Oleh: Hafidz Abdurrahman
Sudah tidak terhitung penistaan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam kasus film Innocence of Muslim yang diproduksi di Amerika, dan menimbulkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia, jelas tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah Amerika. Namun, alih-alih minta maaf kepada umat Islam, Obama, Presiden negara kafir penjajah itu, saat pidato di depan Sidang Umum PBB, justru meminta delegasi negeri-negeri Muslim untuk menghargai prinsip Freedom of speech (kebebasan berekspresi) yang mereka anut. Dengan justifikasi prinsip yang sama, dengan pongahnya, presiden negara kafir penjajah itu menyatakan tidak bisa melarang, apalagi menghentikan produksi film tersebut. Ironinya, tidak ada seorang pun penguasa kaum Muslim yang membela martabat Nabinya.
Ini bukti, bahwa negara-negara kaum Muslim, dan para penguasanya saat ini telah gagal menjaga kemuliaan dan kesucian Nabi Muhammad SAW. Ini juga membuktikan, bahwa negara dan penguasa kaum Muslim itu hanyalah boneka negara kafir penjajah. Sekaligus membuktikan dengan kasat mata, bahwa Islam dan umatnya membutuhkan negara dan penguasa yang kuat, dan bisa melindungi kemuliaan dan kesucian Nabinya. Itu tak lain adalah Negara Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Bentuk Penghinaan
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah, dalam bukunya As-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul (pedang yang terhunus untuk penghujat Rasul), telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad SAW, “Kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabatnya, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan” (Lihat, Ibn Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, I/563).
Al-Qadhi ‘Iyadh, dalam kitabnya, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, menjelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi SAW, ”Orang yang menghujat Rasululah SAW adalah orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasul SAW ada kekurangan, mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya. Selain itu, juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia, menentang atau mensejajarkan Rasululah SAW dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengkerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya. Orang seperti ini termasuk orang yang telah menghujat Rasul SAW.” (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Hal senada juga dinyatakan oleh Kholil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar madzhab Maliki, “Siapa saja yang mencela Nabi, melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifatnya, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakternya, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepadanya, mencela, dll.. maka hukumannya adalah dibunuh.” (Lihat, Kholil Ibn Ishaq al-Jundiy, Mukhtashar al-Kholil, I/251).
Masih menurut al-Qadhi ‘Iyadh, ketika seseorang menyebut Nabi SAW dengan sifatnya, seperti “anak yatim” atau “buta huruf”, meski ini merupakan sifat Nabi, tetapi jika labelisasi tersebut bertujuan untuk menghina Nabi atau menunjukkan kekurangan Nabi, maka orang tersebut sudah layak disebut menghina Nabi SAW. Sesuatu yang menyebabkan seorang ulama sekaliber Abu Hatim at-Thailathali difatwakan fuqaha Andalusia untuk dibunuh. Hal yang sama dialami oleh Ibrahim al-Fazari, yang difatwakan oleh fuqaha Qairuwan dan murid Sahnun untuk dibunuh (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 430).
Hukum dan Sanksi
Bagi orang Islam, hukum menghina Rasul jelas-jelas haram. Pelakunya dinyatakan Kafir. Adapun sanksi bagi pelakunya adalah hukuman mati. Al-Qadhi ‘Iyadh menuturkan, bahwa ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, bahwa mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi SAW adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Al-Qadhi ‘Iyadh kembali menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi SAW. Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, tetapi kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir, bisa langsung dibunuh, dan tidak perlu diminta bertaubat serta tidak perlu diberi tenggat waktu tiga hari untuk kembali ke pangkuan Islam. Ini merupakan pendapat al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, as-Tsauri, al-Auza’i, Malik bin Anas, Abu Mus’ab dan Ibn Uwais, Ashba’ dan ‘Abdullah bin al-Hakam. Bahkan, al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, ini merupakan kesepakatan para ulama (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428-430).
Al-Khatthabi menyatakan, “Saya tidak tahu ada seorang (ulama) kaum Muslim yang berbeda pendapat tentang wajibnya hukuman mati (bagi pencela Rasulullah SAW).” (Lihat, Ibn Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, I/9). Allah berfirman, “Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah, “Ia mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang Mukmin. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui, bahwasanya barang siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 61-66).
Ayat di atas dengan tegas menyatakan, bahwa orang yang mengolok-olok Allah SWT, ayat-ayat-Nya serta rasul-Nya dinyatakan kafir. Terlebih lagi (min babil aula), bila secara sengaja mencela, menjelek-jelekkan, menuduh, menistakan dan sejenisnya, maka tindakan tersebut nyata kufur.
Selain itu, ada beberapa hadits yang terkait dengan masalah ini. Di antaranya riwayat Abu Dawud dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra, yang menyatakan, “Ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW (oleh karena perbuatannya itu), maka perempuan itu telah dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan darahnya.” (HR Abu Dawud). Sanad hadis ini dinyatakan jayyid (baik) oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, dan termasuk sejumlah hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad (Lihat, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, III/59).
Hadits ini juga memiliki syahid, yakni hadits riwayat Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki buta yang istrinya senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Lelaki itu berusaha melarang dan memperingatkan agar istrinya tidak melakukannya. Sampai pada suatu malam istrinya mulai lagi mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Merasa tidak tahan lagi lelaki itu lalu mengambil kapak kemudian dia tebaskan ke perut istrinya dan dia hunjamkan dalam-dalam sampai istrinya itu mati. Keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang menjelaskan kejadian tersebut. Pada hari itu juga Nabi SAW mengumpulkan kaum Muslim dan bersabda, “Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakan itu adalah hakku, berberdirilah!” Kemudian (kulihat) lelaki buta itu berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai dia berada di hadapan Rasulullah SAW. Kemudian ia duduk seraya berkata, ”Akulah suami yang melakukan hal tersebut ya Rasulullah SAW. Kulakukan hal tersebut karena ia senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan dirimu. Aku telah berusaha melarang dan selalu mengingatkannya, tetapi ia tetap melakukannya. Dari wanita itu, aku mendapatkan dua orang anak (yang cantik) seperti mutiara. Istriku itu sayang kepadaku. Tetapi kemarin ketika ia (kembali) mencela dan menjelek-jelekkan dirimu, lantas aku mengambil kapak, kemudian kutebaskannya ke perut istriku dan kuhunjamkan kuat-kuat ke perut istriku sampai ia mati.” Tindakan lelaki ini dibenarkan oleh Nabi SAW.
Inilah ketentuan yang berlaku terhadap seorang Muslim yang menghina Nabi. Namun, jika pelakunya kafir dzimi, maka perjanjian dengan mereka otomatis batal, pelakunya diberlakukan hukuman mati. Kecuali, menurut sebagian fuqaha, jika mereka masuk Islam. Namun dalam kontek ini keputusan ada di tangan Khalifah, apakah keislamannya bisa diterima atau tetap diberlakukan hukuman mati sebagai pelajaran bagi orang-orang kafir yang lain.
Sedangkan terhadap kafir harbiy, maka hukum asal perlakuan terhadap mereka adalah perang (qital). Siapapun yang melakukan pelecehan terhadap Rasulullah SAW akan diperangi. Inilah ketentuan yang seharusnya dilakukan negara atau penguasa kaum Muslim hari ini menghadapi penghinaan kepada Nabi SAW yang dilakukan oleh orang kafir, warga AS maupun yang lain itu. Dengan begitu, segala bentuk penistaan terhadap Nabi akan bisa dihentikan.
Hanya saja, ini membutuhkan seorang Khalifah yang memiliki ketegasan, keberanian, serta taat kepada Allah SWT. Karena Khalifahlah yang secara nyata akan menghentikan semua penghinaan itu, serta melindungi kehormatan Islam dan umatnya, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Khalifah Abdul Hamid II terhadap Prancis dan Inggris yang hendak mementaskan drama karya Voltaire, yang menghina Nabi Muhammad SAW. []
[Sumber]
0 comments: