Oleh : Ustadz Fahmi Suwaedi
Bisakah Islam ditegakkan dengan demokrasi? Jawabannya panjang, berderet contoh membentang. Namun Mesir hari ini menjadi jawaban yang belum selesai.
Presiden Muhammad Mursi mengukir prestasi yang cukup cemerlang. Belum lama berselang ia sukses melobi Amerika Serikat agar menekan Israel menghentikan serangannya ke Gaza. Tak hanya lobi, PM Hisham Qandil dikirim ke Gaza 16 November lalu.
Keberadaan Qandil di Gaza memaksa Israel menghentikan serangan. Kalau sampai pemimpin Mesir itu terluka atau tewas, Israel mencari gara-gara dengan Mesir dan dunia Arab.
Sebelumnya, Mursi berhasil membersihkan militer dari elemen-elemen pendukung Mubarak. Salah satu tantangan tersulit bagi gerakan Islam yang berhadapan dengan rejim militer sekuler, meskipun sukses meraih kekuasaan, adalah mencopot pengaruh para perwira rejim.
Turki contohnya, meskipun dulu memenangkan pemilu, PM Erbakan dari partai Refah malah digulingkan oleh militer. Sebelumnya nasib lebih tragis malah dialami oleh PM Adnan Mandres, digantung rejim militer karena dianggap mengkhianati konstitusi dan mencoba mengembalikan Islam.
Di Mesir, agaknya Ikhwanul Muslimin (IM) telah belajar dari pengalaman Turki. Pagi-pagi Mursi sudah mencopot petinggi militer yang diwariskan oleh rejim Mubarak. Akademi Militer, lembaga pengkaderan perwira militer, segera mengubah regulasi yang menghalangi masuknya para aktifis Islam. Kini Muslim berjenggot dan Muslimah berjilbab boleh menempuh karir sebagai perwira militer.
Namun kerja Mursi, didukung 75 persen suara IM dan partai Salafi, masih terlalu prematur untuk disebut sebagai kemenangan gerakan Islam di Mesir. Demo dan rusuh beberapa hari terakhir menggoyang Mesir. Kebijakan Presiden Mursi memecat Jaksa Agung, karena dianggap membebaskan pengaruh dari para kroni Husni Mobarak menuai gugatan.
Untuk meredamnya, Mursi mengeluarkan dekrit yang memberangus setiap upaya menghalangi langkahnya. Baik secara hukum melalui jalur pengadilan, maupun secara politik melalui parlemen.
Namun dekrit itu justru memicu klimaks sikap oposan terhadap Mursi, ia dianggap memusatkan seluruh kekuasaan negara di tangannya sendiri. Sebuah tindakan yang diharamkan dalam “syariat demokrasi.”
Rival politik Mursi, Muhammad el Baradai, mantan petinggi IAEA dukungan Barat yang digadang-gadang terpilih jadi pemimpin Mesir namun kalah; menyebut Mursi sebagai “Fir’aun baru.”
Sebenarnya, kebijakan Mursi beralasan kuat, sapu kotor seperti jaksa agung yang dekat dengan rejim lama harus disingkirkan untuk membersihkan kotoran era Mubarak yang menumpuk tebal. Namun sebagai aktor di panggung demokrasi yang punya pakem dan aturan sendiri, menurut mereka aksi Mursi itu dianggap mengkhianati demokrasi.
Pemenang dalam kompetisi demokrasi harus tunduk dalam aturan main demokrasi pula.
Ia juga harus berbagi kekuasaan dengan elemen lain. Biarpun elemen tadi termasuk dalam pendukung sistem tiran yang baru digulingkan.
Inilah pengalaman pahit Natsir dan Masyumi di Indonesia, Erbakan dan Refah di Turki serta FIS di Aljazair. Mereka menjadi juara dalam kompetisi demokrasi tapi akhirnya tergusur oleh sistem yang dipaksakan Barat ke seluruh dunia itu.
Buah Pahit
Inilah pahitnya kemenangan pemimpin atau partai Islam yang diraih dengan jalan demokrasi. Buahnya pahit karena tumbuh dari pohon yang berbibit buruk (demokrasi). Bibitnya buruk karena dari awal memiliki sifat menolak kedaulatan Allah mengatur manusia, bahkan menyerahkan kedaulatan itu kepada suara terbanyak yang selalu berubah-ubah.
Kemenangan dalam sistem demokrasi tidaklah berarti bisa mengubah keadaan secepatnya. Pemenangnya lebih mirip artis yang menang kontes idol-idolan. Ia muncul sebagai juara karena banyak SMS yang memilihnya. Namun pakem pentasnya dikuasai stasiun tv dan sponsor.
Ia juga harus selalu siap dengan kemungkinan pahit, lawan yang berduit lebih banyak bisa memborong lebih banyak dukungan dan menyingkirkannya.
Sejarah menunjukkan, Islam hanya bisa tegak dengan kekuasaan yang paripurna. Bukan kemenangan hasil polling seperti kontes idol. Harapan pada demokrasi hanyalah sementara dan target antara. Mereka yang bertawakal pada jalan itu sungguh telah tertipu.(eramuslim.com)
Bisakah Islam ditegakkan dengan demokrasi? Jawabannya panjang, berderet contoh membentang. Namun Mesir hari ini menjadi jawaban yang belum selesai.
Presiden Muhammad Mursi mengukir prestasi yang cukup cemerlang. Belum lama berselang ia sukses melobi Amerika Serikat agar menekan Israel menghentikan serangannya ke Gaza. Tak hanya lobi, PM Hisham Qandil dikirim ke Gaza 16 November lalu.
Keberadaan Qandil di Gaza memaksa Israel menghentikan serangan. Kalau sampai pemimpin Mesir itu terluka atau tewas, Israel mencari gara-gara dengan Mesir dan dunia Arab.
Sebelumnya, Mursi berhasil membersihkan militer dari elemen-elemen pendukung Mubarak. Salah satu tantangan tersulit bagi gerakan Islam yang berhadapan dengan rejim militer sekuler, meskipun sukses meraih kekuasaan, adalah mencopot pengaruh para perwira rejim.
Turki contohnya, meskipun dulu memenangkan pemilu, PM Erbakan dari partai Refah malah digulingkan oleh militer. Sebelumnya nasib lebih tragis malah dialami oleh PM Adnan Mandres, digantung rejim militer karena dianggap mengkhianati konstitusi dan mencoba mengembalikan Islam.
Di Mesir, agaknya Ikhwanul Muslimin (IM) telah belajar dari pengalaman Turki. Pagi-pagi Mursi sudah mencopot petinggi militer yang diwariskan oleh rejim Mubarak. Akademi Militer, lembaga pengkaderan perwira militer, segera mengubah regulasi yang menghalangi masuknya para aktifis Islam. Kini Muslim berjenggot dan Muslimah berjilbab boleh menempuh karir sebagai perwira militer.
Namun kerja Mursi, didukung 75 persen suara IM dan partai Salafi, masih terlalu prematur untuk disebut sebagai kemenangan gerakan Islam di Mesir. Demo dan rusuh beberapa hari terakhir menggoyang Mesir. Kebijakan Presiden Mursi memecat Jaksa Agung, karena dianggap membebaskan pengaruh dari para kroni Husni Mobarak menuai gugatan.
Untuk meredamnya, Mursi mengeluarkan dekrit yang memberangus setiap upaya menghalangi langkahnya. Baik secara hukum melalui jalur pengadilan, maupun secara politik melalui parlemen.
Namun dekrit itu justru memicu klimaks sikap oposan terhadap Mursi, ia dianggap memusatkan seluruh kekuasaan negara di tangannya sendiri. Sebuah tindakan yang diharamkan dalam “syariat demokrasi.”
Rival politik Mursi, Muhammad el Baradai, mantan petinggi IAEA dukungan Barat yang digadang-gadang terpilih jadi pemimpin Mesir namun kalah; menyebut Mursi sebagai “Fir’aun baru.”
Sebenarnya, kebijakan Mursi beralasan kuat, sapu kotor seperti jaksa agung yang dekat dengan rejim lama harus disingkirkan untuk membersihkan kotoran era Mubarak yang menumpuk tebal. Namun sebagai aktor di panggung demokrasi yang punya pakem dan aturan sendiri, menurut mereka aksi Mursi itu dianggap mengkhianati demokrasi.
Pemenang dalam kompetisi demokrasi harus tunduk dalam aturan main demokrasi pula.
Ia juga harus berbagi kekuasaan dengan elemen lain. Biarpun elemen tadi termasuk dalam pendukung sistem tiran yang baru digulingkan.
Inilah pengalaman pahit Natsir dan Masyumi di Indonesia, Erbakan dan Refah di Turki serta FIS di Aljazair. Mereka menjadi juara dalam kompetisi demokrasi tapi akhirnya tergusur oleh sistem yang dipaksakan Barat ke seluruh dunia itu.
Buah Pahit
Inilah pahitnya kemenangan pemimpin atau partai Islam yang diraih dengan jalan demokrasi. Buahnya pahit karena tumbuh dari pohon yang berbibit buruk (demokrasi). Bibitnya buruk karena dari awal memiliki sifat menolak kedaulatan Allah mengatur manusia, bahkan menyerahkan kedaulatan itu kepada suara terbanyak yang selalu berubah-ubah.
Kemenangan dalam sistem demokrasi tidaklah berarti bisa mengubah keadaan secepatnya. Pemenangnya lebih mirip artis yang menang kontes idol-idolan. Ia muncul sebagai juara karena banyak SMS yang memilihnya. Namun pakem pentasnya dikuasai stasiun tv dan sponsor.
Ia juga harus selalu siap dengan kemungkinan pahit, lawan yang berduit lebih banyak bisa memborong lebih banyak dukungan dan menyingkirkannya.
Sejarah menunjukkan, Islam hanya bisa tegak dengan kekuasaan yang paripurna. Bukan kemenangan hasil polling seperti kontes idol. Harapan pada demokrasi hanyalah sementara dan target antara. Mereka yang bertawakal pada jalan itu sungguh telah tertipu.(eramuslim.com)
0 comments: