Untuk mengendorkan motivasi umat Islam dalam memperjuangkan khilafah, orang-orang yang menolak khilafah atau yang agak malu-malu untuk menolaknya sering mengatakan, “khilafah memang wajib menurut sebagian ulama, tapi dalilnya tidak qath’i, kewajiban khilafah ini hanya masalah ijtihadi saja”. Tujuan perkataan itu adalah ingin meyakinkan umat Islam bahwa khilafah bukan satu-satunya pilihan, khilafah bukan hukum qath’i yang mengikat umat Islam sehingga tidak ada pilihan lain selain khilafah. Sebab, ketika khilafah
itu hanya “sekedar ijtihad”, berarti masih sah untuk menandinginya
dengan “ijtihad” yang lain. Jawabnya untuk pernyataan tersebut minimal
ada tiga:
Jawaban Pertama
Sejak kapan kita diharuskan untuk mengajukan dalil qath’i dalam menetapkan hukum syara’? masalah khilafah
–apakah wajib atau tidak- merupakan kajian hukum syara’, bukan masalah
aqidah. Sementara, sudah umum diketahui bahwa penetapan hukum syara’ itu
tidak mengharuskan dalil qath’i, cukup dalil yang bersifat dzonni yang
dianggap rajih (kuat) saja. Maka untuk mengatakan bahwa khilafah itu
wajib kita memang tidak diharuskan mendatangkan dalil qath’i, cukup
dalil-dalil yang dianggap kuat.
Sama seperti pendapat mayoritas ulama
yang menyatakan bahwa zakat fittrah hukumnya wajib. Mereka cukup
mendatangkan dalil dzonni yang dipandang rajih untuk menetapkan
kewajiban tersebut (perlu diketahui bahwa dalam masalah ini ada
khilafiyah, sebagian ulama Malikiyah generasi awal hanya mensunahkan
zakat fitrah dengan dalil-dalil mereka). Contoh lain adalah khitan bagi
laki-laki. Jumhur ulama mengatakan hukumnya wajib, namun apakah mereka
punya dalil qath’i yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa khitan bagi
laki-laki itu wajib? (ingat, sebagian kecil ulama hanya mensunahkan
khitan bagi laki-laki dengan berpegang pada beberapa dalil). Contoh
lain adalah kewajiban membasuh kaki dalam wudhu. Dalilnya juga tidak
qath’i, maka kita temukan ada segelintir ulama yang mengatakan bahwa
kaki tidak perlu dibasuh dalam wudhu, cukup diusap saja.
Lantas jika demikian apakah kita
kemudian boleh dengan seenaknya mengabaikan kewajiban-kewajiban yang ada
hanya dengan alasan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut tidak didukung
oleh dalil qath’i tanpa alasan yang matang? Apakah kita pantas
mengatakan, “tidak perlu zakat fitrah, toh dalilnya tidak qath’i”, atau
“anak kita tidak perlu dikhitan karena khitan memang wajib, tapi
dalilnya tidak qath’i”, atau “tidak perlu harus membasuh kaki dalam
wudhu, bisa diusap saja, karena dalil membasuh tidak qath’i”, apa
begitu? Tentu saja tidak kan?
Untuk menolak kewajiban-kewajiban yang
tidak qath’i itu kita harus menghadirkan dalil-dalil syara’ yang lebih
kuat dari dalil-dalil yang digunakan untuk mewajibkannya. Maka, untuk
menolak khilafah, kita jangan hanya mengatakan “ah dalil khilafah tidak
qath’i”, tapi, kita harus mengajukan dalil-dalil syara’ yang lebih kuat
yang menunjukkan bahwa khilafah itu tidak wajib guna menolak kewajiban
khilafah. Jika kita tidak mampu menghadirkannya, maka sudah
selayaknyalah kita menerima kewajiban tersebut berikut dalil-dalilnya.
Jawaban Kedua
Jika dikatakan bahwa khilafah itu
“hanya” hasil ijtihad, maka dengan bahagia saya katakan: “Alhamdulillah,
khilafah adalah hasil ijtihad jumhur ulama’, sedangkan sistem
pemerintahan lain, seperti sistem demokrasi, sama sekali bukan
dihasilkan dari proses ijtihad, samasekali tidak diambil dari
dalil-dalil syara’, dan tidak ada kaitannya dengan Islam”.
Saya katakan demikian karena suatu hasil
ijtihad sebenarnya bukanlah gagasan yang bisa kita anggap sebagai
sekedar “pendapat manusia” layaknya pendapat John Locke atau Plato. Itu
karena ijtihad maknanya -menurut al-Amidi- adalah “mencurahkan semua
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai dalam
batas merasa tidak mampu lagi untuk mendapatkan tambahan kemampuannya
itu”.
Dari definisi di atas, kita dapat
memahami bahwa ijtihad adalah usaha maksimal dari seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum syara’ dari suatu masalah. Maka, hasil ijtihad adalah
hukum syara’ yang telah dipahami dengan sekuat tenaga oleh seseorang
yang memiliki keahlian dalam menggali hukum-hukum syara’ dari
sumber-sumbernya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Seorang mujtahid ketika
berijtihad tidak melakukan perenungan untuk menggali pendapatnya
sendiri, melainkan dia meneliti nash-nash syara’ untuk menggali dan
mendapatkan hukum Allah atas masalah yang ingin ia ketahui hukumnya.
Maka, kemampuan yang dimaksud di sana adalah kemampuan berijtihad,
berupa ketrampilan untuk menggunakan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang
diperlukan untuk menggali hukum syara’, baik kaidah-kaidah syar’i maupun
kaidah-kaidah kebahasa-araban.
Di sisi lain, manusia yang merumuskan
pemikirannya tanpa mengacu pada nash-nash syara’, gagasannya tidak
digali dari dalil-dalil syara’; tidak dilakukan dengan mengerahkan
segala ilmu yang diperlukan dalam memahami dalil-dalil syara’; dan tidak
dilakukan dalam rangka mengungkap hukum Allah dalam suatu masalah yang
bersifat dzonni, maka pemikiran yang dihasilkannya itu tidak layak
disebut ijtihad. Oleh karena itu, pemikiran manusia seperti Socrates,
Aristoteles, John Locke, Rouseou, Bentham, Marx dll tidak bisa
disetarakan dengan hukum syara’ yang dihasikan melalui proses ijtihad
yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri,
Syafi’i, Dawud adz-dzohiri, dll. Sebab, kelompok pertama adalah : para
pemikir yang berfikir untuk menggali pemikiran mereka sendiri; sedangkan
kelompok kedua adalah: para mujtahid yang berfikir dan mengerahkan ilmu
mereka untuk menggali hukum Allah dari dalil-dalil syara’. Kelompok
pertama sekedar menghasilkan “gagasan manusia”, sedangkan kelompok kedua
menghasilkan “hukum syara’” meski bersifat dzonni karena ada dalam
batas usaha manusia untuk memahaminya.
Maka dari itu, jika benar bahwa khilafah
“hanya” hasil ijtihad para ulama, maka ini sama sekali bukan cela.
Justru ini merupakan pujian. Sebab, hasil ijtihad para ulama adalah
hukum syara’ yang lahir dari usaha maksimal para ulama dalam menelaah
dalil-dalil syara’ dengan ilmu yang mereka miliki. Sehingga, dengan
bahagia saya mengatakan, “alhamdulillah, khilafah adalah hukum syara’,
hasil ijtihad yang digali oleh para ulama dari nash-nash syara’,
sedangkan sistem yang lain, seperti demokrasi, hanyalah hasil usaha
manusia dalam memeras gagasan mereka sendiri tentang pemerintahan yang
ideal”.
Yang Ketiga:
Oke-lah jika kita mau meremehkan
khilafah karena khilafah itu “hanya” ijtihad, bukan hukum yang qath’i.
Tapi bagaimana jika ijtihad itu dihasilkan oleh hampir seluruh ulama dan
hanya segeelintir orang yang menolaknya? Kita telah menyatakan bahwa
ada perselisihan dalam hukum zakat fitrah, dimana sebagian ulama
malikiyah generasi awal tidak mewajibkannya dan menganggapnya sebagai
amalan sunnah saja. Namun, dalam kenyataannya, meski terjadi perbedaan
pendapat, kita tidak berani seenaknya mengatakan “kita tidak perlu
bersikeras mengamalkan zakat fitrah, toh ada perbedaan pendapat dalam
hal itu”. Jika dalam soal yang terkenal diperselisihkan saja kita tidak
berani mengkatakan seperti itu, lantas bagaimana terhadap khilafah atau
imamah yang kewajibannya hampir menjadi kesepakatan seluruh ulama?
(kecuali sedikit yang menolaknya)
Yang saya maksud dengan khilafah adalah
batasan minimal khilafah, yakni kepemimpinan umum (imamah) atas umat
Islam di seburuh dunia yang berfungsi untuk menegakkan syariah dan
mengemban dakwah ke seluruh penjuru bumi, inilah yang menjadi
kesepahaman bersama di antara ulama-ulama yang kredibel di tengah umat.
Terkait dengan hal ini, Ibnu Hazm
menyatakan: “Seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Mu’tazilah,
seluruh Syi’ah dan seluruh Khowarij sepakat mengenai wajibnya imamah, dan (sepakat) bahwa fardhu dan wajib bagi umat untuk tunduk kepada seorang imam
yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, serta
mengurus mereka dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah saw kecuali
golongan Najdat dari khowarij”.[1] Beliau juga menyatakan, “dan mereka
bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam
itu saling sepakat (berdamai) atau pun tidak (berebut), baik keduanya
di tempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda.”[2]
Imam Adz-Dzahabi menyatakan: “Ahlus
Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Khowarij dan Syi’ah telah menyepakati
kewajiban Imamah serta (menyepakati) bahwa wajib bagi umat untuk tunduk
kepada seorang imam yang adil, kecuali kelompok Najdiyah dari golongan
Khowarij, mereka berkata: imamah tidaklah wajib, manusia hanyalah wajib
menjalankan kebenaran (al haq) di tengah-tengah kehidupan mereka, dan
ini pendapat yang gugur. Semua kelompok yang kami sebutkan sebelumya
sepakat bahwa hanya boleh ada satu imam dalam satu waktu, kecuali
Muhammad bin Karrom dan Abu Shobbah As Samarqondi beserta pengikut
mereka berdua, mereka membolehkan keberadaan dua imam atau lebih dalam
satu waktu.” [3]
Syaikh Abdur Rahman Al-Jazairi
menyatakan, “Para imam -semoga Allah merahmati mereka- telah bersepakat
bahwa Al Imamah itu wajib, sebab umat harus memiliki seorang pemimpin
guna menegakkan syariat-syariat agama serta membela orang-orang yang
terdzolimi dari kedzaliman orang-orang dzalim, dan bahwa tidak boleh ada
dua orang imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu waktu,
baik dua imam tersebut saling sepakat atau pun tidak.”[4]
Demikianlah, kewajiban akan adanya
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang imam atau khalifah bagi seluruh
umat Islam didunia ini hampir menjadi kesepahaman para ulama. Lantas
apakah kita akan menyepelekan pendapat mereka itu dan menyatakan bahwa
khilafah “sekedar” ijtihad yang tidak mengikat pilihan umat Islam pada
masa sekarang?
Wallahu a’lam (Ust.Titok Priastomo)
[1] Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal, juz IV (Beirut: Dar al-Jil, 1996) h. 150
[2] Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma’ fi al-Ibadat wa al-Mu’amalat wa al-Mu’taqadat (Beirut:Dar al-Afaq al-Jadidah) h.144
[3] Syamsuddin adz-Dzahabi, al-Muqaddimah az-Zahra fi Idhah al-Imamah al-Kubra (Kairo: Dar al-Furqan, 2008) h.12
[4] Abdur Rahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Kairo: Dar al-Hadits, 2004) h. 321
0 comments: