BENARKAH KHILAFAH HANYA 30 TAHUN?
Banyak orang beranggapan bahwa tegaknya Khilafah itu mustahil, dan juga tidak ada dalilnya. Salah satu argumentasi yang digunakan adalah adanya dalil yang mengatakan bahwa Khilafah itu hanya 30 tahun.
Benarkah seperti itu?
Di sinilah pentingnya kita mengkaji dalil-dalil yang ada secara komprehensif. Kita tidak boleh berdalil hanya dengan satu dalil, lalu mengabaikan dalil-dalil lain yang ada. Kita harus hadirkan seluruh dalil yang ada, lalu dipahami dengan kaidah ushul fiqih yang benar. Dan tentu saja, kita tidak boleh memiliki kepentingan pribadi dalam rangka memahami dalil-dalil syariah.
Jika dalam memahami dalil, kita mengedepankan kepentingan, itu artinya kita telah diperdaya oleh hawa nafsu. Memang, tidak dipungkiri ada dalil-dalil yang tampak bertentangan satu dengan yang lain. Namun, sebenarnya tidak ada pertentangan diantara dalil. Pertentangan itu terjadi karena kita tidak memahami hakikat dalil itu sendiri. Kita sering tidak memahami maksud sebenarnya dari dalil-dalil tersebut. Terkadang kita tidak memahami benar asbabul wurud, dari dalil-dalil yang ada, dan lain sebagainya. Karena itulah, tampak oleh kita, ada beberapa dalil yang kelihatan bertentangan.
Untuk itulah, kemudian para ulama merumuskan kaidah dalam menyikapi beberapa dalil yang tampak bertentangan. Akhirnyanya muncul ilmu Tarjih. Ilmu ini adalah ilmu yang sangat penting, namun hampir-hampir dilupakan oleh sebagian umat Islam.
Diantara salah satu kaidah dalam tarjih adalah, jika ada dua dalil yang tampak bertentangan, maka dalil yang satu dimaknai bahasa dan yang satu dimaknai syar’i. Jika hal tersebut bisa dilakukan maka, itulah yang sebaiknya dipilih. Itulah salah cara untuk men-jam’u (mengamalkan dua hadits yang tampak bertentangan).
Namun, jika hal itu tetap tidak bisa dilakukan, maka dilakukan beberapa pendekatan tarjih. Misalnya, Pertama: jika ada dua dalil yang periwayatnya adalah pelaku, sementara yang lain diriwayatkan oleh bukan pelaku, maka dimenangkan (di-rajihkan) yang diriwayatkan oleh pelaku. Kedua: jika ada dua dalil yang tampak bertentangan yang tak mungkin digunakan semuanya, namun diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka dimenangkan (dirajihkan) yang akhir. Ketiga, jika ada dua dalil yang bertentangan yang tak mungkin digunakan semua, yang satu mengatakan terjadi suatu kejadian, tetapi yang lain mengatakan tidak terjadi suatu kejadian, maka yang dimenangkan (yang rajih) adalah yang mengatakan terjadinya suatu kejadian. Dan lain-lain. Jadi, tarjih itu dilakukan, jika memang dua dalil atau lebih, yang bertentangan terbukti keshohihannya. Namun, jika yang bertentangan shohih dan tidak shohih, maka yang dimenangkan jelas yang shohih.
*****
Terkait dengan dalil tentang Khilafah, memang ada dalil yang mengatakan bahwa Khilafah hanyalah 30 tahun. Namun, jika kita teliti ternyata banyak hadits lain yang menjelaskan bahwa Khilafah itu bukan hanya 30 tahun, tetapi bahkan di akhir zaman pun ada Khalifah.
Diantara hadits tersebut adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab beliau Shohih Muslim, Hadits 2914. Berikut ini terjemahan haditsnya:
Telah menceritakan kepada Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepadaku Abdush Shomad bin Abdul waris, telah menceritakan kepadaku bapaku, telah menceritakan kepada Dawud, dari Abu Annadrah, dari Abi Said dan Jabir bin Abdillah. Keduanya berkata: Rasulullah bersabda: “Di akahir zaman akan ada Khalifah yang akan membagikan uang yang jumlah tidak terhitung”.
Hadits ini dengan tegas menjelaskan bahwa di akhir zaman akan ada Khalifah yang sangat baik dan dengan kemakmuran yang sangat tinggi, sehingga Khalifah itu membagikan dan menyediakan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Jika dicermati, hadits ini tampak bertentangan dengan hadits yang mengatakan bahwa Khalifah hanya 30 tahun. Bagaimana caranya men-jam’u (menggunakan kedua hadits ini). Men-jam’u dua hadits yang tampak bertentangan harus dilakukan sebelum dilakukan tarjih. Jika men-jam’u tidak mungkin dilakukan, baru dilakukan tarjih. Konsekuensi dari tarjih adalah: digunakannya dalil yang dimenagkan (rajih) dan ditinggalkannya dalil yang dikalahkan (marjuh).
Dan ternyata, dua hadits tersebut dapat dijam’u. Dengan men-jam’u dua hadits tadi, maka dapat dipahami seperti ini: Bahwa hadits yang menyatakan bahwa Khalifah hanyalah 30 tahun, itu yang dimaksud adalah Khulafa’ur Rasyidin. Dan tentu saja, hadits tersebut tidak menafikan Khalifah-khalifah lain pasca Khulafa’ur Rasyidin.
Setelah Khulafa’ur Rasyidin masih banyak Khalifah yang lain, meskipun mungkin di suatu waktu bisa jadi Khalifah itu tidak ada. Tetapi yang jelas, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Imam Muslim, bahwa di akhir zaman akan ada Khalifah dengan sifat-sifat yang disebut Rasulullah di dalam hadits shohih tersebut.
Inilah yang dipahami oleh para ulama. Tidak ada ulama yang menafikan Khalifah-khalifah pasca Khulafa’ur Rasyidin. Hanya saja, mereka memang memahami bahwa dalam beberapa hal, para Khalifah pasca Khulafa’ur Rasyidin memang tidak se-ideal Khulafa’ur Rasyidin.
Para ulama menamakan para Khalifah dalam masa 30 tahun dengan nama Khulafa’ur Rosyidin, dan pasca 30 tahun cukup disebut Khalifah dan jamaknya adalah Khulafa’, tidak ada tambahan kata Rosyidin di belakangnya.
*****
Dengan demikian, pihak-pihak yang mengatakan bahwa Khalifah hanya 30 tahun, selanjutnya tidak ada Khalifah lagi, justru terjebak pada cara berpikir sempit dan memanfaatkan satu hadits hanya untuk kepentingannya sendiri. Cara berpikir itu sama sekali tidak menggunakan kaidah yang benar dalam berijtihad atau beristidlal.
Wallahu a’lam.
Oleh Ust.Choirul Anam
*
Banyak orang beranggapan bahwa tegaknya Khilafah itu mustahil, dan juga tidak ada dalilnya. Salah satu argumentasi yang digunakan adalah adanya dalil yang mengatakan bahwa Khilafah itu hanya 30 tahun.
Benarkah seperti itu?
Di sinilah pentingnya kita mengkaji dalil-dalil yang ada secara komprehensif. Kita tidak boleh berdalil hanya dengan satu dalil, lalu mengabaikan dalil-dalil lain yang ada. Kita harus hadirkan seluruh dalil yang ada, lalu dipahami dengan kaidah ushul fiqih yang benar. Dan tentu saja, kita tidak boleh memiliki kepentingan pribadi dalam rangka memahami dalil-dalil syariah.
Jika dalam memahami dalil, kita mengedepankan kepentingan, itu artinya kita telah diperdaya oleh hawa nafsu. Memang, tidak dipungkiri ada dalil-dalil yang tampak bertentangan satu dengan yang lain. Namun, sebenarnya tidak ada pertentangan diantara dalil. Pertentangan itu terjadi karena kita tidak memahami hakikat dalil itu sendiri. Kita sering tidak memahami maksud sebenarnya dari dalil-dalil tersebut. Terkadang kita tidak memahami benar asbabul wurud, dari dalil-dalil yang ada, dan lain sebagainya. Karena itulah, tampak oleh kita, ada beberapa dalil yang kelihatan bertentangan.
Untuk itulah, kemudian para ulama merumuskan kaidah dalam menyikapi beberapa dalil yang tampak bertentangan. Akhirnyanya muncul ilmu Tarjih. Ilmu ini adalah ilmu yang sangat penting, namun hampir-hampir dilupakan oleh sebagian umat Islam.
Diantara salah satu kaidah dalam tarjih adalah, jika ada dua dalil yang tampak bertentangan, maka dalil yang satu dimaknai bahasa dan yang satu dimaknai syar’i. Jika hal tersebut bisa dilakukan maka, itulah yang sebaiknya dipilih. Itulah salah cara untuk men-jam’u (mengamalkan dua hadits yang tampak bertentangan).
Namun, jika hal itu tetap tidak bisa dilakukan, maka dilakukan beberapa pendekatan tarjih. Misalnya, Pertama: jika ada dua dalil yang periwayatnya adalah pelaku, sementara yang lain diriwayatkan oleh bukan pelaku, maka dimenangkan (di-rajihkan) yang diriwayatkan oleh pelaku. Kedua: jika ada dua dalil yang tampak bertentangan yang tak mungkin digunakan semuanya, namun diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka dimenangkan (dirajihkan) yang akhir. Ketiga, jika ada dua dalil yang bertentangan yang tak mungkin digunakan semua, yang satu mengatakan terjadi suatu kejadian, tetapi yang lain mengatakan tidak terjadi suatu kejadian, maka yang dimenangkan (yang rajih) adalah yang mengatakan terjadinya suatu kejadian. Dan lain-lain. Jadi, tarjih itu dilakukan, jika memang dua dalil atau lebih, yang bertentangan terbukti keshohihannya. Namun, jika yang bertentangan shohih dan tidak shohih, maka yang dimenangkan jelas yang shohih.
*****
Terkait dengan dalil tentang Khilafah, memang ada dalil yang mengatakan bahwa Khilafah hanyalah 30 tahun. Namun, jika kita teliti ternyata banyak hadits lain yang menjelaskan bahwa Khilafah itu bukan hanya 30 tahun, tetapi bahkan di akhir zaman pun ada Khalifah.
Diantara hadits tersebut adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab beliau Shohih Muslim, Hadits 2914. Berikut ini terjemahan haditsnya:
Telah menceritakan kepada Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepadaku Abdush Shomad bin Abdul waris, telah menceritakan kepadaku bapaku, telah menceritakan kepada Dawud, dari Abu Annadrah, dari Abi Said dan Jabir bin Abdillah. Keduanya berkata: Rasulullah bersabda: “Di akahir zaman akan ada Khalifah yang akan membagikan uang yang jumlah tidak terhitung”.
Hadits ini dengan tegas menjelaskan bahwa di akhir zaman akan ada Khalifah yang sangat baik dan dengan kemakmuran yang sangat tinggi, sehingga Khalifah itu membagikan dan menyediakan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Jika dicermati, hadits ini tampak bertentangan dengan hadits yang mengatakan bahwa Khalifah hanya 30 tahun. Bagaimana caranya men-jam’u (menggunakan kedua hadits ini). Men-jam’u dua hadits yang tampak bertentangan harus dilakukan sebelum dilakukan tarjih. Jika men-jam’u tidak mungkin dilakukan, baru dilakukan tarjih. Konsekuensi dari tarjih adalah: digunakannya dalil yang dimenagkan (rajih) dan ditinggalkannya dalil yang dikalahkan (marjuh).
Dan ternyata, dua hadits tersebut dapat dijam’u. Dengan men-jam’u dua hadits tadi, maka dapat dipahami seperti ini: Bahwa hadits yang menyatakan bahwa Khalifah hanyalah 30 tahun, itu yang dimaksud adalah Khulafa’ur Rasyidin. Dan tentu saja, hadits tersebut tidak menafikan Khalifah-khalifah lain pasca Khulafa’ur Rasyidin.
Setelah Khulafa’ur Rasyidin masih banyak Khalifah yang lain, meskipun mungkin di suatu waktu bisa jadi Khalifah itu tidak ada. Tetapi yang jelas, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Imam Muslim, bahwa di akhir zaman akan ada Khalifah dengan sifat-sifat yang disebut Rasulullah di dalam hadits shohih tersebut.
Inilah yang dipahami oleh para ulama. Tidak ada ulama yang menafikan Khalifah-khalifah pasca Khulafa’ur Rasyidin. Hanya saja, mereka memang memahami bahwa dalam beberapa hal, para Khalifah pasca Khulafa’ur Rasyidin memang tidak se-ideal Khulafa’ur Rasyidin.
Para ulama menamakan para Khalifah dalam masa 30 tahun dengan nama Khulafa’ur Rosyidin, dan pasca 30 tahun cukup disebut Khalifah dan jamaknya adalah Khulafa’, tidak ada tambahan kata Rosyidin di belakangnya.
*****
Dengan demikian, pihak-pihak yang mengatakan bahwa Khalifah hanya 30 tahun, selanjutnya tidak ada Khalifah lagi, justru terjebak pada cara berpikir sempit dan memanfaatkan satu hadits hanya untuk kepentingannya sendiri. Cara berpikir itu sama sekali tidak menggunakan kaidah yang benar dalam berijtihad atau beristidlal.
Wallahu a’lam.
Oleh Ust.Choirul Anam
0 comments: