Bagaimana sikap anda jika
mendengar berita tentang seorang anak yang berzina dengan ibunya
sendiri? Tentu anda akan merasa sangat jijik, benci, prihatin dan marah.
Begitu juga dengan semua orang dalam masyarakat ini yang masih sehat
akalnya tentu akan memberikan respon yang serupa. Padahal kita saat ini
bukan hidup di masyarakat Islamiy, tetapi masyarakat sekuler yang
terbentuk dari penerapan hukum sekuler. Walaupun sudah jauhnya
masyarakat terhadap pemikiran Islam, tetapi kemaksiatan berupa kasus
perzinahan antara ibu dan anak ini masih jarang terjadi sehingga masih
dianggap sebagai hal yang tabu.
Disisi lain masyarakat saat ini malah sudah terbiasa dengan kemaksiatan lainnya yaitu melakukan transaksi ribawi yang sebenarnya tingkatan dosa terendahnya setara dengan dosa perzinahan antara ibu dan anak kandungnya sendiri.
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi )
Banyak alasan yang dilontarkan masyarakat sebagai pembenaran dilakukannya transaksi ribawi, misalnya dalam hal kepemilikan rumah, mulai dari alasan karena sulitnya memiliki rumah tanpa mengambil leasing di bank, sampai karena ingin punya rumah megah yang diidam-idamkan, walau sebenarnya punya dana yang cukup untuk membeli rumah yang sederhana. Begitu ringannya mereka memilih melakukan transaksi ribawi, padahal disisi lain mereka sangat jijik dengan peristiwa perzinahan antara ibu dan anaknya sendiri. Mungkin sudah saatnya kita mengganti kata-kata “si Fulan membeli rumah dengan cara leasing” dengan kata “si Fulan membeli rumah dengan cara menzinai ibunya sendiri” untuk merubah gambaran masyarakat tentang transaksi ribawi.
Pada kasusnya lainnya, seorang anggota parlemen (dewan) yang sedang mengunjungi sebuah daerah dengan menggunakan mobil dinas nan mewah dan diiringi oleh pengawalan polisi. Ketika pintu mobil terbuka, karpet merah dihamparkan dan rangkaian bunga segera dikalungkan sebagai penyambutan anggota dewan yang dianggap oleh masyarakat daerah tersebut sebagai orang yang terhormat. Tetapi bagaimana seandainya jika ketika pintu mobil tersebut terbuka dan anggota dewan tadi berkata, “perkenalkan, saya adalah anggota dewan, perkerjaan saya adalah menggantikan kedudukan Alloh SWT dalam hal menetapkan hukum”, apa kira-kira yang akan terjadi? Bisa jadi karpet merah yang sudah dihamparkan segera digulung kembali, dan bukannya kalung bunga yang diberikan, malah cacian atau bahkan lemparan batu dan kotoran hewan yang didapat. Gambaran tentang anggota parlemen sebagai orang yang terhormat tiba-tiba lenyap hanya karena penjelasan yang singkat tadi, padahal tanpa penjelasan tersebut, memang itulah fakta pekerjaan dari seorang anggota parlemen.
Penulis sengaja memberikan 2 contoh kasus di atas sebagai pengantar bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya tabu untuk masyarakat muslim, tetapi karena mereka hidup di sistem sekuler, hal-hal tabu tadi berangsur-angsur lenyap dan dianggap sebagai hal yang biasa saja. Kasus-kasus di atas juga sebagai pengantar pembahasan utama yang tak kalah mengerikan dibanding 2 contoh kasus diatas.
Bagaimana sikap anda jika mengetahui ada seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim tetapi malah membela konsep Trinitas? Atau bagaimana sikap anda jika mengetahui ada seorang aktivis partai Islam yang memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristen dengan alasan hanya sebagai wasilah/alat untuk mendapatkan simpati orang-orang Kristen agar bersedia memberikan suara/dukungan ke partainya?
Tentu anda akan kesal, marah, muak dan prihatin. Memang hal-hal tersebut belum pernah terjadi, tetapi ketahuilah bahwa hal-hal yang mirip dengan hal-hal tersebut tengah terjadi dan menjangkiti pemikiran umat Islam saat ini. Mari kita buktikan!
Apakah yang dimaksud dengan Trinitas? Trinitas berarti kesatuan dari tiga. Trinitas dalam Kristen adalah satu Zat Tuhan yang memiliki tiga fungsi/bentuk yakni Tuhan Allah (Bapa), Tuhan Anak (Yesus) dan Tuhan Roh Kudus.
Penulis tidak akan panjang lebar membahas tentang konsep Trinitas, karena umat Islam jelas telah menolak konsep ini karena bertentangan 180 derajat dengan aqidah Islam yang meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan diperanakkan.
Ketahuilah bahwa sebenarnya ada konsep dari sebuah ideologi/paham yang sangat mirip dengan konsep Trinitas, yakni Demokrasi, mengapa demikian? Demokrasi adalah sebuah ideologi sebagai derivatif (turunan) dari ideologi sekuler yang berlandaskan pada asas ”kedaulatan di tangan rakyat (manusia)”, artinya rakyat (manusia)-lah yang berhak menentukan hukum apa yang akan diterapkan di muka bumi ini. Manusia dalam hal ini mengambil fungsi sebagai Allah SWT yang sebenarnya berperan sebagai satu-satunya Zat yang berhak menentukan/membuat hukum untuk ciptaanNya.
”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am:57)
Jadi menurut Demokrasi, dalam setiap pribadi manusia memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai manusia dan fungsi Ketuhanan yang berhak menentukan hukum, bahkan jika hukum Allah (syariat Islam) tidak sesuai dengan kehendak (iradah) rakyat, maka hukum Allah tersebut bisa dibatalkan, sungguh mengerikan!
Menurut Demokrasi, dalam 1 pribadi memiliki 2 fungsi, maka Demokrasi bisa juga disebut dengan istilah Dwinitas, sangat mirip dengan Trinitas, hanya bedanya di dalam Dwinitas (Demokrasi) tidak terdapat fungsi Roh Kudus.
Lantas mengapa kebanyakan umat Islam saat ini memberikan sikap yang berbeda terhadap Trinitas dan Dwinitas? Jika kita sama-sama marah, benci, dan prihatin ketika ada seorang muslim yang malah membela konsep Trinitas, tetapi mengapa kita bersikap biasa saja bahkan mendukung ketika ada seorang muslim yang membela paham Dwinitas? Banyak yang masih belum mengerti tentang hakikat Demokrasi dengan asas Dwinitasnya, walau mereka mengaku sebagai aktivis partai Islam sekalipun. Mereka mengira bahwa Demokrasi hanyalah sebuah tatanan prosedural untuk memilih seorang pemimpin, padahal hakikat Demokrasi adalah asas/konsep Dwinitas, yang sama bathilnya dengan konsep Trinitas.
Sebagian dari mereka sebenarnya ada yang sudah mengerti akan kebathilan Demokrasi, tetapi mereka berdalih bahwa hanya menggunakan Demokrasi sebagai alat saja dan bukan untuk mengadopsinya. Tetapi bagaimana bisa di saat yang sama mereka menolak memanfaatkan momentum Natal sebagai alat untuk meraih dukungan dari umat Kristen? Bukankah keduanya sama-sama memanfatkan kebathilan?
Penulis adalah seorang mualaf yang ’lari’ dari orang-orang yang bergelar ”Ignatius”, ”Stefanus”, ataupun ”Floribertus”, yang kemudian memutuskan untuk memeluk Islam, tetapi kemudian kecewa, sedih, dan marah ketika harus menerima fakta bahwa banyak umat Islam yang bangga dengan gelar ”Demokratius”.
Ketika umat Islam sudah mampu melihat riba seperti ketika mereka melihat perzinahan antara seorang anak dan ibunya sediri, ketika umat Islam sudah mampu melihat anggota parlemen sebagai orang yang merampas hak Allah, dan ketika umat Islam sudah mampu melihat dan bersikap terhadap Dwinitas (Demokrasi) seperti layaknya mereka bersikap terhadap paham Trinitas, di saat itulah pertanda umat Islam mulai bangkit dikarenakan bangkitnya taraf berfikir mereka. Seperti apa yang terjadi pada revolusi Suriah, ketika AS menawarkan solusi demokrasi untuk menggulingkan rezim Assad, pihak Mujahidin sepakat untuk menolaknya, keinginan mereka tetap tak tergoyahkan, yaitu tegaknya Syariah & Khilafah. Allahu Akbar!
”Ya Allah tunjukkanlah yang haq itu haq, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya”.
Penulis:
Budi Kristyanto
Mualaf, mantan penganut Katholik
Perumnas Klender-Jakarta Timur
HP: 08561648432
sumber: eramuslim.com
*
Disisi lain masyarakat saat ini malah sudah terbiasa dengan kemaksiatan lainnya yaitu melakukan transaksi ribawi yang sebenarnya tingkatan dosa terendahnya setara dengan dosa perzinahan antara ibu dan anak kandungnya sendiri.
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi )
Banyak alasan yang dilontarkan masyarakat sebagai pembenaran dilakukannya transaksi ribawi, misalnya dalam hal kepemilikan rumah, mulai dari alasan karena sulitnya memiliki rumah tanpa mengambil leasing di bank, sampai karena ingin punya rumah megah yang diidam-idamkan, walau sebenarnya punya dana yang cukup untuk membeli rumah yang sederhana. Begitu ringannya mereka memilih melakukan transaksi ribawi, padahal disisi lain mereka sangat jijik dengan peristiwa perzinahan antara ibu dan anaknya sendiri. Mungkin sudah saatnya kita mengganti kata-kata “si Fulan membeli rumah dengan cara leasing” dengan kata “si Fulan membeli rumah dengan cara menzinai ibunya sendiri” untuk merubah gambaran masyarakat tentang transaksi ribawi.
Pada kasusnya lainnya, seorang anggota parlemen (dewan) yang sedang mengunjungi sebuah daerah dengan menggunakan mobil dinas nan mewah dan diiringi oleh pengawalan polisi. Ketika pintu mobil terbuka, karpet merah dihamparkan dan rangkaian bunga segera dikalungkan sebagai penyambutan anggota dewan yang dianggap oleh masyarakat daerah tersebut sebagai orang yang terhormat. Tetapi bagaimana seandainya jika ketika pintu mobil tersebut terbuka dan anggota dewan tadi berkata, “perkenalkan, saya adalah anggota dewan, perkerjaan saya adalah menggantikan kedudukan Alloh SWT dalam hal menetapkan hukum”, apa kira-kira yang akan terjadi? Bisa jadi karpet merah yang sudah dihamparkan segera digulung kembali, dan bukannya kalung bunga yang diberikan, malah cacian atau bahkan lemparan batu dan kotoran hewan yang didapat. Gambaran tentang anggota parlemen sebagai orang yang terhormat tiba-tiba lenyap hanya karena penjelasan yang singkat tadi, padahal tanpa penjelasan tersebut, memang itulah fakta pekerjaan dari seorang anggota parlemen.
Penulis sengaja memberikan 2 contoh kasus di atas sebagai pengantar bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya tabu untuk masyarakat muslim, tetapi karena mereka hidup di sistem sekuler, hal-hal tabu tadi berangsur-angsur lenyap dan dianggap sebagai hal yang biasa saja. Kasus-kasus di atas juga sebagai pengantar pembahasan utama yang tak kalah mengerikan dibanding 2 contoh kasus diatas.
Bagaimana sikap anda jika mengetahui ada seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim tetapi malah membela konsep Trinitas? Atau bagaimana sikap anda jika mengetahui ada seorang aktivis partai Islam yang memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristen dengan alasan hanya sebagai wasilah/alat untuk mendapatkan simpati orang-orang Kristen agar bersedia memberikan suara/dukungan ke partainya?
Tentu anda akan kesal, marah, muak dan prihatin. Memang hal-hal tersebut belum pernah terjadi, tetapi ketahuilah bahwa hal-hal yang mirip dengan hal-hal tersebut tengah terjadi dan menjangkiti pemikiran umat Islam saat ini. Mari kita buktikan!
Apakah yang dimaksud dengan Trinitas? Trinitas berarti kesatuan dari tiga. Trinitas dalam Kristen adalah satu Zat Tuhan yang memiliki tiga fungsi/bentuk yakni Tuhan Allah (Bapa), Tuhan Anak (Yesus) dan Tuhan Roh Kudus.
Penulis tidak akan panjang lebar membahas tentang konsep Trinitas, karena umat Islam jelas telah menolak konsep ini karena bertentangan 180 derajat dengan aqidah Islam yang meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan diperanakkan.
Ketahuilah bahwa sebenarnya ada konsep dari sebuah ideologi/paham yang sangat mirip dengan konsep Trinitas, yakni Demokrasi, mengapa demikian? Demokrasi adalah sebuah ideologi sebagai derivatif (turunan) dari ideologi sekuler yang berlandaskan pada asas ”kedaulatan di tangan rakyat (manusia)”, artinya rakyat (manusia)-lah yang berhak menentukan hukum apa yang akan diterapkan di muka bumi ini. Manusia dalam hal ini mengambil fungsi sebagai Allah SWT yang sebenarnya berperan sebagai satu-satunya Zat yang berhak menentukan/membuat hukum untuk ciptaanNya.
”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am:57)
Jadi menurut Demokrasi, dalam setiap pribadi manusia memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai manusia dan fungsi Ketuhanan yang berhak menentukan hukum, bahkan jika hukum Allah (syariat Islam) tidak sesuai dengan kehendak (iradah) rakyat, maka hukum Allah tersebut bisa dibatalkan, sungguh mengerikan!
Menurut Demokrasi, dalam 1 pribadi memiliki 2 fungsi, maka Demokrasi bisa juga disebut dengan istilah Dwinitas, sangat mirip dengan Trinitas, hanya bedanya di dalam Dwinitas (Demokrasi) tidak terdapat fungsi Roh Kudus.
Lantas mengapa kebanyakan umat Islam saat ini memberikan sikap yang berbeda terhadap Trinitas dan Dwinitas? Jika kita sama-sama marah, benci, dan prihatin ketika ada seorang muslim yang malah membela konsep Trinitas, tetapi mengapa kita bersikap biasa saja bahkan mendukung ketika ada seorang muslim yang membela paham Dwinitas? Banyak yang masih belum mengerti tentang hakikat Demokrasi dengan asas Dwinitasnya, walau mereka mengaku sebagai aktivis partai Islam sekalipun. Mereka mengira bahwa Demokrasi hanyalah sebuah tatanan prosedural untuk memilih seorang pemimpin, padahal hakikat Demokrasi adalah asas/konsep Dwinitas, yang sama bathilnya dengan konsep Trinitas.
Sebagian dari mereka sebenarnya ada yang sudah mengerti akan kebathilan Demokrasi, tetapi mereka berdalih bahwa hanya menggunakan Demokrasi sebagai alat saja dan bukan untuk mengadopsinya. Tetapi bagaimana bisa di saat yang sama mereka menolak memanfaatkan momentum Natal sebagai alat untuk meraih dukungan dari umat Kristen? Bukankah keduanya sama-sama memanfatkan kebathilan?
Penulis adalah seorang mualaf yang ’lari’ dari orang-orang yang bergelar ”Ignatius”, ”Stefanus”, ataupun ”Floribertus”, yang kemudian memutuskan untuk memeluk Islam, tetapi kemudian kecewa, sedih, dan marah ketika harus menerima fakta bahwa banyak umat Islam yang bangga dengan gelar ”Demokratius”.
Ketika umat Islam sudah mampu melihat riba seperti ketika mereka melihat perzinahan antara seorang anak dan ibunya sediri, ketika umat Islam sudah mampu melihat anggota parlemen sebagai orang yang merampas hak Allah, dan ketika umat Islam sudah mampu melihat dan bersikap terhadap Dwinitas (Demokrasi) seperti layaknya mereka bersikap terhadap paham Trinitas, di saat itulah pertanda umat Islam mulai bangkit dikarenakan bangkitnya taraf berfikir mereka. Seperti apa yang terjadi pada revolusi Suriah, ketika AS menawarkan solusi demokrasi untuk menggulingkan rezim Assad, pihak Mujahidin sepakat untuk menolaknya, keinginan mereka tetap tak tergoyahkan, yaitu tegaknya Syariah & Khilafah. Allahu Akbar!
”Ya Allah tunjukkanlah yang haq itu haq, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya”.
Penulis:
Budi Kristyanto
Mualaf, mantan penganut Katholik
Perumnas Klender-Jakarta Timur
HP: 08561648432
sumber: eramuslim.com
0 comments: