khabar ahad dalam perkara akidah berarti mengikuti dzan dalam masalah akidah. Ini menunjukkan bahwa pengambilan dalil dzanni dalam perkara akidah tidak diwajibkan untuk meyakini apa yang terkandung dalam dalil tersebut. Karena itu maka khabar ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara akidah.
Ayat-ayat tadi (topiknya) terbatas khusus untuk persolan akidah saja, bukan tentang hukum-hukum syara’, karena Allah menganggap sesat orang mengikuti dzan dalam perkara akidah. Allah mendatangkan ayat-ayat tersebut dalam pembahasan seputar akidah, sehingga kita akan menyadari sedalam-dalamnya terhadap orang yang mengikuti dzan dalam perkara akidah. Allah Swt berfirman:
إِنْيَتَّبِعُونَإِلاَّالظَّنَّوَمَا][تَهْوَىاْلأَنْفُسُ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. (TQS. an-Najm [53]: 23)
%وَمَنَاةَالثَّالِثَةَاْلأُخْرَى%أَفَرَأَيْتُمُاللاَّتَوَالْعُزَّى]%تِلْكَإِذًاقِسْمَةٌضِيزَى%أَلَكُمُالذَّكَرُوَلَهُاْلأُنْثَىإِنْهِيَإِلاَّأَسْمَاءٌسَمَّيْتُمُوهَاأَنْتُمْوَءَابَاؤُكُمْمَاأَنْزَلَاللهُبِهَامِنْسُلْطَانٍإِنْيَتَّبِعُونَإِلاَّالظَّنَّوَمَا[تَهْوَىاْلأَنْفُسُ
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. (TQS. an-Najm [53]: 19-23)
Berdasarkan firman Allah tadi menunjukkan bahwa topik pembicaraannya adalah tentang akidah. Allah Swt berfirman:
وَإِنْتُطِعْ]أَكْثَرَمَنْفِياْلأَرْضِيُضِلُّوكَعَنْسَبِيلِاللهِإِنْيَتَّبِعُونَ[إِلاَّالظَّنَّ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tiada lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. (TQS. al-An’aam [6]: 116)
Dlalal (kesesatan) dianggap sebagai kekufuran sebagai akibat dari mengikuti dzan. Hal diatas tadi menunjukkan bahwa topik pembahasan yang terdapat pada ayat-ayat tersebut adalah tentang perkara akidah. Sedangkan dari sisi lain dipastikan bahwa Rasul saw telah berhukum dengan khabar ahad. Selain itu kaum Muslim pada waktu itu pun telah mengambil hukum syara’ berdasarkan khabar ahad sehingga mereka juga telah menetapkannya. Oleh karena itu maka hadits Rasul (berfungsi) sebagai mukhashshish (yang mengkhususkan) ayat-ayat selain hukum syara’, yakni dalam perkara akidah. Artinya hukum syara’ dikecualikan dari akidah seandainya sebagian ayat-ayatnya bersifat umum.
Adapun riwayat bahwa Nabi saw mengirimkan seorang utusan kepada setiap raja dan mengirimkan pula seorang utusan kepada para ‘ummalnya (gubernur), juga para sahabat yang menerima perkataan Rasul meskipun disampaikan oleh satu orang tentang hukum syara’, seperti menghadap ka’bah dan pengharaman khamar. Begitu pula diutusnya Ali ra kepada manusia untuk membacakan surat at-Taubah dihadapan mereka, padahal Ali ra diutus sendirian oleh Rasulullah saw, dan lain-lain, maka hal tadi tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam perkara akidah. Perkara-perkara itu menunjukkan diterimanya khabar wahid (khabar ahad) dalam perkara tabligh (penyampaian), baik penyampaian tentang hukum-hukum syara’ ataupun penyampaian tentang Islam. Sekali-kali tidak bisa dikatakan bahwa diterimanya penyampaian tentang Islam sama halnya dengan diterimanya (khabar ahad) dalam perkara akidah. Sebab, diterimanya penyampaian tentang Islam adalah penerimaan terhadap suatu khabar, bukan penerimaan terhadap sebuah akidah. Alasannya bahwa seorang muballigh (penyampai khabar) mengajak seseorang untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami persoalan yang disampaikan. Apabila dia telah menyatakan dalil yang yakin (qath’i) kepada seseorang, maka ia harus meyakininya. Ia dianggap kafir jika mengingkari dalil yang yakin tersebut. Penolakan khabar tentang Islam tidak dianggap kafir. Seseorang dianggap kafir apabila penolakannya terhadap Islam yang telah dinyatakan dengan dalil qath’i. Berdasarkan hal ini maka penyampaian tentang Islam tidak termasuk sebagai akidah. Disamping itu diterimanya khabar ahad dalam tabligh tidak ada perselisihan didalamnya. Berbagai peristiwa yang diriwayatkan tadi, seluruhnya menunjuk pada perkara tabligh, baik penyampaian tentang Islam, penyampaian tentang al-Quran maupun penyampaian tentang hukum. Sedangkan penyampaian tentang akidah tidak ada satu dalil pun (khabar ahad) yang bisa dijadikan sebagai dalil.
Dengan demikian dalil dalam perkara akidah harus bersandarkan pada dalil yang yakin, yaitu dalil yang qath’i. Karena akidah itu adalah pasti, tegas dan yakin. Kepastian, ketegasan dan keyakinan itu tidak ada artinya sama sekali kecuali didasari dengan dalil qath’i. Karena itu al-Quran atau hadits mutawatir harus bersifat qath’i dilalah (pasti penunjukan dalilnya), sehingga wajib diambil dalam perkara akidah maupun hukum-hukum syara’. Orang yang mengingkarinya kafir, juga yang mengingkari hal-hal yang telah terbukti kepastian dalilnya, baik ituperkara akidah maupun hukum syara’.
Jika suatu dalil tergolong khabar ahad maka dalil tersebut bukan dalil yang qath’i, meskipun ada yang shahih akan tetapi itu sebatas ghalabatu adz-dzan (dugaan kuat) saja. Apabila pembenaran terhadap akidah berasal dari pembenaran yang bersifat dzanni, maka pembenarannya tidak bersifat pasti (jazm). Oleh karena itu tidak boleh diyakini dan dipastikan, karena akidah itu harus pasti dan meyakinkan. Sedangkan khabar ahad tidak menunjukkan kepastian atau keyakinan. Khabar ahad hanya menunjukkan dzan. Orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir, juga tidak boleh didustakan, karena jika hal itu didustakan maka membuka (peluang) didustakan seluruh hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil yang bersifat dzanni. Dan tidak ada satu kaum Muslim pun yang berkata demikian.
Pemisalannya dalam aspek (khabar ahad) ini -seperti al-Quran- satu sama lain sama saja. Al-Quran telah disampaikan kepada kita dengan cara riwayat yang mutawatir sehingga wajib meyakini sepenuhnya, dan menganggap kafir orang yang mengingkarinya. Apa yang diriwayatkan (dan dianggap sebagai) ayat-ayat al-Quran melalui khabar ahad, misalnya perkataan:
Bagi laki-laki yang tua (renta) dan perempuan yang tua (renta) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pernyataan tersebut tidak digolongkan bagian dari al-Quran dan tidak wajib meyakininya. Sebab, meski telah diriwayatkan bahwa ia merupakan bagian dari al-Quran, akan tetapi riwayatnya melalui jalur ahad sehingga tidak wajib menganggapnya sebagai bagian dari al-Quran, dan tidak wajib meyakininya.
Jadi, hadits yang bersifat dzanni, jika statusnya sahih, tetap saja berpotensi benar dan salah, sehingga tidak boleh dibenarkan dengan bulan (yushaddaq jazman). Begitu juga tidak boleh didustakan dengan bulat-bulat (yukadzdzab jazman). Karena itu, hadits tentang adzab kubur telah dinyatakan dalam Shahih al-Bukhari, tetapi hadits tersebut berstatus sebagai hadits ahad, sehingga masih berpotensi untuk dibenarkan dan tidak dibenarkan. Karena itu, membangun keyakinan yang bulat (tashdiq jazim) tidak boleh dengan menggunakan khabar ahad, karena statusnya dzanni. Tetapi hukum melaksanakannya wajib, karena banyaknya dalil yang mewajibkan untuk melaksanakannya. Maka, orang yang tidak melaksanakan khabar ahad, statusnya tetap berdosa, yaitu tidak melakukan kefarduan.
Masalah Kedua:
1- Meniadakan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar:
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah hukum syara’ yang ma’lum min ad-din bi ad-dharurah, yang kewajibannya telah ditegaskan, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan perkara yang sangat penting, sebagaimana hadits dari at-Tirmidzi:
عنحذيفةبنقال: وَالَّذِيْنَفْسِيْبِيَدِهِلَتَأْمُرَنَّrاليمانعنالنبيبِالْمَعْرُوْفِوَلَتَنْهَوُنَّعَنِالمُنْكَرِأَوْلَيُوْشِكَنَّاللهُأَنْيَبْعَثَعَلَيْكُمْعِقَابًامِنْهُثُمَّتَدْعُوْنَهُفَلاَيُسْتَجَابَلَكُمْ.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dari Nabi saw. Bersabda. Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Anda harus memerintahkan yang makruf, dan mencegah perkara yang munkar, atau (kalau tiudak) Allah pasti akan mengirimkan kepada kalian siksa-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, dan kalian tidak dikabulkan.
Karena itu, tidak mungkin Hizbut Tahrir meniadakan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bahkan, berdirinya Hizbut Tahrir sendiri dalam rangka memenuhi panggilan Allah, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar yang diemban oleh kelompok (jama’ah), dalam surat Ali ‘Imran [03]: 104:
وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.
2- Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Hizbut Tahrir:
Dalam hadits Nabi saw. Rasulullah saw. menegaskan, bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar bisa dilakukan dengan tangan, lisan dan dengan hati:
مَنْرَأَىمِنْكُمْمُنْكَرًافَلْيُغَيِّرْهُبِيَدِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِلِسَانِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِقَلْبِهِوَذَلِكَأَضْعَفُالإيْمَانِ (أخرجهأحمدومسلموالأربعةمنحديثطارقبنشهابعنأبيسعيدرضياللهعنه).
Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka bisa dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman (Hr. Ahmad, Muslim dan Arba’ah, dari hadits Thariq bin Syihab dari Sa’id ra.).
Sebagai gerakan dakwah, Hizbut Tahrir memang didirikan untuk mengemban dakwah kepada Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar ma’ruf dan nahi munkar dalam hal ini hanya menjadi salah satu aktivitas Hizbut Tahrir. Selain amar ma’ruf dan nahi munkar, aktivitas Hizb adalah mengajak kepada Islam. Dalam hal ini, aktivitas (ad-da’wah ila al-khayr) tersebut bisa dikategorikan menjadi dua: Pertama, mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam; Kedua, mengajak orang Muslim agar menerapkan Islam secara kaffah.
Caranya bagaimana? Hizb memandang, bahwa metode yang paling efektif untuk tujuan pertama, yaitu mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam, adalah dengan diterapkannya Islam secara kaffah oleh negara. Dengan kata lain, negara yang menerapkan Islam secara kaffah tersebut merupakan metode praktis untuk berdakwah kepada orang non-Muslim, agar mereka bisa menyaksikan langsung cahaya Islam secara utuh dan sempurna, sebagaimana yang dialami bangsa Arab setelah berdirinya negara Madinah. Sementara untuk mewujudkan Islam yang diterapkan secara kaffah oleh negara, tak lain dengan mengajak seluruh umat Islam agar kembali kepada agama mereka, dan menerapkan Islam secara kaffah. Inilah yang menjadi alasan, mengapa Hizb lebih memprioritaskan dakwahnya kepada umat Islam. Meski tidak berarti, Hizb mengabaikan keberadaan orang-orang non-Muslim dalam dakwahnya.
Berangkat dari tuntunan yang dicontohkan oleh Nabi saw. dalam berdakwah, khususnya bagi kelompok yang mengemban dakwah, maka Hizbut Tahrir membatasi aktivitasnya pada dua hal: pemikiran (intelektual) dan politik. Selain berpedoman pada sunnah Rasul saw., Hizb juga menyadari posisinya sebagai kiyan fikr (entitas pemikiran), dan bukan kiyan ijtima’i (entitas sosial kemasyarakatan) ataupun kiyan tanfidzi (entitas pelaksana).
Masalah Ketiga:
Negara Islam boleh mengangkat orang kafir sebagai kepala negaranya:
Terkait dengan tuduhan, bahwa Hizbut Tahrir membolehkan orang Kafir menjadi kepala negara, jelas merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Sebab, di dalam semua referensi Hizb selalu ditegaskan, bahwa syarat seorang kepala negara harus: (1) Muslim, (2) Laki-laki, (3) Baligh, (4) Berakal, (5) Adil, (6) Mampu, (7) Merdeka. Ini secara normatif, sebagaimana yang dituangkan dalam banyak buku mutabannat Hizbut Tahrir. Seperti Nidzam al-Hukm fi al-Islam, Ajhizat Daulah al-Khilafah, Masyru’ ad-Dustur dan sebagainya. Secara empiris, Hizb mempunyai pengalaman yang nyata, ketika Presiden Libanon yang Kristen Maronit itu menyatakan dirinya sebagai khalifah, pada era tahun 90-an, maka Hizbut Tahrirlah yang pertama kali melakukan penolakan keras terhadapnya. Dengan menjelaskan hukum syariah terkait dengan masalah ini.
Masalah Keempat:
Mencium perempuan bukan mahram dengan atau tanpa nafsu (syahwat) dibolehkan:
Ini juga merupakan kampanye hitam (black campaign) terhadap Hizbut Tahrir. Padahal, dalam kitab an-Nidzam al-Ijtima’i dengan tegas dinyatakan:
Ciuman lelaki kepada wanita lain yang diminatinya, atau ciuman wanita kepada lelaki lain yang diminatinya adalah ciuman yang haram. Sebab, itu merupakan pengantar perbuatan zina. Ciuman seperti ini adalah ciuman yang lazim menjadi pengantar perbuatan zina. Sekalipun tidak disertai syahwat, dan sekalipun tidak sampai mengantarkan pada perzinaan, dan zinanya sendiri belum terjadi. Sebab, sabda Nabi kepada Ma’iz tatkala dia mendatangi beliau dan meminta agar kesalahannya dibersihkan, karena dia telah melakukan zina, beliau bertanya: Barangkali kamu telah menciumnya.. (Hr. Bukhari melaluyi Ibn ‘Abbas). Membuktikan, bahwa ciuman seperti ini merupakan pengantar perbuatan zina. Juga karena nas-nas al-Qur’an yang mengharamkan zina meliputi semua pengantarnya, termasuk bersentuhan, sebagaimana yang terjadi antara pemuda dan pemudi. Maka, ciuman seperti ini hukumnya haram, meskipun untuk memberikan ucapan selamat kepada orang yang tiba dari bepergian. Sebab, ciuman antara pemuda dan pemudi seperti ini merupakan pengantar perbuatan zina.
Karena itu, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir membolehkan lelaki dan perempuan asing (bukan mahram) berciuman, selama tidak disertai syahwat adalah tuduhan yang tidak berdasar. Dan, merupakan fitnah yang keji untuk menyudutkan dan meruntuhkan kepercayaan umat kepada integritas Hizbut Tahrir.
*
Ayat-ayat tadi (topiknya) terbatas khusus untuk persolan akidah saja, bukan tentang hukum-hukum syara’, karena Allah menganggap sesat orang mengikuti dzan dalam perkara akidah. Allah mendatangkan ayat-ayat tersebut dalam pembahasan seputar akidah, sehingga kita akan menyadari sedalam-dalamnya terhadap orang yang mengikuti dzan dalam perkara akidah. Allah Swt berfirman:
إِنْيَتَّبِعُونَإِلاَّالظَّنَّوَمَا][تَهْوَىاْلأَنْفُسُ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. (TQS. an-Najm [53]: 23)
%وَمَنَاةَالثَّالِثَةَاْلأُخْرَى%أَفَرَأَيْتُمُاللاَّتَوَالْعُزَّى]%تِلْكَإِذًاقِسْمَةٌضِيزَى%أَلَكُمُالذَّكَرُوَلَهُاْلأُنْثَىإِنْهِيَإِلاَّأَسْمَاءٌسَمَّيْتُمُوهَاأَنْتُمْوَءَابَاؤُكُمْمَاأَنْزَلَاللهُبِهَامِنْسُلْطَانٍإِنْيَتَّبِعُونَإِلاَّالظَّنَّوَمَا[تَهْوَىاْلأَنْفُسُ
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. (TQS. an-Najm [53]: 19-23)
Berdasarkan firman Allah tadi menunjukkan bahwa topik pembicaraannya adalah tentang akidah. Allah Swt berfirman:
وَإِنْتُطِعْ]أَكْثَرَمَنْفِياْلأَرْضِيُضِلُّوكَعَنْسَبِيلِاللهِإِنْيَتَّبِعُونَ[إِلاَّالظَّنَّ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tiada lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. (TQS. al-An’aam [6]: 116)
Dlalal (kesesatan) dianggap sebagai kekufuran sebagai akibat dari mengikuti dzan. Hal diatas tadi menunjukkan bahwa topik pembahasan yang terdapat pada ayat-ayat tersebut adalah tentang perkara akidah. Sedangkan dari sisi lain dipastikan bahwa Rasul saw telah berhukum dengan khabar ahad. Selain itu kaum Muslim pada waktu itu pun telah mengambil hukum syara’ berdasarkan khabar ahad sehingga mereka juga telah menetapkannya. Oleh karena itu maka hadits Rasul (berfungsi) sebagai mukhashshish (yang mengkhususkan) ayat-ayat selain hukum syara’, yakni dalam perkara akidah. Artinya hukum syara’ dikecualikan dari akidah seandainya sebagian ayat-ayatnya bersifat umum.
Adapun riwayat bahwa Nabi saw mengirimkan seorang utusan kepada setiap raja dan mengirimkan pula seorang utusan kepada para ‘ummalnya (gubernur), juga para sahabat yang menerima perkataan Rasul meskipun disampaikan oleh satu orang tentang hukum syara’, seperti menghadap ka’bah dan pengharaman khamar. Begitu pula diutusnya Ali ra kepada manusia untuk membacakan surat at-Taubah dihadapan mereka, padahal Ali ra diutus sendirian oleh Rasulullah saw, dan lain-lain, maka hal tadi tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam perkara akidah. Perkara-perkara itu menunjukkan diterimanya khabar wahid (khabar ahad) dalam perkara tabligh (penyampaian), baik penyampaian tentang hukum-hukum syara’ ataupun penyampaian tentang Islam. Sekali-kali tidak bisa dikatakan bahwa diterimanya penyampaian tentang Islam sama halnya dengan diterimanya (khabar ahad) dalam perkara akidah. Sebab, diterimanya penyampaian tentang Islam adalah penerimaan terhadap suatu khabar, bukan penerimaan terhadap sebuah akidah. Alasannya bahwa seorang muballigh (penyampai khabar) mengajak seseorang untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami persoalan yang disampaikan. Apabila dia telah menyatakan dalil yang yakin (qath’i) kepada seseorang, maka ia harus meyakininya. Ia dianggap kafir jika mengingkari dalil yang yakin tersebut. Penolakan khabar tentang Islam tidak dianggap kafir. Seseorang dianggap kafir apabila penolakannya terhadap Islam yang telah dinyatakan dengan dalil qath’i. Berdasarkan hal ini maka penyampaian tentang Islam tidak termasuk sebagai akidah. Disamping itu diterimanya khabar ahad dalam tabligh tidak ada perselisihan didalamnya. Berbagai peristiwa yang diriwayatkan tadi, seluruhnya menunjuk pada perkara tabligh, baik penyampaian tentang Islam, penyampaian tentang al-Quran maupun penyampaian tentang hukum. Sedangkan penyampaian tentang akidah tidak ada satu dalil pun (khabar ahad) yang bisa dijadikan sebagai dalil.
Dengan demikian dalil dalam perkara akidah harus bersandarkan pada dalil yang yakin, yaitu dalil yang qath’i. Karena akidah itu adalah pasti, tegas dan yakin. Kepastian, ketegasan dan keyakinan itu tidak ada artinya sama sekali kecuali didasari dengan dalil qath’i. Karena itu al-Quran atau hadits mutawatir harus bersifat qath’i dilalah (pasti penunjukan dalilnya), sehingga wajib diambil dalam perkara akidah maupun hukum-hukum syara’. Orang yang mengingkarinya kafir, juga yang mengingkari hal-hal yang telah terbukti kepastian dalilnya, baik ituperkara akidah maupun hukum syara’.
Jika suatu dalil tergolong khabar ahad maka dalil tersebut bukan dalil yang qath’i, meskipun ada yang shahih akan tetapi itu sebatas ghalabatu adz-dzan (dugaan kuat) saja. Apabila pembenaran terhadap akidah berasal dari pembenaran yang bersifat dzanni, maka pembenarannya tidak bersifat pasti (jazm). Oleh karena itu tidak boleh diyakini dan dipastikan, karena akidah itu harus pasti dan meyakinkan. Sedangkan khabar ahad tidak menunjukkan kepastian atau keyakinan. Khabar ahad hanya menunjukkan dzan. Orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir, juga tidak boleh didustakan, karena jika hal itu didustakan maka membuka (peluang) didustakan seluruh hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil yang bersifat dzanni. Dan tidak ada satu kaum Muslim pun yang berkata demikian.
Pemisalannya dalam aspek (khabar ahad) ini -seperti al-Quran- satu sama lain sama saja. Al-Quran telah disampaikan kepada kita dengan cara riwayat yang mutawatir sehingga wajib meyakini sepenuhnya, dan menganggap kafir orang yang mengingkarinya. Apa yang diriwayatkan (dan dianggap sebagai) ayat-ayat al-Quran melalui khabar ahad, misalnya perkataan:
Bagi laki-laki yang tua (renta) dan perempuan yang tua (renta) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pernyataan tersebut tidak digolongkan bagian dari al-Quran dan tidak wajib meyakininya. Sebab, meski telah diriwayatkan bahwa ia merupakan bagian dari al-Quran, akan tetapi riwayatnya melalui jalur ahad sehingga tidak wajib menganggapnya sebagai bagian dari al-Quran, dan tidak wajib meyakininya.
Jadi, hadits yang bersifat dzanni, jika statusnya sahih, tetap saja berpotensi benar dan salah, sehingga tidak boleh dibenarkan dengan bulan (yushaddaq jazman). Begitu juga tidak boleh didustakan dengan bulat-bulat (yukadzdzab jazman). Karena itu, hadits tentang adzab kubur telah dinyatakan dalam Shahih al-Bukhari, tetapi hadits tersebut berstatus sebagai hadits ahad, sehingga masih berpotensi untuk dibenarkan dan tidak dibenarkan. Karena itu, membangun keyakinan yang bulat (tashdiq jazim) tidak boleh dengan menggunakan khabar ahad, karena statusnya dzanni. Tetapi hukum melaksanakannya wajib, karena banyaknya dalil yang mewajibkan untuk melaksanakannya. Maka, orang yang tidak melaksanakan khabar ahad, statusnya tetap berdosa, yaitu tidak melakukan kefarduan.
Masalah Kedua:
1- Meniadakan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar:
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah hukum syara’ yang ma’lum min ad-din bi ad-dharurah, yang kewajibannya telah ditegaskan, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan perkara yang sangat penting, sebagaimana hadits dari at-Tirmidzi:
عنحذيفةبنقال: وَالَّذِيْنَفْسِيْبِيَدِهِلَتَأْمُرَنَّrاليمانعنالنبيبِالْمَعْرُوْفِوَلَتَنْهَوُنَّعَنِالمُنْكَرِأَوْلَيُوْشِكَنَّاللهُأَنْيَبْعَثَعَلَيْكُمْعِقَابًامِنْهُثُمَّتَدْعُوْنَهُفَلاَيُسْتَجَابَلَكُمْ.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dari Nabi saw. Bersabda. Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Anda harus memerintahkan yang makruf, dan mencegah perkara yang munkar, atau (kalau tiudak) Allah pasti akan mengirimkan kepada kalian siksa-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, dan kalian tidak dikabulkan.
Karena itu, tidak mungkin Hizbut Tahrir meniadakan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bahkan, berdirinya Hizbut Tahrir sendiri dalam rangka memenuhi panggilan Allah, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar yang diemban oleh kelompok (jama’ah), dalam surat Ali ‘Imran [03]: 104:
وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.
2- Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Hizbut Tahrir:
Dalam hadits Nabi saw. Rasulullah saw. menegaskan, bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar bisa dilakukan dengan tangan, lisan dan dengan hati:
مَنْرَأَىمِنْكُمْمُنْكَرًافَلْيُغَيِّرْهُبِيَدِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِلِسَانِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِقَلْبِهِوَذَلِكَأَضْعَفُالإيْمَانِ (أخرجهأحمدومسلموالأربعةمنحديثطارقبنشهابعنأبيسعيدرضياللهعنه).
Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka bisa dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman (Hr. Ahmad, Muslim dan Arba’ah, dari hadits Thariq bin Syihab dari Sa’id ra.).
Sebagai gerakan dakwah, Hizbut Tahrir memang didirikan untuk mengemban dakwah kepada Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar ma’ruf dan nahi munkar dalam hal ini hanya menjadi salah satu aktivitas Hizbut Tahrir. Selain amar ma’ruf dan nahi munkar, aktivitas Hizb adalah mengajak kepada Islam. Dalam hal ini, aktivitas (ad-da’wah ila al-khayr) tersebut bisa dikategorikan menjadi dua: Pertama, mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam; Kedua, mengajak orang Muslim agar menerapkan Islam secara kaffah.
Caranya bagaimana? Hizb memandang, bahwa metode yang paling efektif untuk tujuan pertama, yaitu mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam, adalah dengan diterapkannya Islam secara kaffah oleh negara. Dengan kata lain, negara yang menerapkan Islam secara kaffah tersebut merupakan metode praktis untuk berdakwah kepada orang non-Muslim, agar mereka bisa menyaksikan langsung cahaya Islam secara utuh dan sempurna, sebagaimana yang dialami bangsa Arab setelah berdirinya negara Madinah. Sementara untuk mewujudkan Islam yang diterapkan secara kaffah oleh negara, tak lain dengan mengajak seluruh umat Islam agar kembali kepada agama mereka, dan menerapkan Islam secara kaffah. Inilah yang menjadi alasan, mengapa Hizb lebih memprioritaskan dakwahnya kepada umat Islam. Meski tidak berarti, Hizb mengabaikan keberadaan orang-orang non-Muslim dalam dakwahnya.
Berangkat dari tuntunan yang dicontohkan oleh Nabi saw. dalam berdakwah, khususnya bagi kelompok yang mengemban dakwah, maka Hizbut Tahrir membatasi aktivitasnya pada dua hal: pemikiran (intelektual) dan politik. Selain berpedoman pada sunnah Rasul saw., Hizb juga menyadari posisinya sebagai kiyan fikr (entitas pemikiran), dan bukan kiyan ijtima’i (entitas sosial kemasyarakatan) ataupun kiyan tanfidzi (entitas pelaksana).
Masalah Ketiga:
Negara Islam boleh mengangkat orang kafir sebagai kepala negaranya:
Terkait dengan tuduhan, bahwa Hizbut Tahrir membolehkan orang Kafir menjadi kepala negara, jelas merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Sebab, di dalam semua referensi Hizb selalu ditegaskan, bahwa syarat seorang kepala negara harus: (1) Muslim, (2) Laki-laki, (3) Baligh, (4) Berakal, (5) Adil, (6) Mampu, (7) Merdeka. Ini secara normatif, sebagaimana yang dituangkan dalam banyak buku mutabannat Hizbut Tahrir. Seperti Nidzam al-Hukm fi al-Islam, Ajhizat Daulah al-Khilafah, Masyru’ ad-Dustur dan sebagainya. Secara empiris, Hizb mempunyai pengalaman yang nyata, ketika Presiden Libanon yang Kristen Maronit itu menyatakan dirinya sebagai khalifah, pada era tahun 90-an, maka Hizbut Tahrirlah yang pertama kali melakukan penolakan keras terhadapnya. Dengan menjelaskan hukum syariah terkait dengan masalah ini.
Masalah Keempat:
Mencium perempuan bukan mahram dengan atau tanpa nafsu (syahwat) dibolehkan:
Ini juga merupakan kampanye hitam (black campaign) terhadap Hizbut Tahrir. Padahal, dalam kitab an-Nidzam al-Ijtima’i dengan tegas dinyatakan:
Ciuman lelaki kepada wanita lain yang diminatinya, atau ciuman wanita kepada lelaki lain yang diminatinya adalah ciuman yang haram. Sebab, itu merupakan pengantar perbuatan zina. Ciuman seperti ini adalah ciuman yang lazim menjadi pengantar perbuatan zina. Sekalipun tidak disertai syahwat, dan sekalipun tidak sampai mengantarkan pada perzinaan, dan zinanya sendiri belum terjadi. Sebab, sabda Nabi kepada Ma’iz tatkala dia mendatangi beliau dan meminta agar kesalahannya dibersihkan, karena dia telah melakukan zina, beliau bertanya: Barangkali kamu telah menciumnya.. (Hr. Bukhari melaluyi Ibn ‘Abbas). Membuktikan, bahwa ciuman seperti ini merupakan pengantar perbuatan zina. Juga karena nas-nas al-Qur’an yang mengharamkan zina meliputi semua pengantarnya, termasuk bersentuhan, sebagaimana yang terjadi antara pemuda dan pemudi. Maka, ciuman seperti ini hukumnya haram, meskipun untuk memberikan ucapan selamat kepada orang yang tiba dari bepergian. Sebab, ciuman antara pemuda dan pemudi seperti ini merupakan pengantar perbuatan zina.
Karena itu, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir membolehkan lelaki dan perempuan asing (bukan mahram) berciuman, selama tidak disertai syahwat adalah tuduhan yang tidak berdasar. Dan, merupakan fitnah yang keji untuk menyudutkan dan meruntuhkan kepercayaan umat kepada integritas Hizbut Tahrir.

0 comments: