Jangan Terjerumus Ke Dalam Jebakan Politik
Kesalahan paling buruk, tapi sering dilakukan para analis politik adalah “hanya bertumpu pada hal-hal yang tampak di depan mata, atau madhahir-nya belaka, tanpa menyelami secara mendalam hakekat yang disembunyikan. Faktor kesalahan lain yang sering mendominasi cara berfikir politik seseorang adalah memisahkan analisanya dengan ideologi serta kecenderungan politik sebuah negara.
Sebagai contoh, ketika pecah perang antara negara-negara Arab dengan Israel pada tahun 1948, 1967, dan tahun-tahun setelahnya, banyak orang menyimpulkan bahwa negara Arab telah bersatu hendak melenyapkan eksistensi Israel. Simpati dan dukungan pun ditumpahkan kepada para penguasa-penguasa khianat itu. Mengapa bisa begitu? Sebab, kebanyakan orang hanya bertumpu pada madhahir-nya belaka, yakni bergeraknya pasukan negara Arab, hancurnya alat-alat perang, serta jatuhnya korban dari kaum Muslim. Padahal,siapa saja yang memperhatikan dengan seksama peristiwa itu akan mudah menyimpulkan bahwasanya perang tahun 1948 dan 1967 hanyalah sandiwara licik yang digelar para penguasa Arab, Israel, dan negara-negara barat untuk mengokohkan eksistensi negara Yahudi di Palestina.Banyak wilayah yang akhirnya diserahkan kepada Israel. Setelah itu, penguasa-penguasa Arab diam seribu bahasa, dan menyalurkan kemarahan kaum Muslim pada batas-batas kendali mereka. Kaum Muslim masih ingat, ketika pasukan Israel membombardir pasukan Yordania,tapi perintah untuk menyerang tidak pernah turun dari penguasa Yordania. Begitu pula, Mesir, Suriah, dan negara-negara Arab lainnya. Mereka menjerumuskan pasukannya sendiri pada lembah kehancuran. Begitu pula faksi-faksi bersenjata yang dibentuk oleh penguasa-penguasa Arab untuk menutupi pengkhianatan mereka pada tahun 1967, akhirnya mereka berangus sendiri. Ingatan kaum Muslim masih lekat dengan peristiwa Black September, yang mana faksi-faksi bersenjata yang dibentuk untuk memerangi Israel, dikejar-kejar dan dibunuhi oleh tentaraYordania. Lantas, masihkah orang beranggapan bahwa penguasa-penguasa itu benar-benar hendak melenyapkan eksistensi Israel? Di negeri ini, ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada masa Soekarno, banyak faksi-faksi bersenjata di perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah untuk memerangi Malaysia. Tetapi, karena keputusan politik di Jakarta, perang itu akhirnya dihentikan oleh pemerintah. Sementara itu, faksi-faksi bentukan pemerintah yang terus berperang melawan pemerintah Malaysia, akhirnya diperangi sendiri oleh TNI AD.
Sejarah terbentuknya negara-negara di Timur Tengah, mulai dari Saudi Arabia, Yordania,Turki, Emirat, Kuwait, dan lain-lain, adalah sejarah pengkhianatan dan persekongkolan. Negara-negara ini adalah bentukan barat. Banyak orang lupa, bahkan dibuat lupa dan tidak tahu, bahwasanya negara-negara brengsek itu dahulu kala tidak pernah ada dalam peta kaum Muslim.Yang dikenal oleh umat Islam adalah jazirah Arab, jazirah Syam, Maghrib, Haramain, dan lain sebagainya. Dahulu, wilayah jazirah Arab, Syams, Iran, dan Iraq, Afrika, bersatu dalam kepemimpinan Islam tunggal, Khilafah Islamiyyah. Namun, ketika nasionalisme dipropagandakan secara massif di dunia Islam, maka lambat laun, perlahan-lahan tapi pasti,musuh-musuh Islam berhasil menghancurkan kesatuan dan persatuan umat Islam. Khilafah Islamiyyah yang awalnya mampu menaungi seluruh kaum Muslim dan menyatukan mereka dalam bendera tauhid; berhasil diruntuhkan melalui persekongkolan dan intrik paling busuk. Kekuasaan Islam, yang di masa ‘Utsman bin ‘Affan ra, mencapai pegunungan Kaukasus hingga Sovyet, dipecah belah menjadi negara-negara bangsa yang tegak di atas pandangan ‘ashobiyyah dan sekulerisme. Sistem pemerintahan ajaran orang kafir –demokrasi-sekuler–, dijadikan dasar dalam praktek-praktek pemerintahan dan kenegaraan.
Dalam lintasan sejarah paling kelam, para penguasa negara-negara bentukan barat itu memerankan dirinya sebagai penjaga setia kepentingan barat di dunia Islam, bahkan kadang-kadang harus memerankan dirinya sebagai algojo yang dengan penuh ketegaan membunuhi,memenjara, dan menyiksa aktivis-aktivis yang anti barat dan pro Islam. Sikap mereka terhadap Israel, dan terhadap setiap eskalasi yang merugikan kaum Muslim, seperti invasi Amerika dan negara-negara barat ke Irak, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, juga menjadi dalil paling kuat atas pengkhianatan mereka terhadap kaum Muslim. Lantas, bagaimana kita bisa mempercayai setiap tindakan politik mereka serta opini yang mereka hembuskan melalui media-media yang setali tiga uang dengan barat. Realitas inilah yang mengharuskan para analis untuk membangun analisa politiknya berdasarkan sudut pandang yang lurus, yakni fakta dan tendensi politis sebenarnya, serta mizan sejati kita, ‘aqidah dan syariah.
Menyingkap Sikap Iran Serta Relasinya Dengan Israel, AS, dan Negara Timur Tengah
Iran sejak masa Reza Pahlevi telah memerankan peran pentingnya dalam menjaga kepentingan Amerika Serikat. Ketika Perdana Menteri Mossadegh memiliki control kuat atas pemerintahan Iran, ia mengeluarkan kebijakan nasionalisasi minyak Iran. Akibatnya, perusahaan-perusahaan minyak AS, Perancis, dan Belanda, terpaksa harus hengkang dari Iran. Kebijakan ini tentu saja mengusik kepentingan AS di Iran. Amerika Serikat, lalu membujuk Reza Pahlevi, yang saat itu tinggal di Baghdad segera mengeluarkan dekrit untuk membubarkan pemerintahan Mossadegh. Akhirnya, pada tanggal 19 Agustus 1953, dekrit pembubaran diberitakan di seluruh media massa, yang diikuti oleh rusuh massa di Iran. Kerusuhan itu memaksa Mossadegh melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri, dan diganti oleh Jenderal Zahedi. Setelah dekrit itu, Reza Pahlevi kembali ke Iran, dan mengucapkan ucapan terima kasih kepada AS dan Inggris. Sebagai imbalan, ia mengijinkan AIOC untuk kembali mengelola minyak Iran, bersama lima perusahaan minyak AS, 1 perusahaan minyak Perancis dan Belanda, SHELL.
Selama kekuasaan Reza Pavlevi, AS tetap ikut campur terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Iran. Salah satunya adalah kebijakan membentuk SAVAK, yaitu satuan polisi rahasia yang secara efektif membunuhi ribuan rakyat Iran yang anti pemerintahan Pahlevi. SAVAK sendiri berdiri atas dukungan dan rancangan CIA. Amnesty Internasional mencatat bahwa Iran memiliki tahanan politik berjumlah 2.200 pada tahun 1978. Hanya saja, ketika Reza Pahlevi sudah mulai membuat ulah yang mengganggu kepentingan AS dan Israel, maka AS dan Israel segera bertindak. AS harus segera melengserkan Pahlevi, dan mencari pengganti Pahlevi, yang dicintai rakyat Iran, tetapi bisa tetap menjaga kepentingan AS di Iran dan Timur Tengah. Operasi menjatuhkan Pahlevi pun digelar.
Jadi kita jangan terkecoh, atau membuat silogisme sederhana; bahwa orang yangmenjungkalkan Pahlevi secara otomatis adalah musuh Amerika, atau tidak mungkin dibantu AS; hanya dengan bersandar pada alasan: Pahlevi adalah pro AS, dan AS menjatuhkan Pahlevi. ASd an Barat adalah negara-negara bajingan dan brengsek yang tidak akan berfikir seribu kali untuk menjungkalkan “penguasa antek-anteknya”. Berikut ini adalah fakta-fakta yang tidak mungkinbisa dibantah:
Pada saat Khomeini berada di Perancis, yakni di Neauphle-le-Chateau; ia sering dikunjungi delegasi gedung putih dan terjadi kerjasama dengan Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Desember tahun 2000, fakta itu terungkap lewat mulut Presiden Iran Abu al-Hasan Banu Shadr (1980-1981). Ia mengatakan bahwa delegasi gedung putih datang ke Neauphle-le-Chateau, tempat Khomeini tinggal, dan ditemui oleh Yazdi, Bazarkan,Musavi, dan Erdibily. Pertemua kedua belah pihak tidak hanya terjadi sekali. Dari beberapa pertemuan tersebut ada sebuah pertemuan penting dan terkenal, yaitu pertemuan di daerah Suburbant, Perancis. Di dalam pertemuan itu disepakati perjanjian-perjanjian antara kelompok Reagen dan Bush dengan kelompok Khomeini. Khomeini menyatakan siap bekerjasama dengan AS, asalkan AS tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran. Setelah itu, pada tanggal 1 Pebruari 1979, Khomeini pulang ke Iran. AS pun menekan Shahpour Bakhtiyar untuk menyerahkan kekuasaannya, dan mengancam panglima militer Iran jika menghalangi jalan Khomeini.
Bukti persekongkolan licik nan jahat antara Khomeini dan AS juga terwajahkan pada konstitusi Iran, yang menjadikan Iran sebagaimana negeri Republik Iran yangmenerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Adapun pasal yang menyatakan “Agama resmi Iran adalah Islam dan Madzhab Ja’fariy Itsna ‘Asyar”, maka hal itu hanya pampangan kosong yang menipu. Seperti konstitusi di beberapa negeri Islam lain, yang mencantumkan asas Islam, tetapi pada prakteknya tidak sama sekali.
Begitu pula pencantuman madzhab Syi’ah dalam konstitusi negara; faktanya, bentuk negara dan sistem pemerintahan, dan mekanisme pemerintahan tidaklah merujuk pada madzhab ini, tetapi tetap merujuk pada demokrasi-kapitalisme. Sama seperti negara Saudi Arabia, yang mencantumkan madzhab Hanbali. Namun faktanya, mereka tidak menjadikan negara Saudi tegak di atas ajaran-ajaran madzhab Hanbali.
Pencantuman madzhab seperti ini dalam konstitusi negara, baik di Saudi, Iran, dan negeri lain, lebih ditujukan agar penguasa boneka itu mendapat dukungan dari kelompok tertentu didalam negeri. Pada akhir tahun 1989, masyarakat Azerbaijan berusaha memisahkan diri dari kungkungan Rusia, dan hendak menyatukan diri dengan Iran. Mereka menghancurkan perbatasan dengan Iran demi bersatu dengan Iran. Pada awal tahun 1990, Rusia membantai penduduk Azerbaijan, dan menghalangi maksud mereka yang ingin bersatu dengan Iran. Lalu, apa yang dilakukan Iran. Ternyata Iran diam seribu bahasa, dan sama sekali tidak mengulurkan tangannya untuk membantu orang-orangAzerbaijan. Padahal, mayoritas penduduk Azerbaijan adalah Muslim dan pengikut madzhab pemerintahan Iran. Iran juga tidak membantu Azerbaijan pada saat Armenia–yang disokong oleh Rusia– mencaplok 20% wilayah Azerbaijan dan membantai penduduknya; serta mengusir bangsa Azer dari wilayahnya, pada tahun 1994. Apa yang dilakukan Iran? Ternyata, Iran lebih suka mengembangkan hubungan dengan Armenia dibandingkan dengan Azerbaijan. Bahkan, Iran mendukung kelompok yang tidak ada kaitannya dengan Islam, seperti kelompok Michael Aon dan gerakan sekuler seperti gerakan Nabih Berry, dan gerakan-gerakan lain di Lebanon yang berada dalam kendali AS.
Di Lebanon, Iran mendirikan partai dari madzhab Syiah dan mempersenjatai mereka. Partai bersenjata ini akhirnya menjadi “pasukan non pemerintah” yang terpisah dengan militer Lebanon. Anehnya, pemerintah Lebanon pun mengakui eksistensi mereka, dan persenjataan mereka. Namun, pemerintah tidak mentolerir partai-partai lain memiliki persenjataan. Tahukah Anda? Pemerintah Lebanon adalah rejim sekuler yang mengikuti garis kebijakan Amerika Serikat. Perlu diketahui juga, partai yang didirikan Iran di Lebanon memberikan dukungan kepada rejim Suriah, Bashar Asad. Bahkan, partai ini melakukan intervensi ke Suriah untuk memberikan dukungan yang memadai bagi militer Bashar Asad melawan mujahidin Suriah. Apa yang dilakukan pemerintah Lebanon? Ternyata, pemerintah Lebanon yang berada di bawah control Amerika Serikat itu tidak melarang intervensi partai Iran di Lebanon ini? Mestinya, jika AS benar-benar memusuhi Bashar Asad, ia bisa saja memerintahkan penguasa Lebanon menghalangi dan melarang intervensi partai Iran tersebut ke Suriah.
Pada saat AS menduduki Irak, AS mendapat perlawanan mati-matian dari kaum Muslim Irak. Bahkan, AS berada dalam jurang kehancuran akibat perlawanan sengit para mujahidin Irak. Iran pun masuk ke Irak untuk membantu AS; dengan cara,mempengaruhi orang-orang yang berafiliasi pada madzhab Iran (Syiah) untuk menghentikan perlawanan terhadap pendudukan AS, serta memberikan sokongan kepada rejim bentukan AS di Irak. Ini terjadi pada tahun 2005. Pada saat itu, Amerika Serikat memberikan mandat kepada partai yang pro kepada Iran untuk menduduki tampuk kekuasaan di Irak, dengan pimpinan Ibrahim al-Ja’fariy, lalu berikutnya al-Malikiy. Pemerintahan ini didukung oleh AS dan terikat penuh dengan AS. Pemerintahan Maliki yang didukung Iran menandatangani perjanjian keamanan dan perjanjian strategis lain dengan Amerika Serikat untuk menjaga control AS di Irak, pasca berakhirnya pendudukan di Irak. Pejabat-pejabat pemerintahan Iran mengakui adanya kerjasama antara Iran dengan AS untuk menjaga stabilitas dan pengaruh AS di Irak. Ketika Ja’fariy terpilih, menteri luar negeri Iran waktu itu, Kamal Kharazi langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005; pada saat puncak pendudukan terjadi di Irak. Keduanya (Ja’fariy dan Kamal Kharaziy) mengecam perlawanan terhadap pendudukan AS dengan mengatasnamakan “mengecam kelompok teroris “. Al-Ja’fariy juga berkunjung ke Iran untuk menandatangani sejumlah perjanjian strategis seperti perjanjian untuk mengokohkan stabilitas keamanan, memonitor lalu lintas perbatasan, mengaitkan sambungan listrik antara Bashrah dengan Iran, membangun jalur pipa antara Bashrah dan Abdan, dan lain-lain. Presiden Ahmadinejad, pada awal tahun 2008 mengunjungi Irak. Ahmadinejad yang dalam statementnya selalu menyerang dan anti Amerika dan Yahudi, ternyata hanya berhenti pada batas statement belaka, tanpa diiringi tindakan nyata. Bahkan fakta menunjukkan persekongkolan dirinya dengan AS. Dua minggu sebelum meninggalkan tampuk kekuasaan, Ahmadinejad mengunjungi Irak dan memberikan dukungan pada rejim Maliki yang tunduk pada AS dan setia menjaga pengaruh AS di Irak. Ahmadinejad juga melakukan kunjungan ke Afghanistan tahun 2010. Saat itu Afghanistan masih dalam pendudukan AS dan Ahmadinejad memberikan dukungan kepada rejim Hamid Karzai jongosnya AS.
Iran juga melakukan hal yang sama di Yaman. Iran mendukung kelompok Houthi dan mempersenjatai mereka untuk menentang rejim Saleh, antek Inggris. Iran juga mendukung para aktivis gerakan sekuler Yaman yang menyerukan pemisahan, padahal aktivis-aktivitas itu adalah antek-anteknya AS, yang ingin membentuk sistem sekuler yang loyal terhadap AS.
Iran juga memberikan bantuan kepada AS saat pendudukannya di Afghanistan. Iran juga menyokong konstitusi yang ditetapkan Amerika. Iran juga mendukung pemerintahan Karzai yang dibentuk oleh AS. Iran juga menjamin Afghanistan Utara, ketika AS gagal mengalahkan Taliban. Mantan presiden Iran, Ali Rafsanjani berkata, “Seandainya kekuatan kami tidak membantu dalam memerangi Taliban, niscaya orang-orang Amerika akan terjatuh dalam lumpur Afghanistan”.(Al-Sharq al-Awsath, 9/2/2002). MohammadAli Abtahi, wakil mantan presiden Iran, Khatami untuk urusan perundang-undangan dan parlemen, dalam Konferensi Teluk dan Tantangan Masa Depan, yang diselenggarakan di Emirat Abu Dhabi, 13/1/2004 berkata, “Seandainya tidak ada kerjasama Iran, niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah. Tetapi, sebagai balasannya, kami dimasukkan dalam poros kejahatan”. (Islam On Line, 13/1/2004). Presiden Ahmadinejad juga mengulang-ulang pernyataan itu dalam kunjungannya ke New York, untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Dalam pertemuannya dengan surat kabar NewYork Times, 26/9/2008, ia menyatakan, “Iran memberikan tangan bantuan kepada Amerika Serikat dalam hal yang berkaitan dengan Afghanistan. Dan hasil dari bantuan-bantuan itu, presiden Amerika mengarahkan ancaman-ancaman langsung untuk melancarkan serangan militer terhadap kami. Sebagaimana negeri kami juga memberikan bantuan kepada Amerika dalam mengembalikan ketenangan dan stabilitas ke Irak”.
Terhadap program nuklir Iran, AS berkali-kali menghalangi negara Israel –atas dorongan dan dukungan negara Eropa–, untuk mengancurkan program nuklir Iran. Hingga sekarang pun, AS tetap menghalangi entitas Yahudi menghancurkan program nuklir Iran. Amerika memberi ijin kepada Israel untuk menyerang instalasi nuklir Irak yang hampir terbangun pada masa Shaddam Husein pada tahun 1981. Tetapi, AS melarang Israel menyerang instalasi nuklir Iran yang sudah memurnikan Uranium hingga kadar 20%. Ini menunjukkan bahwa AS berusaha menjaga eksistensi pemerintahan Iran untuk kepentingan AS di kawasan Timur Tengah; yaitu agar negara-negara Timur Tengah khawatir dan takut kepada Iran, yang dengan begitu eksistensi dan kelangsungan militer AS di kawasan terus terjaga. Pembicaraan program nuklir Iran sudah berlangsung sejak tahun 2003. Hanya saja, AS hanya memfokuskan diri pada sanksi, bukan pada pengurangan atau pelucutan hulu ledak. Hanya saja, AS tidak pernah serius memberikan sanksi kepada Iran, atau berusaha menyelesaikan masalah program nuklir Iran dengan tuntas. AS berusaha menakut-nakuti negara-negara Timur Tengah dengan eksistensi nuklir Iran, untuk menciptakan ketergantungan negara-negara Timur Tengah terhadap pengaruh dan kekuatan militer AS.
Fakta-fakta di atas setidaknya memberi kesadaran kepada kita, bahwasanya garis kebijakan Iran, tetap sejalan dengan garis kebijakan AS pada batas-batas tertentu. Untuk menutupi kebusukan-kebusukan ini semua, Iran terus mendengang-dengungkan retorika menyebalkan “anti Amerika dan Israel”, yang tidak pernah terbukti pada tindakan nyata. Seperti orang yang berteriak lantang dengan suara tinggi “jalan ke kiri”, tetapi, ia berjalan ke arah sebaliknya.
Wallahu A’lam Bish Shawab
(Fathiy Syamsuddin / Ramadhan An Nawiy)
syamsuddinramadlan@gmail.com
[sumber]
*
Kesalahan paling buruk, tapi sering dilakukan para analis politik adalah “hanya bertumpu pada hal-hal yang tampak di depan mata, atau madhahir-nya belaka, tanpa menyelami secara mendalam hakekat yang disembunyikan. Faktor kesalahan lain yang sering mendominasi cara berfikir politik seseorang adalah memisahkan analisanya dengan ideologi serta kecenderungan politik sebuah negara.
Sebagai contoh, ketika pecah perang antara negara-negara Arab dengan Israel pada tahun 1948, 1967, dan tahun-tahun setelahnya, banyak orang menyimpulkan bahwa negara Arab telah bersatu hendak melenyapkan eksistensi Israel. Simpati dan dukungan pun ditumpahkan kepada para penguasa-penguasa khianat itu. Mengapa bisa begitu? Sebab, kebanyakan orang hanya bertumpu pada madhahir-nya belaka, yakni bergeraknya pasukan negara Arab, hancurnya alat-alat perang, serta jatuhnya korban dari kaum Muslim. Padahal,siapa saja yang memperhatikan dengan seksama peristiwa itu akan mudah menyimpulkan bahwasanya perang tahun 1948 dan 1967 hanyalah sandiwara licik yang digelar para penguasa Arab, Israel, dan negara-negara barat untuk mengokohkan eksistensi negara Yahudi di Palestina.Banyak wilayah yang akhirnya diserahkan kepada Israel. Setelah itu, penguasa-penguasa Arab diam seribu bahasa, dan menyalurkan kemarahan kaum Muslim pada batas-batas kendali mereka. Kaum Muslim masih ingat, ketika pasukan Israel membombardir pasukan Yordania,tapi perintah untuk menyerang tidak pernah turun dari penguasa Yordania. Begitu pula, Mesir, Suriah, dan negara-negara Arab lainnya. Mereka menjerumuskan pasukannya sendiri pada lembah kehancuran. Begitu pula faksi-faksi bersenjata yang dibentuk oleh penguasa-penguasa Arab untuk menutupi pengkhianatan mereka pada tahun 1967, akhirnya mereka berangus sendiri. Ingatan kaum Muslim masih lekat dengan peristiwa Black September, yang mana faksi-faksi bersenjata yang dibentuk untuk memerangi Israel, dikejar-kejar dan dibunuhi oleh tentaraYordania. Lantas, masihkah orang beranggapan bahwa penguasa-penguasa itu benar-benar hendak melenyapkan eksistensi Israel? Di negeri ini, ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada masa Soekarno, banyak faksi-faksi bersenjata di perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah untuk memerangi Malaysia. Tetapi, karena keputusan politik di Jakarta, perang itu akhirnya dihentikan oleh pemerintah. Sementara itu, faksi-faksi bentukan pemerintah yang terus berperang melawan pemerintah Malaysia, akhirnya diperangi sendiri oleh TNI AD.
Sejarah terbentuknya negara-negara di Timur Tengah, mulai dari Saudi Arabia, Yordania,Turki, Emirat, Kuwait, dan lain-lain, adalah sejarah pengkhianatan dan persekongkolan. Negara-negara ini adalah bentukan barat. Banyak orang lupa, bahkan dibuat lupa dan tidak tahu, bahwasanya negara-negara brengsek itu dahulu kala tidak pernah ada dalam peta kaum Muslim.Yang dikenal oleh umat Islam adalah jazirah Arab, jazirah Syam, Maghrib, Haramain, dan lain sebagainya. Dahulu, wilayah jazirah Arab, Syams, Iran, dan Iraq, Afrika, bersatu dalam kepemimpinan Islam tunggal, Khilafah Islamiyyah. Namun, ketika nasionalisme dipropagandakan secara massif di dunia Islam, maka lambat laun, perlahan-lahan tapi pasti,musuh-musuh Islam berhasil menghancurkan kesatuan dan persatuan umat Islam. Khilafah Islamiyyah yang awalnya mampu menaungi seluruh kaum Muslim dan menyatukan mereka dalam bendera tauhid; berhasil diruntuhkan melalui persekongkolan dan intrik paling busuk. Kekuasaan Islam, yang di masa ‘Utsman bin ‘Affan ra, mencapai pegunungan Kaukasus hingga Sovyet, dipecah belah menjadi negara-negara bangsa yang tegak di atas pandangan ‘ashobiyyah dan sekulerisme. Sistem pemerintahan ajaran orang kafir –demokrasi-sekuler–, dijadikan dasar dalam praktek-praktek pemerintahan dan kenegaraan.
Dalam lintasan sejarah paling kelam, para penguasa negara-negara bentukan barat itu memerankan dirinya sebagai penjaga setia kepentingan barat di dunia Islam, bahkan kadang-kadang harus memerankan dirinya sebagai algojo yang dengan penuh ketegaan membunuhi,memenjara, dan menyiksa aktivis-aktivis yang anti barat dan pro Islam. Sikap mereka terhadap Israel, dan terhadap setiap eskalasi yang merugikan kaum Muslim, seperti invasi Amerika dan negara-negara barat ke Irak, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, juga menjadi dalil paling kuat atas pengkhianatan mereka terhadap kaum Muslim. Lantas, bagaimana kita bisa mempercayai setiap tindakan politik mereka serta opini yang mereka hembuskan melalui media-media yang setali tiga uang dengan barat. Realitas inilah yang mengharuskan para analis untuk membangun analisa politiknya berdasarkan sudut pandang yang lurus, yakni fakta dan tendensi politis sebenarnya, serta mizan sejati kita, ‘aqidah dan syariah.
Menyingkap Sikap Iran Serta Relasinya Dengan Israel, AS, dan Negara Timur Tengah
Iran sejak masa Reza Pahlevi telah memerankan peran pentingnya dalam menjaga kepentingan Amerika Serikat. Ketika Perdana Menteri Mossadegh memiliki control kuat atas pemerintahan Iran, ia mengeluarkan kebijakan nasionalisasi minyak Iran. Akibatnya, perusahaan-perusahaan minyak AS, Perancis, dan Belanda, terpaksa harus hengkang dari Iran. Kebijakan ini tentu saja mengusik kepentingan AS di Iran. Amerika Serikat, lalu membujuk Reza Pahlevi, yang saat itu tinggal di Baghdad segera mengeluarkan dekrit untuk membubarkan pemerintahan Mossadegh. Akhirnya, pada tanggal 19 Agustus 1953, dekrit pembubaran diberitakan di seluruh media massa, yang diikuti oleh rusuh massa di Iran. Kerusuhan itu memaksa Mossadegh melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri, dan diganti oleh Jenderal Zahedi. Setelah dekrit itu, Reza Pahlevi kembali ke Iran, dan mengucapkan ucapan terima kasih kepada AS dan Inggris. Sebagai imbalan, ia mengijinkan AIOC untuk kembali mengelola minyak Iran, bersama lima perusahaan minyak AS, 1 perusahaan minyak Perancis dan Belanda, SHELL.
Selama kekuasaan Reza Pavlevi, AS tetap ikut campur terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Iran. Salah satunya adalah kebijakan membentuk SAVAK, yaitu satuan polisi rahasia yang secara efektif membunuhi ribuan rakyat Iran yang anti pemerintahan Pahlevi. SAVAK sendiri berdiri atas dukungan dan rancangan CIA. Amnesty Internasional mencatat bahwa Iran memiliki tahanan politik berjumlah 2.200 pada tahun 1978. Hanya saja, ketika Reza Pahlevi sudah mulai membuat ulah yang mengganggu kepentingan AS dan Israel, maka AS dan Israel segera bertindak. AS harus segera melengserkan Pahlevi, dan mencari pengganti Pahlevi, yang dicintai rakyat Iran, tetapi bisa tetap menjaga kepentingan AS di Iran dan Timur Tengah. Operasi menjatuhkan Pahlevi pun digelar.
Jadi kita jangan terkecoh, atau membuat silogisme sederhana; bahwa orang yangmenjungkalkan Pahlevi secara otomatis adalah musuh Amerika, atau tidak mungkin dibantu AS; hanya dengan bersandar pada alasan: Pahlevi adalah pro AS, dan AS menjatuhkan Pahlevi. ASd an Barat adalah negara-negara bajingan dan brengsek yang tidak akan berfikir seribu kali untuk menjungkalkan “penguasa antek-anteknya”. Berikut ini adalah fakta-fakta yang tidak mungkinbisa dibantah:
Pada saat Khomeini berada di Perancis, yakni di Neauphle-le-Chateau; ia sering dikunjungi delegasi gedung putih dan terjadi kerjasama dengan Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Desember tahun 2000, fakta itu terungkap lewat mulut Presiden Iran Abu al-Hasan Banu Shadr (1980-1981). Ia mengatakan bahwa delegasi gedung putih datang ke Neauphle-le-Chateau, tempat Khomeini tinggal, dan ditemui oleh Yazdi, Bazarkan,Musavi, dan Erdibily. Pertemua kedua belah pihak tidak hanya terjadi sekali. Dari beberapa pertemuan tersebut ada sebuah pertemuan penting dan terkenal, yaitu pertemuan di daerah Suburbant, Perancis. Di dalam pertemuan itu disepakati perjanjian-perjanjian antara kelompok Reagen dan Bush dengan kelompok Khomeini. Khomeini menyatakan siap bekerjasama dengan AS, asalkan AS tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran. Setelah itu, pada tanggal 1 Pebruari 1979, Khomeini pulang ke Iran. AS pun menekan Shahpour Bakhtiyar untuk menyerahkan kekuasaannya, dan mengancam panglima militer Iran jika menghalangi jalan Khomeini.
Bukti persekongkolan licik nan jahat antara Khomeini dan AS juga terwajahkan pada konstitusi Iran, yang menjadikan Iran sebagaimana negeri Republik Iran yangmenerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Adapun pasal yang menyatakan “Agama resmi Iran adalah Islam dan Madzhab Ja’fariy Itsna ‘Asyar”, maka hal itu hanya pampangan kosong yang menipu. Seperti konstitusi di beberapa negeri Islam lain, yang mencantumkan asas Islam, tetapi pada prakteknya tidak sama sekali.
Begitu pula pencantuman madzhab Syi’ah dalam konstitusi negara; faktanya, bentuk negara dan sistem pemerintahan, dan mekanisme pemerintahan tidaklah merujuk pada madzhab ini, tetapi tetap merujuk pada demokrasi-kapitalisme. Sama seperti negara Saudi Arabia, yang mencantumkan madzhab Hanbali. Namun faktanya, mereka tidak menjadikan negara Saudi tegak di atas ajaran-ajaran madzhab Hanbali.
Pencantuman madzhab seperti ini dalam konstitusi negara, baik di Saudi, Iran, dan negeri lain, lebih ditujukan agar penguasa boneka itu mendapat dukungan dari kelompok tertentu didalam negeri. Pada akhir tahun 1989, masyarakat Azerbaijan berusaha memisahkan diri dari kungkungan Rusia, dan hendak menyatukan diri dengan Iran. Mereka menghancurkan perbatasan dengan Iran demi bersatu dengan Iran. Pada awal tahun 1990, Rusia membantai penduduk Azerbaijan, dan menghalangi maksud mereka yang ingin bersatu dengan Iran. Lalu, apa yang dilakukan Iran. Ternyata Iran diam seribu bahasa, dan sama sekali tidak mengulurkan tangannya untuk membantu orang-orangAzerbaijan. Padahal, mayoritas penduduk Azerbaijan adalah Muslim dan pengikut madzhab pemerintahan Iran. Iran juga tidak membantu Azerbaijan pada saat Armenia–yang disokong oleh Rusia– mencaplok 20% wilayah Azerbaijan dan membantai penduduknya; serta mengusir bangsa Azer dari wilayahnya, pada tahun 1994. Apa yang dilakukan Iran? Ternyata, Iran lebih suka mengembangkan hubungan dengan Armenia dibandingkan dengan Azerbaijan. Bahkan, Iran mendukung kelompok yang tidak ada kaitannya dengan Islam, seperti kelompok Michael Aon dan gerakan sekuler seperti gerakan Nabih Berry, dan gerakan-gerakan lain di Lebanon yang berada dalam kendali AS.
Di Lebanon, Iran mendirikan partai dari madzhab Syiah dan mempersenjatai mereka. Partai bersenjata ini akhirnya menjadi “pasukan non pemerintah” yang terpisah dengan militer Lebanon. Anehnya, pemerintah Lebanon pun mengakui eksistensi mereka, dan persenjataan mereka. Namun, pemerintah tidak mentolerir partai-partai lain memiliki persenjataan. Tahukah Anda? Pemerintah Lebanon adalah rejim sekuler yang mengikuti garis kebijakan Amerika Serikat. Perlu diketahui juga, partai yang didirikan Iran di Lebanon memberikan dukungan kepada rejim Suriah, Bashar Asad. Bahkan, partai ini melakukan intervensi ke Suriah untuk memberikan dukungan yang memadai bagi militer Bashar Asad melawan mujahidin Suriah. Apa yang dilakukan pemerintah Lebanon? Ternyata, pemerintah Lebanon yang berada di bawah control Amerika Serikat itu tidak melarang intervensi partai Iran di Lebanon ini? Mestinya, jika AS benar-benar memusuhi Bashar Asad, ia bisa saja memerintahkan penguasa Lebanon menghalangi dan melarang intervensi partai Iran tersebut ke Suriah.
Pada saat AS menduduki Irak, AS mendapat perlawanan mati-matian dari kaum Muslim Irak. Bahkan, AS berada dalam jurang kehancuran akibat perlawanan sengit para mujahidin Irak. Iran pun masuk ke Irak untuk membantu AS; dengan cara,mempengaruhi orang-orang yang berafiliasi pada madzhab Iran (Syiah) untuk menghentikan perlawanan terhadap pendudukan AS, serta memberikan sokongan kepada rejim bentukan AS di Irak. Ini terjadi pada tahun 2005. Pada saat itu, Amerika Serikat memberikan mandat kepada partai yang pro kepada Iran untuk menduduki tampuk kekuasaan di Irak, dengan pimpinan Ibrahim al-Ja’fariy, lalu berikutnya al-Malikiy. Pemerintahan ini didukung oleh AS dan terikat penuh dengan AS. Pemerintahan Maliki yang didukung Iran menandatangani perjanjian keamanan dan perjanjian strategis lain dengan Amerika Serikat untuk menjaga control AS di Irak, pasca berakhirnya pendudukan di Irak. Pejabat-pejabat pemerintahan Iran mengakui adanya kerjasama antara Iran dengan AS untuk menjaga stabilitas dan pengaruh AS di Irak. Ketika Ja’fariy terpilih, menteri luar negeri Iran waktu itu, Kamal Kharazi langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005; pada saat puncak pendudukan terjadi di Irak. Keduanya (Ja’fariy dan Kamal Kharaziy) mengecam perlawanan terhadap pendudukan AS dengan mengatasnamakan “mengecam kelompok teroris “. Al-Ja’fariy juga berkunjung ke Iran untuk menandatangani sejumlah perjanjian strategis seperti perjanjian untuk mengokohkan stabilitas keamanan, memonitor lalu lintas perbatasan, mengaitkan sambungan listrik antara Bashrah dengan Iran, membangun jalur pipa antara Bashrah dan Abdan, dan lain-lain. Presiden Ahmadinejad, pada awal tahun 2008 mengunjungi Irak. Ahmadinejad yang dalam statementnya selalu menyerang dan anti Amerika dan Yahudi, ternyata hanya berhenti pada batas statement belaka, tanpa diiringi tindakan nyata. Bahkan fakta menunjukkan persekongkolan dirinya dengan AS. Dua minggu sebelum meninggalkan tampuk kekuasaan, Ahmadinejad mengunjungi Irak dan memberikan dukungan pada rejim Maliki yang tunduk pada AS dan setia menjaga pengaruh AS di Irak. Ahmadinejad juga melakukan kunjungan ke Afghanistan tahun 2010. Saat itu Afghanistan masih dalam pendudukan AS dan Ahmadinejad memberikan dukungan kepada rejim Hamid Karzai jongosnya AS.
Iran juga melakukan hal yang sama di Yaman. Iran mendukung kelompok Houthi dan mempersenjatai mereka untuk menentang rejim Saleh, antek Inggris. Iran juga mendukung para aktivis gerakan sekuler Yaman yang menyerukan pemisahan, padahal aktivis-aktivitas itu adalah antek-anteknya AS, yang ingin membentuk sistem sekuler yang loyal terhadap AS.
Iran juga memberikan bantuan kepada AS saat pendudukannya di Afghanistan. Iran juga menyokong konstitusi yang ditetapkan Amerika. Iran juga mendukung pemerintahan Karzai yang dibentuk oleh AS. Iran juga menjamin Afghanistan Utara, ketika AS gagal mengalahkan Taliban. Mantan presiden Iran, Ali Rafsanjani berkata, “Seandainya kekuatan kami tidak membantu dalam memerangi Taliban, niscaya orang-orang Amerika akan terjatuh dalam lumpur Afghanistan”.(Al-Sharq al-Awsath, 9/2/2002). MohammadAli Abtahi, wakil mantan presiden Iran, Khatami untuk urusan perundang-undangan dan parlemen, dalam Konferensi Teluk dan Tantangan Masa Depan, yang diselenggarakan di Emirat Abu Dhabi, 13/1/2004 berkata, “Seandainya tidak ada kerjasama Iran, niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah. Tetapi, sebagai balasannya, kami dimasukkan dalam poros kejahatan”. (Islam On Line, 13/1/2004). Presiden Ahmadinejad juga mengulang-ulang pernyataan itu dalam kunjungannya ke New York, untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Dalam pertemuannya dengan surat kabar NewYork Times, 26/9/2008, ia menyatakan, “Iran memberikan tangan bantuan kepada Amerika Serikat dalam hal yang berkaitan dengan Afghanistan. Dan hasil dari bantuan-bantuan itu, presiden Amerika mengarahkan ancaman-ancaman langsung untuk melancarkan serangan militer terhadap kami. Sebagaimana negeri kami juga memberikan bantuan kepada Amerika dalam mengembalikan ketenangan dan stabilitas ke Irak”.
Terhadap program nuklir Iran, AS berkali-kali menghalangi negara Israel –atas dorongan dan dukungan negara Eropa–, untuk mengancurkan program nuklir Iran. Hingga sekarang pun, AS tetap menghalangi entitas Yahudi menghancurkan program nuklir Iran. Amerika memberi ijin kepada Israel untuk menyerang instalasi nuklir Irak yang hampir terbangun pada masa Shaddam Husein pada tahun 1981. Tetapi, AS melarang Israel menyerang instalasi nuklir Iran yang sudah memurnikan Uranium hingga kadar 20%. Ini menunjukkan bahwa AS berusaha menjaga eksistensi pemerintahan Iran untuk kepentingan AS di kawasan Timur Tengah; yaitu agar negara-negara Timur Tengah khawatir dan takut kepada Iran, yang dengan begitu eksistensi dan kelangsungan militer AS di kawasan terus terjaga. Pembicaraan program nuklir Iran sudah berlangsung sejak tahun 2003. Hanya saja, AS hanya memfokuskan diri pada sanksi, bukan pada pengurangan atau pelucutan hulu ledak. Hanya saja, AS tidak pernah serius memberikan sanksi kepada Iran, atau berusaha menyelesaikan masalah program nuklir Iran dengan tuntas. AS berusaha menakut-nakuti negara-negara Timur Tengah dengan eksistensi nuklir Iran, untuk menciptakan ketergantungan negara-negara Timur Tengah terhadap pengaruh dan kekuatan militer AS.
Fakta-fakta di atas setidaknya memberi kesadaran kepada kita, bahwasanya garis kebijakan Iran, tetap sejalan dengan garis kebijakan AS pada batas-batas tertentu. Untuk menutupi kebusukan-kebusukan ini semua, Iran terus mendengang-dengungkan retorika menyebalkan “anti Amerika dan Israel”, yang tidak pernah terbukti pada tindakan nyata. Seperti orang yang berteriak lantang dengan suara tinggi “jalan ke kiri”, tetapi, ia berjalan ke arah sebaliknya.
Wallahu A’lam Bish Shawab
(Fathiy Syamsuddin / Ramadhan An Nawiy)
syamsuddinramadlan@gmail.com
[sumber]
1 comments:
ijin simak dulu aja gan