SYEIKH TAQIYUDDIN DI MATA PARA ULAMA
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Syeikh Taqiyuddina itu orang sesat, yang pendapatnya nyeleneh, dan tidak diakui oleh ulama-ulama besar.
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Syeikh Taqiyuddina itu orang sesat, yang pendapatnya nyeleneh, dan tidak diakui oleh ulama-ulama besar.
Permasalahan ini sebenarnya tidak perlu dibahas, sebab orang yang mengatakan hal ini sebenarnya orang awam atau orang begelar “ulama” tetapi dengan kualitas awam, sehingga pernyataannya tidak ada bobot ilmiah yang perlu ditanggapi.
Hanya saja, agar fitnah terkait dengan diri Syeikh Taqiyuddin tidak terus berlanjut, di sini kami akan membahas hal tersebut hakikat yang sebenarnya secara fair. Sebab, membiarkan fitnah terhadap seorang ulama yang mukhlis, sama artinya kita terlibat dalam fitnah tersebut. Namun, jika setelah kami jelaskan, ternyata ada pihak-pihak yang justru semakin bernafsu untuk memfitnah beliau, maka kami berlepas diri (nahnu barii’un minhum), sebab kami sudah menyampaikan hakikat yang sebenarnya, sesuai kemampuan kami.
Sebetulnya, fitnah terhadap seorang ulama itu juga tidak akan merendahkan kualitas ulama tersebut dalam pandangan Allah swt, juga tidak ada nilainya dalam pandangan ulama yang sebenarnya. Allah swt menilai seseorang dari ketaqwaan dan amal sholihnya. Ulama yang sebenarnya, akan menilai kualitas ulama lain dari ketaqwaannya kepada Allah swt dan dari karya-karyanya (kitab-kitab karyanya). Memang, yang mengetahui ketaqwaan seseorang hanya Allah swt, namun ciri-cirinya dapat dikenali oleh orang-orang yang juga bertaqwa kepada Allah swt.
*****
Paling tidak di sini ada kelompok empat kelompok ulama terhadap Syeikh Taqiyuddin.
Paling tidak di sini ada kelompok empat kelompok ulama terhadap Syeikh Taqiyuddin.
Pertama, jika yang dimaksud ulama besar, yang tidak mengakui Syeikh Taqiyuddin adalah Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Nawawi dan lain-lain, tentu saja mereka tidak mengakui Syeikh Taqiyuddin. Bagaimana bisa mereka mengakui Syeikh Taqiyuddin, sementara beliau hidup ratusan tahun setelah para ulama besar itu wafat. Aneh-aneh saja. Jadi, memang tak akan mungkin kita menemukan kitab yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i atau selainnya memuji atau mengakui keilmuan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhany. Hal ini jelas sesuatu yang mustahil. Tak masuk akal.
Namun, jika kita menelusuri pendapat-pendapat Syeikh Taqiyuddin dengan ulama besar yang mu’tabaroh tersebut, insya Allah tidak ada perbedaan, kecuali hanya pada wilayah-wilayah tertentu yang bersifat khilafiyah di kalangan ulama.
Sebenarnya, yang dibahas Syeikh Taqiyuddin bukan hal baru. Hanya saja, beliau hidup pada masa pasca revolusi industri yang kemudian umat Islam mulai silau dengan kemajuan barat, lalu meninggalkan ajaran Islam, terutama ajaran Islam yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, peradilan dan lain sebagainya. Dampak dari semua fenomena itu adalah runtuhnya Khilafah dan ditinggalkannya syariah Islam dalam masalah sosial oleh umat Islam itu sendiri. Kemudian Syeikh Taqiyuddin bangkit, mengkaji dengan seksama hakikat Islam dan hakikat peradaban barat. Beliau membuat komparasi yang jernih antara tsaqofah Islam dan tsaqofah barat. Lalu beliau mengkritik sistem hidup barat yang diterapkan di dunia Islam dan menyebabkan dunia Islam semakin jauh dari Islam, seperti ide-ide sekularisme, liberalisme, sosialisme, demokrasi, nasionalisme, dan ide-ide lain yang bertentangan dengan Islam. Beliau juga menjelaskan Islam yang bersih dan tidak terkontaminasi dengan peradaban barat. Beliau membahas mulai dari akar hingga daunnya, baik untuk Islam maupun peradaban barat. Sehingga dengan komparasi itu, ajaran Islam dan sistemnya tampak sangat jelas, terutama pada zaman modern sekarang ini. Inilah yang barangkali baru dari Syeikh Taqiyuddin dibandingkan para ulama sebelumnya.
Misalnya, masalah syirkah. Pembahasan ini, bisa kita temukan hampir di semua kitab para ulama yang mu’tabaroh, mislanya Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Hambali dan lain sebagainya. Namun, dalam kitab beliau-beliau tersebut, belum ada komparasinya dengan sistem syirkah seperti yang ada pada zaman modern ini, seperti perseron terbatas (PT), CV, bursa saham, dan lain sebagainya. Sementara itu, Syeikh Taqiyuddin membahas syirkah seperti pada umumnya, namun beliau juga membandingkannya dengan syirkah-syirkah model kapitalisme. Inilah yang membuat kitab-kitab karya beliau tampak sangat clear dan istimewa. Dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Kedua, jika yang dimaksud ulama besar itu adalah ulama al-hukkam (ulama yang menjadi para pengawal penguasa dzalim saat ini), tentu saja mereka tidak mengakui Syeikh Taqiyuddin. Syeikh Taqiyuddin menyuarakan yang haq, tanpa memperhatikan apakah para penguasa dzalim itu senang atau tidak, sementara ulama al-hukkam memang ditugasi dan dibayari untuk menjaga tuannya, dan menghabisi siapa saja yang tak sejalan dengan kepentingan para hukkam (penguasa). Para ulama al-hukkam pasti tidak mengakui Syeikh Taqiyuddin. Ini sesuatu yang sangat jelas, sejelas sinar matahari. Justru aneh, jika ada ulama al-hukkam yang simpati dan mendukung beliau. Hal ini, sama anehnya dengan hujan lebat, tetapi tanah tetap kering kerontang.
Mengapa para penguasan dan ulama al-hukkam membenci Syeikh Taqiyuddin?
Hal ini, sebagaimana diceritakan langsung oleh Syeikh Thalib Awadallah dalam kitab beliau Ahbabullah: Saat Syeikh Taqiyuddin mendakwahkan Islam apa adanya, menyampaikan yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil, hal itu membuat penguasa waktu itu, raja Abdullah bin Husein, marah besar. Akhirnya, Syeikh Taqiyuddin ditangkap dan ditempatkan di penjara kota, di Amnan, Yordania.
Waktu itu, raja Abdullah mengundang beberapa orang ulama setiap minggu ke istananya di Raghdan. Hal itu mendorong para syeikh meminta raja Abdullah agar membebaskan rekan mereka, yaitu Syeikh Taqiyuddin. Maka tidak ada pilihan bagi raja. Lalu Syeikh Taqiyuddin dihadirkan ke istana kerajaan dengan dihadiri oleh sejumlah syeikh.
Ketika Syeikh Taqiyuddin duduk di tengah mereka, raja Abdullah sambil menatap ke arah beliau, dia berkata: "Dengarkan syeikh, apakah engkau mau berjanji akan berkawan dengan orang yang menjadi kawanku, dan memusuhi orang yang menjadi musuhku?". Syeikh Taqiyuddin memandang raja Abdullah dan beliau tidak menjawab satu patah katapun. Raja Abdullah mengulangi hingga tiga kali dan marah besar.
Pada saat itu, Syeikh Taqiyuddin mengangkat kepala dan berkata: "Sesungguhnya, aku telah berjanji kepada Allah, untuk menjadikan kawan dekat orang-orang yang berwala (loyal dan taat) kepada Allah. Dan aku memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah".
Maka raja
Abdullah naik pitam dan berteriak: "Engkau adalah syeikh yang sangat berbahaya!!!". Lalu ia berkata kepada tentaranya: "Tangkap dia dan kembalikan dia ke penjara" (Kitab Ahbaabullah, karya Syeikh Thalib Awadallah).
*
Semenjak saat itu, Syeikh Taqiyuddin memang dijadikan musuh oleh semua raja dan penguasa Arab dan penguasa-penguasa lain di seluruh dunia, terutama negara-negara Barat. Para penguasa itu melakukan berbagai hal untuk membunuh diri dan karakter Syeikh Taqiyuddin. Salah satu caranya, yaitu dengan membayar para “ulama-ulama” terkemuka yang dapat dibayar untuk mendustakan dan membuat kebohongan kepada Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Makanya, sangat tidak mengherankan jika kemudian banyak sekali kitab-kitab dari “ulama” (dalam tanda petik) yang menyerang dan mendiskreditkan Syeikh Taqiyuddin. Oleh karena itu, jika ada kitab yang menjelekkan dan mendiskreditkan beliau, sangat mudah untuk mengeceknya, pasti “ulama” tersebut punya jabatan tertentu di pemerintahan dzalim, atau ada hubungan dengan “ulama” dzalim tersebut, atau mengidolakan “ulama” dzalim, atau sekedar terprovokasi oleh “ulama” dzalim tersebut. Ulama mukhlis tidak akan pernah menulis kitab yang isinya memfitnah ulama lain, apalagi yang berjuang untuk tegaknya Islam.
Ulama-ulama yang ikhlas, pasti lebih memilih diam jika tidak tahu hakikat yang sebenarnya; atau jika mereka telah tahu hakikatnya maka mereka pasti mendukung dan membela ulama mukhlis yang memperjuangkan Islam
Ketiga, jika yang dimaksud adalah ulama besar yang tak kenal beliau dan tak pernah membaca karya beliau, maka ini sangat wajar jika mereka tidak mendukung atau mengakui keilmuan beliau. Bagaimana seseorang bisa mengakui keilmuan orang lain, jika mereka belum kenal dengan orang tersebut atau belum membaca kitab karya ulama tersebut??? Insya Allah, orang yang sudah kenal dan membaca karya Syeikh Taqiyuddin, dengan jujur mereka akan mengakui keilmuan dan keikhlasan beliau.
Saat ini, sesungguhnya masih banyak ulama-ulama besar yang hanif dan mukhlis. Ulama-ulama yang seperti ini biasanya jauh dari hingar-bingar politik dan kekuasaan model machiavelis. Dan banyak diantara mereka yang tidak mengenal atau tidak mengetahui Syeikh Taqiyuddin dan perjuangannya. Sebab, informasi tentang Syeikh Taqiyuddin memang telah diboikot oleh para penguasa dunia saat ini, baik yang di Arab, atau non Arab. Terlebih lagi, banyak sekali informasi negatif tentang beliau, misalnya ada yang mengatakan bahwa beliau adalah gembong muktazilah gaya baru, dan lain sebagainya. Sementara itu, para ulama tadi tidak memiliki akses yang cukup atau waktu yang luang untuk tabayyun mengenai Syeikh Taqiyuddin. Akhirnya, para ulama tersebut lebih memilih diam dan tidak berkomentar apapun tentang beliau. Mereka tidak mendukung karena khawatir beliau dan perjuangannya seperti yang difitnahkan orang, tetapi mereka juga tidak mencela karena khawatir celaan tersebut merupakan fitnah bagi ulama lain.
Keempat, ulama-ulama yang mengenal beliau, mengetahui keilmuan dan keikhlasannya, serta memahami hakikat perjuangannya. Ulama-ulama ini biasanya ikut bergabung dan mendukung dakwah sesuai kemampuan masing-masing. Atau paling tidak, para ulama ini mendukung, jika tidak bisa bergabung dalam barisan dakwah karena berbagai alasan yang tidak memungkinkannya. Jumlah ulama yang seperti ini, jumlahnya sungguh sangat banyak, mungkin ratusan ribu ulama, baik yang skala internasional, nasional, atau lokal.
Untuk yang level internasional, misalnya Syeikh Abdul Qadim Zallum, Syeikh Fathy Muhammad Salim, Syeikh Ahmad Da’ur, dan masih sangat banyak lagi. Tentang masalah ini, dapat dilihat lebih detil dalam kitab Ahbabullah karya Syeikh Thalib Awadallah, atau buku Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Menegakkan Negara Khilafah Islamiyah, karya Ust Muhammad Muhsin Rodli.
Ulama-ulama seperti tersebar di berbagai benua dan dunia. Mereka berbondong-bondong mendukung dan berjuang bersama-sama menegakkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Mereka, mengikhlaskan niat dan menancapkan tekad untuk berjuang bersama komponen umat yang lain. Ulama tipe ini, tak ada yang ditakuti kecuali hanya Allah swt. Mereka tidak mengharapkan apapun kecuali ridlo dari Allah swt.
*****
Jadi, sikap para ulama terhadap Syeikh Taqiyuddin dan perjuangannya, sama dengan sikap manusia pada umumnya. Mereka yang memiliki kepentingan duniawi baik berupa pangkat seperti mufti, duduk di majlis ulama, dan mendapat berbagai fasilitas dan kemulian dari para penguasa, mereka berada di garda terdepan dalam memfitnah, mendiskreditkan dan mencaci Syeikh Taqiyuddin. Mereka berusaha sekuat tenaga agar umat semakin jauh dari ide-ide syariah dan Khilafah.
Jadi, sikap para ulama terhadap Syeikh Taqiyuddin dan perjuangannya, sama dengan sikap manusia pada umumnya. Mereka yang memiliki kepentingan duniawi baik berupa pangkat seperti mufti, duduk di majlis ulama, dan mendapat berbagai fasilitas dan kemulian dari para penguasa, mereka berada di garda terdepan dalam memfitnah, mendiskreditkan dan mencaci Syeikh Taqiyuddin. Mereka berusaha sekuat tenaga agar umat semakin jauh dari ide-ide syariah dan Khilafah.
Sementara ulama hanif, yang belum memahami dan mengetahui tentang beliau, cenderung bersikap netral, dan diam. Mereka tidak mencaci, tidak menghalangi, namun juga tidak mendukung. Mereka, masih terus melihat berkembangan. Mereka belum mengambil sikap apapun terkait masalah ini, karena memang belum mengetahui hakikat yang sebenarnya. Insya Allah, saat informasi yang valid sampai kepada mereka, mereka pasti akan mengambil sikap layaknya sikap ulama warosatul an-biya’.
Sedangkan ulama hanif yang sudah bersentuhan dengan ide-ide beliau dan mengkaji kitab beliau, mereka kemudian memutuskan untuk bergabung bersama umat untuk memperjuangkan tegaknya Islam, yaitu dengan tegaknya syariah dalam bingkai Khilafah. Mereka berada di garda terdepan dalam perjuangan mulia ini.
Sementara itu, Syeikh Taqiyuddin sendiri saat masih hidup sama sekali TIDAK BERHARAP pengakuan dari manusia atas kitab-kitab beliau dan perjuangan beliau. Beliau berjuang hanya untuk mengharap ridlo Allah swt dan berjuang untuk kebaikan umat ini. Terlebih lagi setelah beliau wafat dalam perjuangan ini. Maka setiap ada orang yang beramal kebaikan karena penjelasan beliau, maka beliau insya Allah akan mendapat pahala amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Sementara itu, jika beliau difitnah, maka kebaikan beliau akan semakin bertambah, sementara orang-orang yang memfitnah beliau amal kebaikannya akan terus berkurang hingga menjadi orang yang muflis (orang yang bangkrut). Padahal, orang yang sudah terlanjur memfitnah dan menghina beliau, tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf kepada beliua, karena beliau sudah berada di sisi Allah swt. Semoga Allah meridloi engkau wahai syeikh...
Semoga kita semua ikhlas berjuang dan tetap istiqomah dalam perjuangan hingga kita semua kembali kepada Allah swt.
Wallahu a’lam.
Oleh Ust.Choirul Anam

0 comments: