Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ «لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ». قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ «مَا لِنَخْلِكُمْ». قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ «أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
Dari Anas ra. dituturkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).
Hadis ini digunakan oleh sebagian orang sebagai dalil untuk menolak penerapan syariah secara formal untuk mengatur tata kidupan masyarakat. Mereka beralasan, dalam hadis ini Rasul saw. menyatakan bahwa kita lebih tahu tentang urusan dunia kita. Menurut mereka, itu artinya bagaimana dunia ini diatur terserah kepada kita karena kita lebih tahu tentang urusan dunia kita. Benarkah demikian?
Makna Sebenarnya
Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim sebagai hadis ketiga pada bab “Wujûb Imtitsâl Mâ Qâlahu Syar’an dûna Mâ Dzakarahu min Ma’âyisyi ad-Dunyâ ‘alâ Sabîli ar-Ra’yi”. Dua hadis di atasnya yang juga menceritakan masalah yang sama justru menegaskan kewajiban kita untuk mengambil dan menjalankan semua hukum syariah yang beliau bawa. Pertama: Hadis dari penuturan Musa bin Thalhah dari bapaknya yang berkata:
مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ « مَا يَصْنَعُ هَؤُلاَءِ ». فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِى الأُنْثَى فَيَلْقَحُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « مَا أَظُنُّ يُغْنِى ذَلِكَ شَيْئًا ». قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِذَلِكَ فَقَالَ « إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّى إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلاَ تُؤَاخِذُونِى بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنِ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّى لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ».
Aku pernah bersama Rasulullah saw. melewati satu kaum yang sedang ada di atas pohon kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang mereka lakukan?” Mereka berkata, “Mereka sedang melakukan penyerbukan kurma (yakni) menjadikan bunga jantan di atas bunga betina sehingga terserbuki.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Saya duga itu tidak berguna sedikit pun.” Thalhah berkata: Lalu mereka diberitahu hal itu. Kemudian mereka meninggalkan (penyerbukan itu). Selanjutnya Rasulullah saw. diberitahu hal itu. Lalu beliau bersaba, “Jika hal itu berguna bagi mereka maka hendaklah mereka lakukan, sebab aku tidak lain hanya menduga. Jadi jangan kalian menyalahkan aku karena dugaan itu. Namun, jika aku berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah maka ambillah karena aku tidak akan pernah mendustai Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Muslim).
Kedua: Hadis dari penuturan Rafi’ bin Khadij yang berkata:
قَدِمَ نَبِىُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ «مَا تَصْنَعُون ». قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ «لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا». فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ – قَالَ – فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ «إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ»
NabiyulLah saw. datang ke Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” Mereka berkata, “Kami sedang melakukan penyerbukan kurma.” Beliau bersabda, “Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik.” Lalu mereka meninggalkan aktivitas penyerbukan itu. Kemudian ternyata pohon kurma itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Rafi’ bin Khadij berkata: Lalu mereka mengabarkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu) maka aku hanyalah seorang manusia.” (HR Muslim).
Kedua hadis ini menjelaskan hadis di atas. Kedua hadis ini dengan jelas memasukkan masalah penyerbukan kurma itu bagian dari perkara dunia. Dalam hal perkara sejenis inilah, sabda Rasul, “Antum a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian),” berlaku.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Shahîh Muslim: Para ulama berkata, “Sabda Rasul saw. min ra’y[in] (berupa pendapat) artinya dalam perkara dunia dan ma’âyisy (mata pencaharian/penghidupan), bukan sebagai tasyri’. Adapun apa yang beliau sabdakan dengan ijtihad beliau dan yang beliau pandang sebagai syariah itu wajib diamalkan. Penyerbukan bukanlah termasuk dari jenis ini, tetapi termasuk jenis yang disebutkan sebelumnya.”
Meski ungkapan sabda Rasul saw. “antum a’lamu bi amri dunyakum” itu bersifat umum, sesuai ketentuan ushul, ungkapan umum itu jika datang sebagai komentar atau jawaban atas sutau pertanyaan atau situasi, maka ia bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu. Narasi hadis-hadis tersebut jelas mengenai penyerbukan kurma. Jadi, sabda Rasul saw. “antum a’lamu bi amri dunyakum” itu berlaku untuk perkara-perkara semacam penyerbukan kurma, dan itulah yang disebut dengan “amru dunya (perkara dunia)”.
Islam tidak datang mengatur amru dunya, yakni masalah teknis dan semacamnya itu secara detil. Islam hanya mengatur perkara itu melalui hukum-hukum umum. Detil teknis dan perkara eksperimental itu bisa dipilih sesuai hasil eksperimen, pengalaman, menurut situasi dan keadaan (seperti pola irigasi, rotasi tanaman, teknis produksi, cara manufaktur, dsb) selama dalam batas-batas koridor hukum-hukum syariah.
Adapun dalam perkara-perkara agama, termasuk di dalamnya perkara tasyri’, wajib hanya mengambil dan menerapkan apa yang dibawa oleh Rasul saw., yaitu syariah Islam saja.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman (Yoyok Rudianto)]
*
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ «لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ». قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ «مَا لِنَخْلِكُمْ». قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ «أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
Dari Anas ra. dituturkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).
Hadis ini digunakan oleh sebagian orang sebagai dalil untuk menolak penerapan syariah secara formal untuk mengatur tata kidupan masyarakat. Mereka beralasan, dalam hadis ini Rasul saw. menyatakan bahwa kita lebih tahu tentang urusan dunia kita. Menurut mereka, itu artinya bagaimana dunia ini diatur terserah kepada kita karena kita lebih tahu tentang urusan dunia kita. Benarkah demikian?
Makna Sebenarnya
Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim sebagai hadis ketiga pada bab “Wujûb Imtitsâl Mâ Qâlahu Syar’an dûna Mâ Dzakarahu min Ma’âyisyi ad-Dunyâ ‘alâ Sabîli ar-Ra’yi”. Dua hadis di atasnya yang juga menceritakan masalah yang sama justru menegaskan kewajiban kita untuk mengambil dan menjalankan semua hukum syariah yang beliau bawa. Pertama: Hadis dari penuturan Musa bin Thalhah dari bapaknya yang berkata:
مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ « مَا يَصْنَعُ هَؤُلاَءِ ». فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِى الأُنْثَى فَيَلْقَحُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « مَا أَظُنُّ يُغْنِى ذَلِكَ شَيْئًا ». قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِذَلِكَ فَقَالَ « إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّى إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلاَ تُؤَاخِذُونِى بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنِ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّى لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ».
Aku pernah bersama Rasulullah saw. melewati satu kaum yang sedang ada di atas pohon kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang mereka lakukan?” Mereka berkata, “Mereka sedang melakukan penyerbukan kurma (yakni) menjadikan bunga jantan di atas bunga betina sehingga terserbuki.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Saya duga itu tidak berguna sedikit pun.” Thalhah berkata: Lalu mereka diberitahu hal itu. Kemudian mereka meninggalkan (penyerbukan itu). Selanjutnya Rasulullah saw. diberitahu hal itu. Lalu beliau bersaba, “Jika hal itu berguna bagi mereka maka hendaklah mereka lakukan, sebab aku tidak lain hanya menduga. Jadi jangan kalian menyalahkan aku karena dugaan itu. Namun, jika aku berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah maka ambillah karena aku tidak akan pernah mendustai Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Muslim).
Kedua: Hadis dari penuturan Rafi’ bin Khadij yang berkata:
قَدِمَ نَبِىُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ «مَا تَصْنَعُون ». قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ «لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا». فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ – قَالَ – فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ «إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ»
NabiyulLah saw. datang ke Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” Mereka berkata, “Kami sedang melakukan penyerbukan kurma.” Beliau bersabda, “Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik.” Lalu mereka meninggalkan aktivitas penyerbukan itu. Kemudian ternyata pohon kurma itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Rafi’ bin Khadij berkata: Lalu mereka mengabarkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu) maka aku hanyalah seorang manusia.” (HR Muslim).
Kedua hadis ini menjelaskan hadis di atas. Kedua hadis ini dengan jelas memasukkan masalah penyerbukan kurma itu bagian dari perkara dunia. Dalam hal perkara sejenis inilah, sabda Rasul, “Antum a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian),” berlaku.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Shahîh Muslim: Para ulama berkata, “Sabda Rasul saw. min ra’y[in] (berupa pendapat) artinya dalam perkara dunia dan ma’âyisy (mata pencaharian/penghidupan), bukan sebagai tasyri’. Adapun apa yang beliau sabdakan dengan ijtihad beliau dan yang beliau pandang sebagai syariah itu wajib diamalkan. Penyerbukan bukanlah termasuk dari jenis ini, tetapi termasuk jenis yang disebutkan sebelumnya.”
Meski ungkapan sabda Rasul saw. “antum a’lamu bi amri dunyakum” itu bersifat umum, sesuai ketentuan ushul, ungkapan umum itu jika datang sebagai komentar atau jawaban atas sutau pertanyaan atau situasi, maka ia bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu. Narasi hadis-hadis tersebut jelas mengenai penyerbukan kurma. Jadi, sabda Rasul saw. “antum a’lamu bi amri dunyakum” itu berlaku untuk perkara-perkara semacam penyerbukan kurma, dan itulah yang disebut dengan “amru dunya (perkara dunia)”.
Islam tidak datang mengatur amru dunya, yakni masalah teknis dan semacamnya itu secara detil. Islam hanya mengatur perkara itu melalui hukum-hukum umum. Detil teknis dan perkara eksperimental itu bisa dipilih sesuai hasil eksperimen, pengalaman, menurut situasi dan keadaan (seperti pola irigasi, rotasi tanaman, teknis produksi, cara manufaktur, dsb) selama dalam batas-batas koridor hukum-hukum syariah.
Adapun dalam perkara-perkara agama, termasuk di dalamnya perkara tasyri’, wajib hanya mengambil dan menerapkan apa yang dibawa oleh Rasul saw., yaitu syariah Islam saja.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman (Yoyok Rudianto)]
0 comments: