DEMOKRASI LA RAIBA FIH
Oleh: Arief B. Iskandar
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil maka yang harus disalahkan adalah Ustadz. Sebab, kalau tidak, itu namanya diktator mayoritas. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Namun, kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya…
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti-demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus-menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam…
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad saw., melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka dari itu, kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap al-Quran, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia…
Paragraf di atas sengaja saya nukil dari sebuah kolom kecil seorang budayawan terkenal di Tanah Air, Emha Ainun Nadjib, berjudul “Demokrasi La Roiba Fih”. Lewat sindirannya yang tajam, ia seolah mengungkapkan secara sarkastis kegeramannya terhadap praktik demokrasi yang sering bersikap tidak adil terhadap Islam dan kaum Muslim.
Di sisi lain, kita juga sering menyaksikan ketidakadilan terhadap Islam dan kaum Muslim atas nama HAM yang tercermin dalam beberapa contoh kasus berikut:
Jika ada sekelompok umat Islam mengobrak-abrik tempat-tempat mesum, mereka akan dianggap bertindak semena-mena dan melanggar HAM. Mereka layak dihukum. Sebaliknya, para pelacur dan lelaki hidung belang yang biasa mangkal di tempat-tempat maksiat itu tak tersentuh. Mereka dianggap tidak melanggar HAM. Yang wanita dibiarkan karena sekadar sedang mencari penghidupan. Mereka dipandang sedang bekerja hanya karena mereka diberi status sebagai “pekerja” seks komersial. Yang laki-laki pun tak diapa-apakan karena sekadar sedang mencari hiburan. Apalagi mereka telah membayar uang sekian kepada pengelola pelacuran, yang kebetulan dipajaki oleh Pemda setempat sebagai salah satu sumber pendapatan.
Ketika umat Islam menghujat kelompok sesat seperti Ahmadiyah atau al-Qiyadah al-Islamiyah, kaum liberal ribut sembari menuduh umat Islam tidak dewasa, tidak menghormati kebebasan dan melanggar HAM. Bahkan fatwa “sesat” MUI yang dinisbatkan kepada kelompok sesat itu mereka pandang sesat. Sebaliknya, ketika ada sekelompok umat Islam menyuarakan aspirasinya tentang perlunya Indonesia menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah, atas nama kebebasan dan HAM pula kaum liberal mencap mereka sebagai musuh kebebasan, dan syariah yang diusungnya berpotensi melanggar HAM dan mengancam keragaman.
Demikianlah, atas nama HAM pelaku asusila dibela, sementara pelaku amar makruf nahi mungkar dicerca; para penoda kesucian agama Islam dibiarkan, sementara MUI yang berniat melindungi kehormatan Islam disalahkan.
Atas nama HAM, pelaku perselingkuhan (perzinaan) dipandang wajar, sementara pelaku poligami dianggap kurang ajar; para para penolak pornografi-pornoaksi dicaci-maki, sementara para pelakunya dipandang pekerja seni.
Atas nama HAM pula, para pejuang syariah dituduh memecah-belah, sementara para pengusung sekularisme dan liberalisme dianggap membawa berkah.
Itulah secuil gambaran tentang betapa bobroknya demokrasi dan HAM.
Tak ada demokrasi meskipun itu mayoritas, asal yang mayoritasnya adalah Islam. Tak ada HAM walaupun terjadi pelanggaran hak asasi, asal pelanggaran hak asasi itu menimpa umat Islam.
Di samping jelas-jelas bobrok, demokrasi dan HAM juga nyata-nyata tidak jelas juntrungannya.
Dalam demokrasi, katanya rakyat yang berdaulat. Faktanya, yang sangat adikuasa adalah para pemodal kuat. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku, Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres dalam pemerintahan Amerika Serikat.
Adapun Hedrick Smith, lewat bukunya, The Powergame (1986), menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika yang “demokratis” adalah: (1) uang; (2) duit; dan (3) fulus.
Dengan begitu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can afford it (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayarnya).”
Dalam tataran praktiknya, demokrasi juga menghasilkan sejumlah kerumitan.
Sejak berdirinya pada tahun 1776, Amerika Serikat—sebagai kampiun demokrasi di dunia—memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberikan hak pilih kepada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang “melindungi” seluruh warganegara (Strobe Talbott, 1997).
Bahkan setelah ratusan tahun hingga hari ini, demokrasi Amerika belum juga “rela” memberikan kursi kepresidenan kepada seorang wanita. Padahal demokrasi—katanya—menjunjung tinggi kesetaraan dan memberikan hak politik yang sama kepada laki-laki maupun perempuan.
Anehnya, dengan perjalanan masa lalu yang demikian kelabu serta masa kini yang penuh dengan ironi dan kontradiksi, Amerika dengan pongahnya memberikan kuliah tentang demokrasi—juga HAM—kepada negara-negara berkembang yang mayoritasnya negeri-negeri Islam. Lebih aneh lagi adalah para pemuja demokrasi dan HAM dari kalangan Muslim, yang tetap buta terhadap kebobrokan demokrasi serta menutup mata terhadap kebejatan negara adikuasa AS sebagai pengusung utamanya.
Benarlah Sir Winston Churchill (PM Inggris pada masa PD-II) yang pernah mengatakan, “Demokrasi bukanlah sistem yang baik; dia menyimpan kesalahan dalam dirinya (built-in-error).”
Wamâ tawfîqi illâ billâh. []
*
Oleh: Arief B. Iskandar
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil maka yang harus disalahkan adalah Ustadz. Sebab, kalau tidak, itu namanya diktator mayoritas. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Namun, kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya…
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti-demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus-menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam…
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad saw., melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka dari itu, kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap al-Quran, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia…
Paragraf di atas sengaja saya nukil dari sebuah kolom kecil seorang budayawan terkenal di Tanah Air, Emha Ainun Nadjib, berjudul “Demokrasi La Roiba Fih”. Lewat sindirannya yang tajam, ia seolah mengungkapkan secara sarkastis kegeramannya terhadap praktik demokrasi yang sering bersikap tidak adil terhadap Islam dan kaum Muslim.
Di sisi lain, kita juga sering menyaksikan ketidakadilan terhadap Islam dan kaum Muslim atas nama HAM yang tercermin dalam beberapa contoh kasus berikut:
Jika ada sekelompok umat Islam mengobrak-abrik tempat-tempat mesum, mereka akan dianggap bertindak semena-mena dan melanggar HAM. Mereka layak dihukum. Sebaliknya, para pelacur dan lelaki hidung belang yang biasa mangkal di tempat-tempat maksiat itu tak tersentuh. Mereka dianggap tidak melanggar HAM. Yang wanita dibiarkan karena sekadar sedang mencari penghidupan. Mereka dipandang sedang bekerja hanya karena mereka diberi status sebagai “pekerja” seks komersial. Yang laki-laki pun tak diapa-apakan karena sekadar sedang mencari hiburan. Apalagi mereka telah membayar uang sekian kepada pengelola pelacuran, yang kebetulan dipajaki oleh Pemda setempat sebagai salah satu sumber pendapatan.
Ketika umat Islam menghujat kelompok sesat seperti Ahmadiyah atau al-Qiyadah al-Islamiyah, kaum liberal ribut sembari menuduh umat Islam tidak dewasa, tidak menghormati kebebasan dan melanggar HAM. Bahkan fatwa “sesat” MUI yang dinisbatkan kepada kelompok sesat itu mereka pandang sesat. Sebaliknya, ketika ada sekelompok umat Islam menyuarakan aspirasinya tentang perlunya Indonesia menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah, atas nama kebebasan dan HAM pula kaum liberal mencap mereka sebagai musuh kebebasan, dan syariah yang diusungnya berpotensi melanggar HAM dan mengancam keragaman.
Demikianlah, atas nama HAM pelaku asusila dibela, sementara pelaku amar makruf nahi mungkar dicerca; para penoda kesucian agama Islam dibiarkan, sementara MUI yang berniat melindungi kehormatan Islam disalahkan.
Atas nama HAM, pelaku perselingkuhan (perzinaan) dipandang wajar, sementara pelaku poligami dianggap kurang ajar; para para penolak pornografi-pornoaksi dicaci-maki, sementara para pelakunya dipandang pekerja seni.
Atas nama HAM pula, para pejuang syariah dituduh memecah-belah, sementara para pengusung sekularisme dan liberalisme dianggap membawa berkah.
Itulah secuil gambaran tentang betapa bobroknya demokrasi dan HAM.
Tak ada demokrasi meskipun itu mayoritas, asal yang mayoritasnya adalah Islam. Tak ada HAM walaupun terjadi pelanggaran hak asasi, asal pelanggaran hak asasi itu menimpa umat Islam.
Di samping jelas-jelas bobrok, demokrasi dan HAM juga nyata-nyata tidak jelas juntrungannya.
Dalam demokrasi, katanya rakyat yang berdaulat. Faktanya, yang sangat adikuasa adalah para pemodal kuat. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku, Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres dalam pemerintahan Amerika Serikat.
Adapun Hedrick Smith, lewat bukunya, The Powergame (1986), menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika yang “demokratis” adalah: (1) uang; (2) duit; dan (3) fulus.
Dengan begitu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can afford it (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayarnya).”
Dalam tataran praktiknya, demokrasi juga menghasilkan sejumlah kerumitan.
Sejak berdirinya pada tahun 1776, Amerika Serikat—sebagai kampiun demokrasi di dunia—memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberikan hak pilih kepada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang “melindungi” seluruh warganegara (Strobe Talbott, 1997).
Bahkan setelah ratusan tahun hingga hari ini, demokrasi Amerika belum juga “rela” memberikan kursi kepresidenan kepada seorang wanita. Padahal demokrasi—katanya—menjunjung tinggi kesetaraan dan memberikan hak politik yang sama kepada laki-laki maupun perempuan.
Anehnya, dengan perjalanan masa lalu yang demikian kelabu serta masa kini yang penuh dengan ironi dan kontradiksi, Amerika dengan pongahnya memberikan kuliah tentang demokrasi—juga HAM—kepada negara-negara berkembang yang mayoritasnya negeri-negeri Islam. Lebih aneh lagi adalah para pemuja demokrasi dan HAM dari kalangan Muslim, yang tetap buta terhadap kebobrokan demokrasi serta menutup mata terhadap kebejatan negara adikuasa AS sebagai pengusung utamanya.
Benarlah Sir Winston Churchill (PM Inggris pada masa PD-II) yang pernah mengatakan, “Demokrasi bukanlah sistem yang baik; dia menyimpan kesalahan dalam dirinya (built-in-error).”
Wamâ tawfîqi illâ billâh. []
0 comments: