. Disana, mereka telah merasa menang atau perkasa. Menggekikan bukan?
Ada pertanyaan mudah, kalian membenci HTI? Muak dengan kampanye ‘Kafir’ atau ‘Anti Demokrasi’-nya? Dengarkan! Kebencian kalian tak akan membantu dan berguna sama sekali, sampai kalian mampu mengorganisasikan kekuatan sepadan atau melampaui mereka. Tapi rasanya kalian memang cukup puas ditakdirkan menjadi zombie-zombie internet belaka!
Maka, hajar terus, HTI ! Jangan beri mereka ampun!
*) Pekerja leasing. Bermukim di Kalasan.
*

HAJAR TERUS, HTI!
💎 Al-Imam 'Abdul Qadir al-Jaylani -rahimahullah- Mengoreksi Penguasa Secara Terang-Terangan dan Terbuka di Atas Mimbar Masjid 💎
Al-Imam 'Abdul Qadir al-Jaylani -rahimahullah- mengoreksi kebijakan penguasa (Khalifah) terang-terangan di atas mimbar Masjid. Yakni mengoreksi kebijakan Khalifah al-Muqtafi yang keliru karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang yang lalu berbuat kezhaliman-kezhaliman. Beliau lalu menasihati dan mengoreksi terang-terangan di atas mimbar di masjid ketika sang khalifah berada di dalamnya dalam perkataan dan
peringatan keras:
وليت على المسلمين أظلم الظالمين وما جوابك غدًا عند رب العالمين
"Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum muslimin yang paling zhalim di antara orang-orang yang zhalim, lantas apa jawaban engkau esok hari (di Akhirat) di sisi Rabb Alam Semesta ini?!"
Lalu Sang Khalifah memecat hakim tersebut.
Lihat: Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Al-'Âlim al-Kabîr wa al-Murabbiy al-Syahîr al-Syaikh ’Abd al-Qadir al-Jaylani, Kairo: Mu’assasat Iqra’, cet. I, 1428 H, hlm. 85.
Irfan Abu Naveed Al-Atsari
*

Al-Imam 'Abdul Qadir al-Jaylani -rahimahullah- Mengoreksi Penguasa Secara Terang-Terangan dan Terbuka di Atas Mimbar Masjid 💎
DIALOG KYAI DENGAN LIBERAL
Liberal : "Pak Kyai, anda ini sebenarnya gak pantes dakwah."
Kyai: "Oh yaa ???"
Liberal : "Karena anda sama sekali gak ngerti kaidah ushul fiqih."
Kyai : "Oh begitu ??"
Liberal : "Misalnya.. anda ini terlalu semangat menyuruh kami membuang demokrasi, padahal Khilafah yang anda kampanyekan masih belum ada."
Kyai : "Lha terus ???"
Liberal : "Ibarat pakaian, sebenarnya kami ini masih memakai baju butut berlubang-lubang... masa kami disuruh membuang pakaiannya? Telanjang dong.."
Kyai : "Oh."
Liberal : "Nah itu sangat bertentangan dengan kaidah ushul fiqih."
Kyai : "Yang mana ?"
Liberal : "Itu... yang "Maa laa yadroku kulluha laa yutroku kulluhu (Apa yang tidak bisa dilaksanakan semuanya jangan ditinggalkan semuanya}."
Kyai manggut-manggut sambil ngelus-ngelus janggotnya.
Kyai : "Antum pinter juga yah, sepertinya familiar dengan kaidah ushul fiqih."
Liberal : "Lho, gini-gini saya kan LC."
Kyai : "Oooh..., Boleh saya tanya mas ?"
Liberal : "Sialan, eeh.. maksudnya silahkan kyai.."
Kyai : "Menurut antum, orang Islam yang sudah shalat, puasa, zakat dll tapi belum melaksanakan hudud, jinayat... apakah mereka sudah pakai pakaian yang baik?'
Liberal : "Ya seperti itu tadi Kyai, ibaratnya mereka masih pakai baju butut."
Kyai : "Lha terus yang menurut antum.. kami "menyuruh telanjang" itu apakah antum menuduh kami menyuruh orang agar nggak shalat, nggal zakat dll... gitu?"
Liberal : "Ya nggak gitu kyai, tapi karena Kyai
menyuruh kami membuang demokrasi, itu yang saya anggap menyuruh orang telanjang."
Kyai : "Oooh... Jadi menurut antum, orang Islam shalat, zakat, haji, tapi karena gak memakai demokrasi, antum anggap mereka telanjang?"
Liberal : "Yah... nggak kyai." [sambil keringetan]
Kyai : "Antum bener lulusan LC ?"
Liberal : "Benar Kyai, LC Lulusan Cibinong."
Kyai : "Wha ha ha ha..."
Kyai : "Gini mas liberal, kaidah yang kamu sampaikan tadi bener. Sekarang ini, semuanya lagi pakai baju butut berlubang-lubang, dan saya mengajak untuk memakai baju yang bagus. Tapi sekarang sulit karena bajunya belum selesai dijahit, sehingga otomatis semuanya masih memakai baju butut bertambal-tambal."
Liberal : "Berarti demokrasi boleh Kyai ?"
Kyai : "Lha demokrasi itu kotoran yang harus dibuang. Jadi, kalau menambal baju butut, maka harus benar-benar kain tambalan yang benar-benar dari Islam. Syariat mana yang belum dikerjakan, maka segera dilaksanakan sebisanya. Shalat yang belum sempurna, disempurnakan dan ditambah dengan nafilah-nafilah. Itulah namanya tambalan."
Liberal : "Ooh gitu ya Kyai ?"
Kyai : "Huuum... Jadi, demokrasi dan kotoran-kotoran lain harus dibersihkan. Dibersihkan pake istighfar yang banyak, dan jangan ambil lagi... sambil kita menyelesaikan baju yang baru. Jadi, walaupun baju butut, tapi kalau bersih tanpa kotoran, itu lebih sedap dipandang... daripada udah butut, kumal, kusam, berdaki, eeh.. masih dikotor-kotori pake demokrasi."
Liberal : "Iya kyai... cukup... cukup... syukran. Mulai sekarang saya akan ikut membuang demokrasi."
*

DIALOG KYAI DENGAN LIBERAL
Bolehkah Menyembunyikan Tujuan Perjuangan?
Soal:
Bolehkah menyembunyikan perjuangan untuk menegakkan Khilafah dengan alasan strategi perjuangan?
Jawab:
Harus dibedakan antara gagasan (fikrah), metode (thariqah/manhaj) dan strategi (siyasah). Berbicara tentang gagasan (fikrah) dan
metode (thariqah/manhaj) merupakan pembahasan tentang dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan di dalam Islam. Sebab, Islam tidak mungkin akan eksis tanpa gagasan, konsep dan fikrah. Gagasan, konsep dan fikrah ini tidak akan eksis tanpa metode (thariqah/manhaj) yang bisa mewujudkannya di tengah-tengah kehidupan.
*

Bolehkah Menyembunyikan Tujuan Perjuangan?
CARA KAPITALISME MENGUASAI DUNIA
[Tulisan panjaaaaang dari Ustadz Dwi Condro Triyono, Ph.D ini nambah ilmu banget, baca pelan-pelan dan pahami yak, sayang kalo
kelewatan]
Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal).
*

CARA KAPITALISME MENGUASAI DUNIA
Khutbah Idul Fitri 1437 H
Takwa: Taat kepada Syariah secara Kaffah
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله اكبر 7×
اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْراً وَالْحَمْدَ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ هَذَ الْيَوْمِ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِمْ فِيْهِ الصِّياَمَ، وَنَزَّلَ الْقُرْآنَ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانَ خَيْرَ نِعَمٍ، اَحْمَدُهُ وَاشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ اِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ دَائِمٌ قَائِمٌ لاَ يَمُوْتُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ. وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرَ اْلأَناَمِ .
أُصَلِّيْ وَاُسَلِّمُ عَلَى الْقَائِدِ وَالْقُدْوَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ وَمَنْ جاَهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَقًّ جِهاَدِهِ اِلِى دَارِ السَّلاَمِ.
اَمَّا بَعْدُ، فَيَا اَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَقَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى وَتَمَسَّكَ بِاْلإِسْلاَمِ وَاْلكَافِرُوْنَ بِهِ هُمْ فِيْ نَارِ جَهَنَّمِ
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Hari ini umat Islam seluruh dunia bergembira merayakan har raya Idul Fithri. Dengan diiringi takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil, mereka berbondong-bondong untuk menunaikan shalat Id.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberikan kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan puasa Ramadhan. Kita berharap, puasa yang kita kerjakan diterima oleh Allah SWT sebagai amal shalih dan diganjar dengan pahala berlipat-lipat. Kita berharap, puasa yang kita kerjakan dapat menggugurkan dosa-dosa kita yang telah lalu sebagaimana diberitakan Rasulullah saw. Kita pun berharap, berpuasa sebulan penuh dapat mengantarkan kita menjadi kaum yang bertakwa sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
La’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Itulah hikmah yang akan diraih oleh orang-orang yang berpuasa menurut ayat ini. Umar bin Abdul Aziz rahimahulLâh, sebagaimana dikutip Imam as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsûr, berkata:
]لَيْسَ تَقْوَى اللَهِ بِصِيَامِ النَّهَارِ وَلاَ بِقِيَامِ اللّيْلِ والتَّخْلِيْطِ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ، وَلَكِنْ تَقْوَى اللَّهِ تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللَّهُ[
Takwa kepada Allah itu bukanlah berpuasa pada siang hari, shalat pada malam hari dan memadukan keduanya. Namun, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh dalam kitabnya, Zâd al-Muhâjir ilâ Rabihi, juga berkata, “Hakikat takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan mengharapkan ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang; lalu melakukan apa saja yang Allah SWT perintahkan karena mengimani perintah-Nya dan membenarkan janji-Nya, serta meninggalkan apa saja yang Allah larang karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Itulah takwa. Itulah yang diharapkan terwujud setelah menjalankan ibadah puasa, yakni kelahiran orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya. Mereka adalah orang-orang yang menaati syariah-Nya secara kâffah atas dasar keimanan.
Karena itu, orang yang bertakwa tidak akan berani minum khamr, misalnya, apalagi melegalkan khamr itu dalam kehidupan. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan khamr. Khamr adalah perbuatan najis, termasuk perbuatan setan dan wajib dijauhi. Khamr juga bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian serta menghalangi manusia dari mengingat Allah SWT dan shalat (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Bahkan Rasulullah saw. bersabda:
«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ»
Khamr adalah biang segala keburukan (HR ad-Daruquthni).
Untuk diketahui, di DPR sekarang sedang digodok RUU Minuman Keras atau Minuman Beralkohol. Ironisnya, arus besar yang berkembang di DPR hanya sebatas mengatur dan mengendalikan minol (minuman beralkohol) dan miras (minuman keras), bukan melarang dan memberantasnya. Jika mereka adalah orang-orang yang bertakwa, niscaya mereka tidak akan melegalkan khamr, apa pun alasannya.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa juga tidak akan berani memakan harta dari transaksi riba. Mereka juga tidak akan melegalkan riba, apalagi menjadikan riba sebagai urat nadi perekonomian dan menjadikan utang ribawi sebagai sumber pendapatan negara. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan riba dengan tegas. Pemakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang berdiri kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila; ia diancam untuk dijadikan sebagai penghuni neraka (lihat QS al-Baqarah [2]: 275). Jika mereka tetap tidak mau meninggalkan sisa riba, diumumkan kepada mereka perang dengan Allah SWT dan Rasul-Nya (lihat QS al-Baqarah [2]: 279).
Tentang dosa riba, Rasullah saw. bahkan bersabda:
«الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجلُ أُمَّهُ»
Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Untuk diketahui, total utang Pemerintah Indonesia pada Mei 2016 ini telah mencapai Rp 3.323 triliun. Semua utang tersebut adalah utang ribawi yang jelas-jelas haram. Jika para penguasa itu adalah orang-orang yang bertakwa, niscaya mereka tidak akan berutang dengan utang ribawi sebanyak itu. Apalagi sebagian besar utang ribawi itu didapat dari negara-negara kafir penjajah yang sudah terbukti menjerumuskan negara ini ke dalam cengkeraman penjajahan.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa juga tidak akan tertarik untuk memilih dan mengangkat orang kafir sebagai pemimpinnya. Apalagi ikut mengkampanyekan calon pemimpin kafir di mana-mana. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan umat Islam mengangkat orang kafir sebagai pemimpin mereka. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً﴾
Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS al-Nisa’ [4]: 141).
Berdasarkan ayat ini dan nas-nas lainnya, umat Islam haram mengangkat orang kafir sebagai pemimpin mereka. Tidak ada ikhtilaf di kalangan para ulama atas keharaman ini. Al-Qadhi ‘Iyadh, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim, berkata, “Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir.”
Ibnu Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’ juga berkata, ”Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada perempuan, orang kafir, anak kecil yang belum balig (dewasa) dan orang gila.”
Namun, sekarang muncul pernyaatan yang dilemparkan ke tengah-tengah umat, “Pemimpin kafir yang jujur dan adil adalah lebih baik daripada pemimpin Muslim yang tidak jujur dan tidak adil.”
Jelas, pernyataan seperti ini tidak mungkin keluar dari lisan orang yang bertakwa. Tentu, selain menyalahi al-Quran, as-Sunnah dan ijmak para ulama, pernyataan itu jelas merendahkan umat Islam. Seolah-olah tidak ada seorang pun dari umat Islam ini yang layak menjadi pemimpin lantaran tak ada seorang pun yang jujur dan adil sehingga mereka harus mengemis kepada orang kafir untuk menjadi pemimpin mereka.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa tidak akan mau menerima sistem demokrasi yang telah menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum yang ditetapkan lewat proses demokrasi pun tidak didasarkan pada halal dan haram, tetapi didasarkan pada suara terbanyak. Padahal dalam Islam, pemilik otoritas tunggal untuk membuat hukum hanyalah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ﴾
Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia (QS Yusuf [12]: 40).
Suara terbanyak jelas tidak boleh dijadikan sebagai penentu dalam ketetapan hukum. Sebab, suara terbanyak tidak selalu sejalan dengan kebenaran. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa jika kalian menuruti kebanyakan manusia yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan-Nya (lihat QS al-An’am [16]: 116).
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa pasti akan menolak liberalisme. Tentu karena liberalisme meniscayakan kebebasan dan menolak terikat dengan syariah. Liberalisme berlawanan dengan Islam yang justru mewajibkan manusia untuk terikat dengan semua hukumnya.
Orang yang bertakwa juga akan menolak sekularisme yang mereduksi Islam sebagai agama yang hanya mengatur urusan pribadi. Padahal Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Semua aturan Islam wajib diterapkan. Allah SWT berfiman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ﴾
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata (QS al-Baqarah [2]: 208).
Saat menjelaskan ayat ini, seorang ulama mufassir terkemuka, Abu al-Fida Ibnu Katsir rahimahulLâh, berkata, “Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin dan membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya selama mereka mampu mengerjakan semuanya.”
Ibnu Jarir al-Thabari rahimahulLâh juga menerangkan ayat ini dengan ungkapan, “Wahai kaum Mukmin, amalkanlah syariah Islam secara keseluruhan, dan masuklah ke dalam Islam dengan membenarkan Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Tinggalkanlah upaya mengikuti jalan-jalan setan dan jejak langkahnya karena permusuhan setan kepada kalian adalah nyata. Jalan setan yang dilarang untuk kalian ikuti adalah semua yang bertentangan dengan hukum dan syariah Islam.”
Karena itu, orang yang bertakwa pasti akan menginginkan syariah diterapkan secara kâffah dalam semua aspek kehidupan.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa juga tidak akan menolak Khilafah, apalagi menentang dan menjadi penghalangnya. Tentu karena Khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan. Tidak ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini. Imam al-Qurthubi rahimahulLâh dalam kita tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat maupun para imam tentang kewajiban mengangkat khalifah, kecuali al-‘Asham. Dinamakan al-Asham (orang yang tuli) karena dia tuli dari syariah. Demikian pula orang yang sependapat dengan dia serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.”
Selain itu, penerapan syariah secara kâffah membutuhkan keberadaan Khilafah. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama mu’tabar, Khilafah adalah institusi pelaksana syariah. Imam Abu Zakari an-Nawawi rahimahulLâh dalam Rawdhah at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, berkata:
]لاَ بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا[
Umat harus memiliki seorang imam (khalifah) yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hak itu pada tempatnya.
Tanpa Khilafah, niscaya banyak sekali hukum syariah yang terabaikan dan tidak diterapkan dalam kehidupan, sebagaimana saat ini. Karena itu, orang bertakwa akan merindukan dan mendambakan Khilafah, bahkan turut berjuang untuk mengembalikan tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa juga tidak akan menganggap syariah dan khilafah sebagai ancaman. Tentu karena syariah dan khilafah adalah risalah dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw. Penerapan syariah dan penegakkan khilafah akan mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad] kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlâh, ayat ini menjelaskan bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Konsekuensinya, risalah ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-mashalih) mereka dan mencegah kemafsadatan (dar’u al-mafasid) dari mereka.
Khilafah juga akan menjadi junnah (perisai) yang melindungi umat Islam. Tidak seperti sekarang, umat Islam benar-benar seperti anak yatim tanpa pelindung. Agama mereka dilecehkan. Darah mereka ditumpahkan. Harta kekayaan mereka pun dijarah oleh musuh-musuh mereka. Semua itu menimpa mereka tanpa ada yang melindungi. Lihatlah saudara-saudara kita di Suriah yang setiap hari dibombardir oleh rezim kafir Basyar Asad dan negara-negara kafir penjajah. Demikian pula saudara-saudara kita di Palestina dan Rohingnya. Nasib serupa juga dialami oleh kaum Muslim di Afrika Tengah, Irak, Uzbekistan, dan lain-lain. Semua itu terjadi ketika umat Islam hidup tanpa Khilafah sebagai pelindung mereka.
Khilafah juga akan menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Tidak seperti sekarang, umat Islam terpecah-pisah menjadi lebih dari 50 negara yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Akibatnya, begitu mudah musuh-musuh Islam menghancurkan Islam dan umatnya.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Pada akhir khutbah ini, kami ingin mangajak seluruh kaum Muslim untuk berjuang menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan tegaknya Khilafah, ketaatan pada syariah secara kâffah dapat diwujudkan.
Sungguh, kembalinya Khilafah merupakan janji Allah SWT dan berita gembira dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad).
Semoga janji Allah SWT dan berita gembira Rasulullah saw. berupa tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu akan segera tiba. Semoga kita diberi kekuatan, kesabaran, keikhlasan dan keistiqamahan dalam berjuang menolong agama-Nya.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَا إِلَى اللهِ بِدَعْوَةِ اْلإِسْلاَمِ وَمَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحسْاَنٍ اِلى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَللّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا، أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا
أَللّهُمَّ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِاْلأِيْماَنِ كاَمِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلدَّعْوَةِ حَامِلِيْنَ وَبِاْلإِسْلاَمِ مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ وَلِلنِّعاَمِ شاَكِرِيْنَ وَعَلَى اْلبَلاَءِ صاَبِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلاَدَنَا هَذَا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ سَخَاءً رَخاَءً، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِناَ سُوْأً فَاَشْغِلْهُ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ كَادَنَا فَكِدْهُ وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُ تَدْبِيْرَهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِيْ ضَمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفَظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.
اَللَّهُمَّ اَعِزِّ الإسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَنَا وَأَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اَللَّهُمَّ دَمِّرْ جُيُوْشَ الْكُفَّارِ الْمُسْتَعْمِرِيْنَ أَمْرِيْكَا وَاَصْحَابَهُ الْمُلْعُوْنِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ بِقُوَّتِكَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ يَا مُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِيَ الْحِساَبِ وَمُهْجِمَ اْلأَحْزَابِ، اِهْجِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ والَصَلِّيْبِيِّيْنَ الظَّالِمِيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَالرَّأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَ اْلإِشْتِرَاكَيِّيْنَ وَالشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ
وَنَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ تَحْرِيْرَ بِلاَدِ فَلِصْطِيْنِ وَاْلأَقْصَى، وَالْعِرَاقِ، وَ الشَّيْشَانَ، وَ اَفْغَانِسْتَانَ، وَ سَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نُفُوْذِ الْكُفَّارِ الْغَاصِبِيْنَ وَ الْمُسْتَعْمِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي فَلِسْطِيْنَ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي كَشْمِيْرَ،
اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الْهِنْدِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الشَيْشَانِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الصِّيْنِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي فِيْلِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي إِنْدُوْنِيْسِيَّا، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي سَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلَّذِيْنَ يُقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ وَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيَصُوْمُوْنَ صَوْمَ رَمَضَانَ، وَيَحُجُّوْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ وَيُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ بِأَمْوَالِنَا وَأَنْفُسِنَا وَيَحْمِلُوْنَ الدَّعْوَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ لاِسْتِئْنَافِ الْحَيَاةِ الإِسْلاَمِيَّة.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لَنَا دَوْلَةً إِسَلاَمِيَّةً خِلاَفَةً رَاشِدَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، اَلَّتِي تُطَّبِّقُ شَرِيْعَتَكَ الْعُظْمَى وَتَحْمِي دِيْنَكَ وَالأُمَّةَ، بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَيا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ الْحَمْدُ.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
*

Khutbah Idul Fitri 1437 H Takwa: Taat kepada Syariah secara Kaffah
|
PEJUANG KHILAFAH WAJIB BERDIRI DI TENGAH
Oleh : Prof. Fahmi Amhar
Pejuang khilafah itu memang wajib berdiri tengah,
Musuhnya yang sebenarnya itu adalah kafir penjajah,
Tetapi apakah kalian pernah membaca sejarah?
Penjajah hanya menang ketika kita terpecah belah.
Maka hati-hatilah wahai kawan, jangan mudah hilang arah.
Dari kanan, kadang ada orang yang mudah mencap bid'ah.
Dari kiri, ada yang menuduh kita ahistoris alias lupa sejarah.
Dari belakang, ada yang mendorong agar kita ikut menyerah.
Mereka menuduh kita ini ahli bid'ah dalam amal dan aqidah.
Kata mereka, tak pernah Rasul mendakwahkan khilafah.
Tak pernah pula Rasul berdemonstrasi untuk tausiyah.
Apalagi menggunakan akal untuk soal-soal akidah.
Tetapi kalau kita ingin menjelaskan pikiran kita dengan ramah,
Mereka menolak dengan sangat marah,
karena katanya duduk dengan ahli bid'ah, itu haram jaddah.
Mereka menuduh kita ini ahistoris alias lupa sejarah.
Sejarah khilafah adalah sejarah
kelam yang berdarah-darah.
Dan Rasulullah itu katanya tak lebih dari seorang lurah.
Aneh, padahal Nabi mengangkat panglima dan gubernur kepala daerah.
Juga mengirim duta-duta besar ke para raja di seluruh wilayah.
Tetapi ketika argumentasi intelektual mereka kalah,
Mereka lalu meminjam tangan penguasa dengan berbagai fitnah.
Mereka ingin agar pada permainan demokrasi kita menyerah.
Katanya, kalau tak suka demokrasi, dari negeri ini sana enyah!
Katanya pula, kita ini orang-orang yang tidak istiqomah.
Anti demokrasi, tapi koq menikmatinya dengan renyah.
Terbukti datang ke DPR, ketika ada RUU yang bikin resah.
Atau jadi Pegawai Negeri Sipil tanpa merasa bersalah.
Ya itulah, cara berpikir mereka yang kelewat "nggladrah".
Tapi itulah wahai kawan, dinamika para pelaku sejarah.
Mereka harus siap menghadapi hidup yang sungguh tidak mudah.
Tetapi mereka sungguh beriman kepada Nabi, mesti tak bertemu wajah.
Karena istirahat dan kenikmatan yang sesungguhnya itu nanti di Al-Jannah.
*

PEJUANG KHILAFAH WAJIB BERDIRI DI TENGAH
|
*```BUKLET Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam```*
_“Umat tanpa Khilafah seperti badan tanpa kepala”_ *(Habib Zaky al Haddad, Bogor)*
_“Kita sudah lama berusaha mengatasi problem umat namun sampai saat ini tak kunjung selesai. Sudah saatnya kita mengambil Islam sebagai solusinya secara total”_ *(Chairi Inayah, Wanita Sarikat Islam Indonesia)*
_“Hanya Syariah Islam dalam bingkai Khilafah yang dapat menyelesaikan segala persoalan ini”_ *(KH. Mukhlis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kec. Bogor Utara)*
_“Sebagai bagian dari umat Islam, kita sangat merindukan diterapkannya Syariat Islam dan Khilafah. Oleh karena itu, sistem Islam ini harus selalu
dibahas dan disosialisasikan di tengah umat!”_ *(Habib Ali Qubtin, Penasihat Ponpes Darul Abror Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah)*
_“Ulama harus menjadi pemimpin umat dalam perjuangan penegakan Syariah dan Khilafah”_ *(KH. Jaja, ulama sepuh Bogor)*
_“Tidak akan ada kekuatan memang kecuali kita harus bersatu, karena itu kita harus satu visi untuk tegaknya Syariah dan Khilafah”_ *(Kiai Opik, Cihaur, Majalengka)*
Langsung unduh buklet (plus gambar sampul) di: http://bit.ly/1Vscqja
atau unduh di:
http://www.mediafire.com/download/5r72p780sv4oobh/BUKLET_Sistem_Negara_Khilafah_Dalam_Syariah_Islam_plus_cover.docx
Semoga bermanfaat
Barakallahu lana
*

BUKLET Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam
Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ «لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ». قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ «مَا لِنَخْلِكُمْ». قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ «أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
Dari Anas ra. dituturkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan
penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).
*

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”
src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYDHx0F0hil8j2skgQnksSScYWO4QhScayrmNU8mKB_hAO3HYPa9J4OqHynD5oWX8spxLWbdoor1uZWrMhnvjwqhnKg4uGfUh33DnxR4bD6F3Cx-l9IGmeHzh3ItT1T4Tit3wJ/s320/FB_IMG_1466314481999.jpg" width="320">
DEMOKRASI LA RAIBA FIH
Oleh: Arief B. Iskandar
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil maka yang harus disalahkan adalah Ustadz. Sebab, kalau tidak, itu namanya diktator mayoritas. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Namun, kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya…
*

DEMOKRASI LA RAIBA FIH