“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]
Bolehkah menjadikan fakta/realitas sebagai sumber hukum? Benarkah menggunakan maslahat sebagai dalil, sama dengan menggunakan fakta/realitas sebagai sumber hukum?
Jawab:
Sumber hukum (mashadir al-ahkam), oleh ulama ushul fikih kadang juga disebut dalil hukum (adillatu al-ahkam) dan akar hukum (ushul al-ahkam), yaitu sumber yang dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan hukum (istidlal) maupun menggali hukum (istinbat).[1]
Para ulama ushul telah membagi sumber hukum tersebut menjadi dua, yaitu sumber yang disepakati (mashadir muttafaqah ‘alayha) dan sumber yang diperselisihkan (mashadir mukhtalafah fiha).[2] Ada juga yang membagi menjadi dua, yaitu dalil syar’i (al-adillah as-syar’iyyah) dan apa yang diduga sebagai dalil, padahal bukan dalil (ma dzanna annahu dalil, wa laysa bi dalil).[3]
Silver Dirhams Of The Khilafah Islamiyyah (Mata Uang Dirham/Perak Daulah Khilafah)
Tulisan berikut ini cukup bagus untuk kita baca dan cermati (tambahan tsaqafah), selain meluruskan kesalah pahaman beberapa pihak juga bisa mengerti mengenai kondisi negara kita ini. Tulisan ini ditulis oleh Ustadz Muhammad Nugroho (Syabab HTI Balikpapan).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS 13:11)
Abstrak : Ada dua kubu pada umat Islam dalam memahami dan menganalisa keadaan Indonesia saat ini. Satu pihak memahami bahwa Indonesia adalah Darul Islam kemudian mengambil sikap berlebihan dalam kepatuhan serta memeliharanya dan penguasanya, sementara satu pihak lainnya memahami bahwa Indonesia adalah darul kufur yang pemerintahannya tidak perlu ditaati bahkan harus dimusuhi sebab dia bukan ulil amri. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan realita hukum, pemerintahan serta sosiologis masyarakat Indonesia secara adil dan menyajikan bagaimana harusnya hidup dan berjuang di negeri Indonesia melalui analisa kehidupan Rasulullah SAW di Makkah.
Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin di era 40-an --yang kemudian bergabung bersama Hizbut Tahrir menyatakan bahwa setelah kembali dari Al Azhar Syekh Taqiyuddin beliau aktif melakukan dialog (ittishal) dengan masyarakat. Dialog-dialog tersebut dilakukan dengan sejumlah tokoh-tokoh dan pemuda di wilayah Palestina seperti Namr Mishr dan Daud Hamdan dan Dr. Abd. Aziz sendiri. Di samping itu beliau juga giat melakukan kunjungan ke berbagai negeri-negeri Arab untuk menghubungi para tokoh-tokoh dan ulama-ulama Islam untuk menyampaikan gagasannya untuk membangkitkan kembali ummat Islam. Proses tersebut dilakukan sebelum ia menjadi anggota di Mahkamah Isti’naf (Pengadilan Tinggi) Palestina sekitar tahun 1946.
An Nabhany sendiri –baik sebelum dan setelah mendirikan Hizbut Tahrir-- cukup aktif melakukan dialog dengan sejumlah tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Abd. Aziz menyatakan bahwa tema pembicaran beliau dengan An Nabhany berkisar pada upaya untuk mewujudkan cara-cara baru untuk menerapkan dan mengembalikan Islam ke tampuk pemerintahan.
*
Benarkah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhany pernah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin?
Tanya : Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasannya dia mengaku sudah membai'at atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dsb. Dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Karena menurut dia, yang penting adalah membai'at atau mengangkat khalifah dulu, soal perangkatnya (wilayah, militer, dll) menyusul. Jika harus nunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliyyah. Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadits rasul SAW "Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba'iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah". Pertanyaan saya : 1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi diatas, yang penting "person khalifah" dulu, bukan "wilayah atau kekuasaan" ? 2. Bagaimana penjelasan soal hadits yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi ? Mohon ustad berkenan untuk menjawabnya.
Jawab :
Definisi khalifah adalah "huwalladzy yanuubu 'anil ummah fi as-sulthan wa tanfiidzi al-ahkam asy-syar'iyyah" (khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syara'). Demikian diterangkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani --radhiyallahu 'anhu-- dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah.
“Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.” (KH. A. Wahid Hasyim)
Salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), baru saja melaksanakan Muktamar Nasional yang ke-32 . Hasilnya, KH Sahal Mahfudz terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU 2010-2015. Sedangkan Ketua Umum PBNU terpilih Prof Dr Said Agil Siradj. Seperti biasa Muktamar NU selalu mendapat perhatian berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Kehadiran Presiden SBY membuka Muktamar kali ini menunjukkan posisi penting NU secara politik. Bisa dimengerti kalau berbagai kekuatan politik, baik langsung atau tidak bermain setiap kali muktamar.
Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.
Rasulullah saw bersabda, ”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]
“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]
Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).
Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.
Sesungguhnya, tidak ada perselisihan dan perbezaan di antara kaum muslimin, bahawa `aqidah adalah sendi dasar yang akan membangun
seluruh masalah-masalah cabang (furu'). Kaum muslimin juga tidak
pernah berbeza pendapat, bahawa seruan pertama yang harus disampaikan ke tengah-tengah masyarakat adalah seruan kepada kalimat tauhid, La Ilaha Illa al-Allah Muhammad Rasulullah. Mereka juga memahami bahawa masyarakat Islam ditegakkan di atas landasan `aqidah Islamiyyah.
*
MENJELASKAN KEKELIRUAN ANTARA AKIDAH DAN KHILAFAH.
Manakah yang harus didahulukan, antara seruan untuk memperbaiki akidah ataukah menegakkan Khilafah?
Jawab:
Mendudukan Posisi Akidah dan Khilafah
Harus diakui, bahwa sebagai pondasi, akidah menduduki posisi yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan seseorang. Bagi umat Islam, akidah Islam merupakan landasan kehidupan; baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara. Akidah
*
Menyoal Akidah Atau Khilafah: Mana Yang Didulukan?