Oleh KH.Hafidz Abdurrahman
Terjadinya kisruh dalam peraturan perundangan-undangan merupakan bukti yang tidak terbantahkan, bahwa tata hukum di negeri tersebut jelas-jelas amburadul. Fakta yang kemudian menggelitik umat Islam untuk bertanya, apakah kondisi seperti ini juga akan terjadi dalam sistem tata hukum di negara Khilafah?
Khilafah: Negara berdasarkan Akidah Islam
Sebagai negara Islam yang berdasarkan akidah Islam, Khilafah jelas akan menerapkan seluruh hukum Islam di dalam negeri, baik kepada kaum Muslim maupun non-Muslim, kecuali dalam perkara tertentu yang menjadi pengecualian mereka, serta mengemban Islam keluar negeri. Khilafah jelas tidak akan mentolelir adanya satu hukum pun yang bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, negara Khilafah hanya akan menerapkan satu hukum, yaitu hukum Islam, di seluruh wilayah Khilafah.
Namun tidak semua hukum Islam secara otomatis menjadi hukum positif dalam negara, kecuali hukum yang telah diadopsi oleh khalifah sebagai undang-undang. Di sini, hak mengundangkan hukum tersebut hanya ada pada khalifah. Bukan parlemen atau majelis umat. Khalifahlah yang mempunyai hak untuk mengadopsi hukum Islam tertentu sebagai undang-undang negara. Khalifah pula yang mempunyai hak untuk mengamandemen pemberlakuan hukum tertentu. Jika ada pasal atau hukum dalam undang-undang yang dianggap menyalahi hukum Islam, rakyat juga bisa mengajukan uji materi kepada Mahkamah Madzalim. Jika terbukti menyimpang, maka Mahkamah Madzalim berhak untuk membatalkan hukum tersebut.
Satu Hukum dan UU untuk Satu Negara
Karena negara Khilafah adalah negara kesatuan (wihdah), bukan federasi (ittihad) atau otonom (mustaqil), maka seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah adalah hukum yang sama. Maka, tidak ada peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam sistem federasi atau otonomi. Sebab, Khilafah menganut sistem sentralisasi pemerintahan (markaziyyatu al-hukm), meski dalam urusan administrasi dan birokrasi bersifat desentralisasi (allamarkaziyyatu al-idarah).
Hukum yang diadopsi oleh Khalifah menjadi undang-undang itu berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah), dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah). Meski administrasi dan birokasi bersifat desentralistik, tidak berarti masing-masing daerah berhak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri. Karena otoritas membuat dan mengundangkan peraturan hanya ada di tangan khalifah. Bukan pimpinan daerah, setingkat gubenur, bupati, walikota, camat atau lurah.
Karena itu, tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah. Ini merupakan konsekuensi dari hak mengadopsi hukum menjadi undang-undang di tangan Khalifah. Juga konsekuensi dari bentuk negara kesatuan, bukan federasi maupun otonomi.
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah manapun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah, pembantu Khalifah, maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama, sebagai warga negara, tanpa membedakan suku, bangsa, agama, ras maupun yang lain.
Satu Hukum Satu Keputusan
Selain itu, negara Khilafah juga mengenal pengadilan bertingkat, dimana lembaga pengadilan yang bertugas menyampaikan keputusan hukum dan bersifat mengikat (ikhbar al-hukm ‘ala sabili ilzam) –sebagaimana yang dinyakan oleh Ibn Farkhun dalam Tabshiratu al-Hukkam dan an-Nabhani dalam Nidham al-Hukm fi al-Islam– itu akhirnya bisa dibatalkan oleh pengadilan lain. Sebab, konsekuensi dari sifat ilzam (mengikat dan memaksa) itu meniscayakan keputusan pengadilan tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan hatta oleh Khalifah sekalipun.
Khalifah ‘Umar pernah menjatuhkan keputusan untuk orang yang menunt hak waris, dengan masalah yang sama untuk dua orang pada waktu yang berbeda. Orang yang pertama datang diputuskan dengan keputusan A, sedangkan orang kedua datang dengan masalah yang sama, tetapi diputuskan dengan keputusan B. Ketika orang pertama merasa tidak beruntung, dibanding dengan keputusan yang diterima orang kedua, padahal masalahnya sama, dia pun datang kepada ‘Umar untuk mengajukan banding. ‘Umar dengan tegas menyatakan, Tilka ‘ala ma qanaina, wa hadzihi ‘ala ma naqdhi (Itu sesuai dengan apa yang telah kami putuskan, dan ini juga sesuai dengan yang baru kami putuskan). Akhirnya, keputusan tetap berlaku seperti sedia kala, tidak ada perubahan.
Selain itu, dalam kaidah ushul juga dinyatakan, al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad (ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad). Karena itu, tiap hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan, maka hukum tersebut tidak bisa dibatalkan, hatta oleh pengadilan dan qadhi yang sama. Terlebih dibatalkan oleh pengadilan dan qadhi lain. Dari sini jelas, bahwa Islam tidak mengenal pengadilan rendah, atau tinggi. Islam juga tidak mengenal pengadilan banding. Islam juga tidak mengenal peninjauan kembali (PK).
Dengan demikian, Khilafah menjamin kepastian hukum. Karena hukum yang dilaksanakan hanya satu, yaitu hukum Islam. Hukum yang diterapkan juga sama untuk seluruh warga negara. Hukum yang diputuskan juga tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan.
Maka, kisruh lahan yang terjadi akibat adanya keputusan yang berbeda di antara dua lembaga hukum, seperti pengadilan daerah dengan Mahkamah Agung, atau tabrakan hukum antara produk hukum yang lebih tinggi dan produk hukum di bawahnya, seperti perda dengan keppres, atau keputusan Mahkamah Agung dengan keputusan Kemendagri dan atau Keppres, semuanya ini tidak akan pernah terjadi dalam wilayah hukum negara Khilafah.
Hukum Islam bagi Ahli Dzimmah
Semuanya tadi merupakan prinsip umum yang berlaku untuk seluruh warga negara Khilafah, tanpa membedakan Muslim maupun non-Muslim. Namun, karena untuk orang non-Muslim ada pengecualian dalam: (1) akidah, dimana mereka tetap dibiarkan memeluk akidah mereka; orang Kristen tetap memeluk Kristen, orang Yahudi tetap memeluk Yahudi, dan begitu seterusnya; (2) ibadat, dalam hal ini mereka juga tetap diberikan kebebasan untuk beribadat sesuai dengan agamanya, bahkan tempat peribadatan mereka juga tetap dibiarkan, tidak dilarang apalagi dirusak; (3) kawin cerai, dimana mereka bisa menikah dan cerai sesuai dengan aturan agama mereka; (4) makan, minum dan pakaian, dimana mereka diperlakukan sesuai dengan ketentuan agama mereka.
Karena itu, khusus dalam keempat poin di atas, negara memberikan toleransi kepada mereka, meski tetap diatur sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan kaum Muslim. Misalnya, dalam akad dzimmah, ‘Umar pernah menerapkan syarat, agar orang non-Muslim tidak merehab gereja yang rusak, tidak membunyikan lonceng hingga terdengar oleh kaum Muslim, tidak membaca Injil di hadapan mereka, tidak menyanyikan lagu pujian agama mereka di depan kaum Muslim, tidak pula menampakkan salib dan identitas agama mereka di depan kaum Muslim. Pakaiannya pun sengaja dibedakan, baik kaum pria maupun wanitanya, untuk memudahkan praktik hukum terhadap mereka. Semuanya ini merupakan pengaturan yang bisa, dan pernah dijalankan oleh negara.
Di masa ‘Abbasiyah bahkan pernah dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus orang non-Muslim, karena menyangkut hukum-hukum khusus yang terkait dengan akidah dan peribadatan mereka. Namun, jika menyangkut pelaksanaan hukum Islam secara umum, mereka tetap diperlakukan sama, dan kalau mereka harus diadili, mereka pun diadili di depan mahkamah khushumat, atau diadili oleh hakim hisbah, sesuai dengan wilayah pelanggaran yang mereka lakukan.
Apakah dengan begitu bisa disimpulkan, bahwa ada hukum lain yang diterapkan dalam wilayah Negara Khilafah? Jawabnya, tidak. Karena, hukum-hukum yang diterapkan untuk orang non-Muslim itu juga merupakan hukum Islam, dimana hukum Islam tersebut memberikan pengecualian kepada mereka. Wallahu a’lam.
sumber hti
*
Terjadinya kisruh dalam peraturan perundangan-undangan merupakan bukti yang tidak terbantahkan, bahwa tata hukum di negeri tersebut jelas-jelas amburadul. Fakta yang kemudian menggelitik umat Islam untuk bertanya, apakah kondisi seperti ini juga akan terjadi dalam sistem tata hukum di negara Khilafah?
Khilafah: Negara berdasarkan Akidah Islam
Sebagai negara Islam yang berdasarkan akidah Islam, Khilafah jelas akan menerapkan seluruh hukum Islam di dalam negeri, baik kepada kaum Muslim maupun non-Muslim, kecuali dalam perkara tertentu yang menjadi pengecualian mereka, serta mengemban Islam keluar negeri. Khilafah jelas tidak akan mentolelir adanya satu hukum pun yang bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, negara Khilafah hanya akan menerapkan satu hukum, yaitu hukum Islam, di seluruh wilayah Khilafah.
Namun tidak semua hukum Islam secara otomatis menjadi hukum positif dalam negara, kecuali hukum yang telah diadopsi oleh khalifah sebagai undang-undang. Di sini, hak mengundangkan hukum tersebut hanya ada pada khalifah. Bukan parlemen atau majelis umat. Khalifahlah yang mempunyai hak untuk mengadopsi hukum Islam tertentu sebagai undang-undang negara. Khalifah pula yang mempunyai hak untuk mengamandemen pemberlakuan hukum tertentu. Jika ada pasal atau hukum dalam undang-undang yang dianggap menyalahi hukum Islam, rakyat juga bisa mengajukan uji materi kepada Mahkamah Madzalim. Jika terbukti menyimpang, maka Mahkamah Madzalim berhak untuk membatalkan hukum tersebut.
Satu Hukum dan UU untuk Satu Negara
Karena negara Khilafah adalah negara kesatuan (wihdah), bukan federasi (ittihad) atau otonom (mustaqil), maka seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah adalah hukum yang sama. Maka, tidak ada peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam sistem federasi atau otonomi. Sebab, Khilafah menganut sistem sentralisasi pemerintahan (markaziyyatu al-hukm), meski dalam urusan administrasi dan birokrasi bersifat desentralisasi (allamarkaziyyatu al-idarah).
Hukum yang diadopsi oleh Khalifah menjadi undang-undang itu berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah), dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah). Meski administrasi dan birokasi bersifat desentralistik, tidak berarti masing-masing daerah berhak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri. Karena otoritas membuat dan mengundangkan peraturan hanya ada di tangan khalifah. Bukan pimpinan daerah, setingkat gubenur, bupati, walikota, camat atau lurah.
Karena itu, tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah. Ini merupakan konsekuensi dari hak mengadopsi hukum menjadi undang-undang di tangan Khalifah. Juga konsekuensi dari bentuk negara kesatuan, bukan federasi maupun otonomi.
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah manapun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah, pembantu Khalifah, maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama, sebagai warga negara, tanpa membedakan suku, bangsa, agama, ras maupun yang lain.
Satu Hukum Satu Keputusan
Selain itu, negara Khilafah juga mengenal pengadilan bertingkat, dimana lembaga pengadilan yang bertugas menyampaikan keputusan hukum dan bersifat mengikat (ikhbar al-hukm ‘ala sabili ilzam) –sebagaimana yang dinyakan oleh Ibn Farkhun dalam Tabshiratu al-Hukkam dan an-Nabhani dalam Nidham al-Hukm fi al-Islam– itu akhirnya bisa dibatalkan oleh pengadilan lain. Sebab, konsekuensi dari sifat ilzam (mengikat dan memaksa) itu meniscayakan keputusan pengadilan tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan hatta oleh Khalifah sekalipun.
Khalifah ‘Umar pernah menjatuhkan keputusan untuk orang yang menunt hak waris, dengan masalah yang sama untuk dua orang pada waktu yang berbeda. Orang yang pertama datang diputuskan dengan keputusan A, sedangkan orang kedua datang dengan masalah yang sama, tetapi diputuskan dengan keputusan B. Ketika orang pertama merasa tidak beruntung, dibanding dengan keputusan yang diterima orang kedua, padahal masalahnya sama, dia pun datang kepada ‘Umar untuk mengajukan banding. ‘Umar dengan tegas menyatakan, Tilka ‘ala ma qanaina, wa hadzihi ‘ala ma naqdhi (Itu sesuai dengan apa yang telah kami putuskan, dan ini juga sesuai dengan yang baru kami putuskan). Akhirnya, keputusan tetap berlaku seperti sedia kala, tidak ada perubahan.
Selain itu, dalam kaidah ushul juga dinyatakan, al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad (ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad). Karena itu, tiap hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan, maka hukum tersebut tidak bisa dibatalkan, hatta oleh pengadilan dan qadhi yang sama. Terlebih dibatalkan oleh pengadilan dan qadhi lain. Dari sini jelas, bahwa Islam tidak mengenal pengadilan rendah, atau tinggi. Islam juga tidak mengenal pengadilan banding. Islam juga tidak mengenal peninjauan kembali (PK).
Dengan demikian, Khilafah menjamin kepastian hukum. Karena hukum yang dilaksanakan hanya satu, yaitu hukum Islam. Hukum yang diterapkan juga sama untuk seluruh warga negara. Hukum yang diputuskan juga tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan.
Maka, kisruh lahan yang terjadi akibat adanya keputusan yang berbeda di antara dua lembaga hukum, seperti pengadilan daerah dengan Mahkamah Agung, atau tabrakan hukum antara produk hukum yang lebih tinggi dan produk hukum di bawahnya, seperti perda dengan keppres, atau keputusan Mahkamah Agung dengan keputusan Kemendagri dan atau Keppres, semuanya ini tidak akan pernah terjadi dalam wilayah hukum negara Khilafah.
Hukum Islam bagi Ahli Dzimmah
Semuanya tadi merupakan prinsip umum yang berlaku untuk seluruh warga negara Khilafah, tanpa membedakan Muslim maupun non-Muslim. Namun, karena untuk orang non-Muslim ada pengecualian dalam: (1) akidah, dimana mereka tetap dibiarkan memeluk akidah mereka; orang Kristen tetap memeluk Kristen, orang Yahudi tetap memeluk Yahudi, dan begitu seterusnya; (2) ibadat, dalam hal ini mereka juga tetap diberikan kebebasan untuk beribadat sesuai dengan agamanya, bahkan tempat peribadatan mereka juga tetap dibiarkan, tidak dilarang apalagi dirusak; (3) kawin cerai, dimana mereka bisa menikah dan cerai sesuai dengan aturan agama mereka; (4) makan, minum dan pakaian, dimana mereka diperlakukan sesuai dengan ketentuan agama mereka.
Karena itu, khusus dalam keempat poin di atas, negara memberikan toleransi kepada mereka, meski tetap diatur sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan kaum Muslim. Misalnya, dalam akad dzimmah, ‘Umar pernah menerapkan syarat, agar orang non-Muslim tidak merehab gereja yang rusak, tidak membunyikan lonceng hingga terdengar oleh kaum Muslim, tidak membaca Injil di hadapan mereka, tidak menyanyikan lagu pujian agama mereka di depan kaum Muslim, tidak pula menampakkan salib dan identitas agama mereka di depan kaum Muslim. Pakaiannya pun sengaja dibedakan, baik kaum pria maupun wanitanya, untuk memudahkan praktik hukum terhadap mereka. Semuanya ini merupakan pengaturan yang bisa, dan pernah dijalankan oleh negara.
Di masa ‘Abbasiyah bahkan pernah dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus orang non-Muslim, karena menyangkut hukum-hukum khusus yang terkait dengan akidah dan peribadatan mereka. Namun, jika menyangkut pelaksanaan hukum Islam secara umum, mereka tetap diperlakukan sama, dan kalau mereka harus diadili, mereka pun diadili di depan mahkamah khushumat, atau diadili oleh hakim hisbah, sesuai dengan wilayah pelanggaran yang mereka lakukan.
Apakah dengan begitu bisa disimpulkan, bahwa ada hukum lain yang diterapkan dalam wilayah Negara Khilafah? Jawabnya, tidak. Karena, hukum-hukum yang diterapkan untuk orang non-Muslim itu juga merupakan hukum Islam, dimana hukum Islam tersebut memberikan pengecualian kepada mereka. Wallahu a’lam.
sumber hti
0 comments: