Khilafah Ada Demi Syariah
Khilafah, sebagaimana definisi Hizbut Tahrir (HT), adalah suatu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang didirikan untuk satu tujuan, yaitu menegakkan hukum syariah Islam, bukan hukum yang lain.
*
Khilafah, sebagaimana definisi Hizbut Tahrir (HT), adalah suatu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang didirikan untuk satu tujuan, yaitu menegakkan hukum syariah Islam, bukan hukum yang lain.
Walhasil, keberadaan Khilafah itu bukanlah demi kekuasaan atau
pemerintahan itu sendiri, melainkan untuk menegakkan syariah Islam yang
memang wajib hukumnya. Khilafah ada demi syariah.
Di sini tepat sekali kita mengingat penegasan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad mengenai eratnya hubungan kekuasaan dan agama. Atau dengan kata lain, eratnya hubungan Khilafah dan syariah. Kata Imam Ghazali,"Ad-diinu ussun wa as-sulthaanu haris. Wa maa laa ussa lahu fa-mahdumun wa maa laa harisa lahu fa-dhaa`i’." (Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang).
Jadi, kewajiban Khilafah sebenarnya sekedar mengikut pada tujuan asal yang menjadi sebab didirikannya Khilafah, yakni penegakan syariah. Kaidah fiqih mengatakan at-taabi’ taabi’ (Apa saja yang mengikuti [sesuatu yang lain], hukumnya mengikuti sesuatu yang lain itu) (Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhai’ir fi al-Furu’). Maka menegakkan Khilafah wajib karena mengikuti hukum menegakkan syariah Islam yang statusnya wajib.
Benar, menegakkan syariah Islam itu wajib hukumnya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah yang banyak sekali (lihat misalnya QS 4:65, QS 5:48, QS 5:49, dll). Selain jelas wajibnya, menegakkan syariah juga mempunyai banyak urgensitas (ahammiyah) dalam perspektif Islam. Antara lain :
Pertama, tegaknya syariah berarti akan dapat mewujudkan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata. Allah SWT berfirman :
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyaat [51] : 56)
Beribadah kepada Allah dalam ayat ini, maknanya bukanlah ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan ibadah dalam arti umum, yakni mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah (ithaa`atu awamirillah wa ijtinaanbun bi-nawaahiihi), misalnya menjalankan sistem pidana Islam. Ibadah dalam arti umum ini, jelas tidak mungkin ada tanpa syariah Islam.
Sebaliknya jika tidak ada penegakan syariah Islam, berarti manusia tidak mungkin mewujudkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT. Tanpa syariah manusia bisa terjerumus kepada penyembahan tuhan-tuhan selain Allah (QS 9: 31). Mungkinkah seorang muslim dapat beribadah kepada Allah, dengan menggunakan aturan di luar hukum Allah? Dapatkah kita beribadah kepada Allah dengan menerapkan sistem sekuler yang kufur seperti saat ini? Ini sama artinya dengan utopia atau mimpi di siang bolong.
Kedua, tegaknya syariah insya Allah akan membuahkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia. Sebaliknya dengan mengabaikan dan menelantarkan syariah, manusia akan hidup sengsara dan mendapat azab dari Allah di dunia. Allah SWT berfirman :
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A’raaf [7] : 96)
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar-Ruum [30] : 41)
Ketiga, tegaknya syariah akan menyelamatkan kita di Hari Kiamat kelak. Sebaliknya siapa saja yang mencampakkan syariah, di Hari Kiamat kelak akan berat sekali azabnya, antara lain akan dibutakan matanya oleh Allah SWT di Padang Mahsyar. Na’uzhu billah min dzalik. Allah SWT berfirman :
"...lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat [di dunia] dan tidak akan celaka [di akhirat]. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS Thaha [20] : 123-124)
Jelaslah, menegakkan syariah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-lagi lagi. Menegakkan syariah adalah kewajiban yang sudah final dan tidak boleh dibatalkan oleh siapa pun dan dalam masa kapan pun.
Namun mustahil kita menjalankan kewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) tanpa adanya Khilafah sebagai pemerintahan yang pro-syariah. Maka dari itu, tepat sekali para ulama mewajibkan Khilafah karena tidak mungkin kita menjalankan kewajiban penegakan syariah, tanpa Khilafah. Kaidah fikih menegaskan maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya) (Lihat Imam Izzuddin bin Abdis Salaam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam).
Khilafah Milik Umat Islam
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji? Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin. Hanya minoritas umat Islam yang menolak kewajiban Khilafah secara normatif.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah bukanlah sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin. Khilafah adalah benar-benar bagian asli dari ajaran Islam.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah para imam yang empat dari kalangan Ahlus Sunnah. Kesepakatan ini hanya salah satu dari sekian kesepakatan jumhur Ahlus Sunnah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) ketika menjelaskan Ahlus Sunnah dalam kitabnya Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248-249 (Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2005) mengatakan, terdapat 15 (lima belas) masalah pokok agama (arkan al-din) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunah. Masalah pokok agama yang nomor 12 (dua belas) adalah wajibnya Imamah atau Khilafah.
Pada kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 270, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan :
"Mereka [Ahlus Sunnah] berkata mengenai masalah pokok agama ke-12…Sesungguhnya Imamah [Khilafah] adalah fardhu atau wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam [khalifah], yang akan mengangkat bagi mereka [umat Islam] para hakim dan orang-orang kepercayaan (umana`), yang akan mengamankan tapal batas mereka, memberangkatkan para pasukan ke medan perang, membagikan fai` di antara mereka, serta menyelamatkan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya."
Tidak hanya itu, bahkan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menegaskan sikap Ahlus Sunnah yang memandang sesat siapa saja yang menyimpang dari ke-15 masalah pokok agama tersebut (Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248).
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Khilafah (Imamah) adalah bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah [Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari berbagai kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai khalifah pengganti Rasulullah tahun 632 M hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M akibat ulah agen Inggris, yaitu Mustafal Kamal Ataturk yang murtad.
Hizbut Tahrir dan Khilafah
Namun hancurnya Khilafah itu bukanlah akhir sejarah umat Islam. Allah SWT tetap mempunyai hamba-hamba yang selalu berjuang dengan ikhlas untuk kembali menegakkan agama-Nya. Bangkitlah kemudian para tokoh ulama dan banyak gerakan Islam untuk mengembalikan Khilafah. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir.
Hizbut Tahrir didirikan di Al-Quds (Yerussalem) tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977), radhiyallahu ‘anhu, seorang ‘alim dan terhormat, seorang pemikir besar, politikus ulung, dan hakim Mahkamah Banding di Al-Quds. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani adalah cucu dari Syaikh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama besar bermazhab Syafi’i di masa Khilafah Utsmaniyah. Kitab-kitab karya Syaikh Yususf An-Nabhani ini banyak, di antaranya adalah kitab tentang karamah para wali yang berjudul Jami’ Karamat al-Auliya`.
Sejak berdiri tahun 1953 itu, Hizbut Tahrir terus berjuang dan meluaskan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, hingga menjangkau 40-an negara lebih dengan puluhan juta pengikut dan simpatisan di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Pada tahun 1983 Hizbut Tahrir mulai bergerak di Indonesia dan mulai muncul ke publik dalam sebuah konferensi internasional tentang Khilafah Islamiyah tahun 2000 di Jakarta.
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jalan menegakkan Khilafah Islam yang akan menegakkan syariah Islam secara kaffah.
Dalam perjuangannya di berbagai belahan Dunia Islam, Hizbut Tahrir banyak menghadapi tantangan, hambatan, bahkan siksaan dan pembunuhan yang kejam, hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki penerapan syariah Islam.
Berbagai fitnah keji dan tuduhan bohong banyak diarahkan kepada Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir pernah dituding sebagai kelompok Mu’tazilah Gaya Baru, Khawarij, dan bahkan antek-antek zionis. Semua tudingan itu muncul hanya karena Hizbut Tahrir bermaksud membebaskan umat dari cengkeraman kaum penjajah yang kafir.
Ya, semua cobaan itu harus dialami Hizbut Tahrir hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki Khilafah yang akan menegakkan syariah. Padahal, bukankah menegakkan syariah adalah kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir? Bukankah pula, Khilafah adalah wajib menurut seluruh kaum muslimin, bukan hanya wajib menurut Hizbut Tahrir? Bukankah pula, wajibnya Khilafah merupakan paham Ahlus Sunnah, yang Hizbut Tahrir pun tergolong ke dalam kelompok yang selamat itu?
Maka dari itu, wahai kaum muslimin, marilah kita bangkit berjuang menegakkan syariah dan khilafah secara bahu membahu dan bergotong royong! Marilah kita raih kemuliaan dunia dan akhirat dengan menegakkan syariah dan khilafah! Sungguh, ini adalah perjuangan yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir.
Ketahuilah wahai kaum muslimin, tanpa tegaknya Khilafah, Anda hanya akan dapat menerapkan sebagian syariah, bukan seluruh syariah. Apakah Anda sudah puas dengan secuil penerapan syariah ini? Apakah hanya itu yang Anda kehendaki? Apakah itu diridhoi oleh Allah Rabbul ’Alamin? Sungguh, tidak!
Akhirul kalam, marilah kita camkan firman Allah SWT berikut agar kita semakin terdorong menerapkan Islam secara total, bukan Islam setengah-setengah. Allah SWT berfirman :
"Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (QS Al-Baqarah [2] : 85)
Ya Allah, saya sudah menyampaikan! Saksikanlah!
Bersemangatlah dalam BERJUANG ya....ayyuhasy Syabab........!!!
Karena Pertolongan Alloh sungguh amatlah dekat.....!!!
Allohu Akbar....!!!
---
KH M Shiddiq al-Jawi
Di sini tepat sekali kita mengingat penegasan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad mengenai eratnya hubungan kekuasaan dan agama. Atau dengan kata lain, eratnya hubungan Khilafah dan syariah. Kata Imam Ghazali,"Ad-diinu ussun wa as-sulthaanu haris. Wa maa laa ussa lahu fa-mahdumun wa maa laa harisa lahu fa-dhaa`i’." (Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang).
Jadi, kewajiban Khilafah sebenarnya sekedar mengikut pada tujuan asal yang menjadi sebab didirikannya Khilafah, yakni penegakan syariah. Kaidah fiqih mengatakan at-taabi’ taabi’ (Apa saja yang mengikuti [sesuatu yang lain], hukumnya mengikuti sesuatu yang lain itu) (Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhai’ir fi al-Furu’). Maka menegakkan Khilafah wajib karena mengikuti hukum menegakkan syariah Islam yang statusnya wajib.
Benar, menegakkan syariah Islam itu wajib hukumnya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah yang banyak sekali (lihat misalnya QS 4:65, QS 5:48, QS 5:49, dll). Selain jelas wajibnya, menegakkan syariah juga mempunyai banyak urgensitas (ahammiyah) dalam perspektif Islam. Antara lain :
Pertama, tegaknya syariah berarti akan dapat mewujudkan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata. Allah SWT berfirman :
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyaat [51] : 56)
Beribadah kepada Allah dalam ayat ini, maknanya bukanlah ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan ibadah dalam arti umum, yakni mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah (ithaa`atu awamirillah wa ijtinaanbun bi-nawaahiihi), misalnya menjalankan sistem pidana Islam. Ibadah dalam arti umum ini, jelas tidak mungkin ada tanpa syariah Islam.
Sebaliknya jika tidak ada penegakan syariah Islam, berarti manusia tidak mungkin mewujudkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT. Tanpa syariah manusia bisa terjerumus kepada penyembahan tuhan-tuhan selain Allah (QS 9: 31). Mungkinkah seorang muslim dapat beribadah kepada Allah, dengan menggunakan aturan di luar hukum Allah? Dapatkah kita beribadah kepada Allah dengan menerapkan sistem sekuler yang kufur seperti saat ini? Ini sama artinya dengan utopia atau mimpi di siang bolong.
Kedua, tegaknya syariah insya Allah akan membuahkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia. Sebaliknya dengan mengabaikan dan menelantarkan syariah, manusia akan hidup sengsara dan mendapat azab dari Allah di dunia. Allah SWT berfirman :
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A’raaf [7] : 96)
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar-Ruum [30] : 41)
Ketiga, tegaknya syariah akan menyelamatkan kita di Hari Kiamat kelak. Sebaliknya siapa saja yang mencampakkan syariah, di Hari Kiamat kelak akan berat sekali azabnya, antara lain akan dibutakan matanya oleh Allah SWT di Padang Mahsyar. Na’uzhu billah min dzalik. Allah SWT berfirman :
"...lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat [di dunia] dan tidak akan celaka [di akhirat]. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS Thaha [20] : 123-124)
Jelaslah, menegakkan syariah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-lagi lagi. Menegakkan syariah adalah kewajiban yang sudah final dan tidak boleh dibatalkan oleh siapa pun dan dalam masa kapan pun.
Namun mustahil kita menjalankan kewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) tanpa adanya Khilafah sebagai pemerintahan yang pro-syariah. Maka dari itu, tepat sekali para ulama mewajibkan Khilafah karena tidak mungkin kita menjalankan kewajiban penegakan syariah, tanpa Khilafah. Kaidah fikih menegaskan maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya) (Lihat Imam Izzuddin bin Abdis Salaam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam).
Khilafah Milik Umat Islam
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji? Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin. Hanya minoritas umat Islam yang menolak kewajiban Khilafah secara normatif.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah bukanlah sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin. Khilafah adalah benar-benar bagian asli dari ajaran Islam.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah para imam yang empat dari kalangan Ahlus Sunnah. Kesepakatan ini hanya salah satu dari sekian kesepakatan jumhur Ahlus Sunnah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) ketika menjelaskan Ahlus Sunnah dalam kitabnya Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248-249 (Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2005) mengatakan, terdapat 15 (lima belas) masalah pokok agama (arkan al-din) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunah. Masalah pokok agama yang nomor 12 (dua belas) adalah wajibnya Imamah atau Khilafah.
Pada kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 270, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan :
"Mereka [Ahlus Sunnah] berkata mengenai masalah pokok agama ke-12…Sesungguhnya Imamah [Khilafah] adalah fardhu atau wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam [khalifah], yang akan mengangkat bagi mereka [umat Islam] para hakim dan orang-orang kepercayaan (umana`), yang akan mengamankan tapal batas mereka, memberangkatkan para pasukan ke medan perang, membagikan fai` di antara mereka, serta menyelamatkan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya."
Tidak hanya itu, bahkan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menegaskan sikap Ahlus Sunnah yang memandang sesat siapa saja yang menyimpang dari ke-15 masalah pokok agama tersebut (Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248).
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Khilafah (Imamah) adalah bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah [Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari berbagai kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai khalifah pengganti Rasulullah tahun 632 M hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M akibat ulah agen Inggris, yaitu Mustafal Kamal Ataturk yang murtad.
Hizbut Tahrir dan Khilafah
Namun hancurnya Khilafah itu bukanlah akhir sejarah umat Islam. Allah SWT tetap mempunyai hamba-hamba yang selalu berjuang dengan ikhlas untuk kembali menegakkan agama-Nya. Bangkitlah kemudian para tokoh ulama dan banyak gerakan Islam untuk mengembalikan Khilafah. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir.
Hizbut Tahrir didirikan di Al-Quds (Yerussalem) tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977), radhiyallahu ‘anhu, seorang ‘alim dan terhormat, seorang pemikir besar, politikus ulung, dan hakim Mahkamah Banding di Al-Quds. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani adalah cucu dari Syaikh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama besar bermazhab Syafi’i di masa Khilafah Utsmaniyah. Kitab-kitab karya Syaikh Yususf An-Nabhani ini banyak, di antaranya adalah kitab tentang karamah para wali yang berjudul Jami’ Karamat al-Auliya`.
Sejak berdiri tahun 1953 itu, Hizbut Tahrir terus berjuang dan meluaskan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, hingga menjangkau 40-an negara lebih dengan puluhan juta pengikut dan simpatisan di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Pada tahun 1983 Hizbut Tahrir mulai bergerak di Indonesia dan mulai muncul ke publik dalam sebuah konferensi internasional tentang Khilafah Islamiyah tahun 2000 di Jakarta.
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jalan menegakkan Khilafah Islam yang akan menegakkan syariah Islam secara kaffah.
Dalam perjuangannya di berbagai belahan Dunia Islam, Hizbut Tahrir banyak menghadapi tantangan, hambatan, bahkan siksaan dan pembunuhan yang kejam, hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki penerapan syariah Islam.
Berbagai fitnah keji dan tuduhan bohong banyak diarahkan kepada Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir pernah dituding sebagai kelompok Mu’tazilah Gaya Baru, Khawarij, dan bahkan antek-antek zionis. Semua tudingan itu muncul hanya karena Hizbut Tahrir bermaksud membebaskan umat dari cengkeraman kaum penjajah yang kafir.
Ya, semua cobaan itu harus dialami Hizbut Tahrir hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki Khilafah yang akan menegakkan syariah. Padahal, bukankah menegakkan syariah adalah kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir? Bukankah pula, Khilafah adalah wajib menurut seluruh kaum muslimin, bukan hanya wajib menurut Hizbut Tahrir? Bukankah pula, wajibnya Khilafah merupakan paham Ahlus Sunnah, yang Hizbut Tahrir pun tergolong ke dalam kelompok yang selamat itu?
Maka dari itu, wahai kaum muslimin, marilah kita bangkit berjuang menegakkan syariah dan khilafah secara bahu membahu dan bergotong royong! Marilah kita raih kemuliaan dunia dan akhirat dengan menegakkan syariah dan khilafah! Sungguh, ini adalah perjuangan yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir.
Ketahuilah wahai kaum muslimin, tanpa tegaknya Khilafah, Anda hanya akan dapat menerapkan sebagian syariah, bukan seluruh syariah. Apakah Anda sudah puas dengan secuil penerapan syariah ini? Apakah hanya itu yang Anda kehendaki? Apakah itu diridhoi oleh Allah Rabbul ’Alamin? Sungguh, tidak!
Akhirul kalam, marilah kita camkan firman Allah SWT berikut agar kita semakin terdorong menerapkan Islam secara total, bukan Islam setengah-setengah. Allah SWT berfirman :
"Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (QS Al-Baqarah [2] : 85)
Ya Allah, saya sudah menyampaikan! Saksikanlah!
Bersemangatlah dalam BERJUANG ya....ayyuhasy Syabab........!!!
Karena Pertolongan Alloh sungguh amatlah dekat.....!!!
Allohu Akbar....!!!
---
KH M Shiddiq al-Jawi
1 comments:
artikelnya sangat menarik
salam sukses,,